Pemerintah melalui Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) terus mendorong percepatan pembangunan pembangkit yang ramah lingkungan yang berbasis energi baru dan terbarukan (EBT) untuk meningkatkan pasokan kelistrikan nasional.
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan, dalam satu dekade ke depan, pemerintah akan membangun pembangkit listrik berbasis EBT dengan total kapasitas mencapai 22 GigaWatt (GW) yang diperkirakan menghabiskan biaya cukup besar.
Meski mahal, dengan membangun pembangkit listrik berbasis EBT, menurut Arifin menjadi salah satu cara untuk mengakselerasi dalam proses transisi energi dan mengejar target Net Zero Emission pada 2060, karena pembangkit EBT sudah tentu merupakan pembangkit tanpa emisi karbon. Bahkan, Indonesia juga telah membuat roadmap secara bertahap hingga 2060 untuk mencapai target NZE tersebut.
"Pembangunan pembangkit EBT dalam 10 tahun mendatang, akan memakan biaya sebesar US$50 miliar," jelas Arifin dalam keterangan resminya, dikutip Selasa (15/11).
Dengan biaya besar tersebut, Arifin berpandangan pemerintah harus memberikan kemudahan bagi investor untuk menanamkan modalnya di sektor pembangkit EBT melalui kebijakan dan regulasi yang mudah dan bisa menarik minat investor.
Sebagai contoh, Peraturan Presiden Nomor 112 Tahun 2022 Tentang Percepatan Pengembangan Energi Terbarukan Untuk Penyediaan Tenaga Listrik yang baru disahkan bulan September lalu, kemudian ada pula Rancangan Undang-Undang (RUU) Energi Baru dan Energi Terbarukan (EBET) yang diinisiasi oleh Dewan Perwakilan Rakyat yang saat ini masih bergulir proses pembahasannya.
"Jadi ini merupakan kesempatan yang sangat bagus kepada komunitas bisnis untuk datang dan berkolaborasi dalam membangun energi yang lebih hijau," tandas Arifin.
Selain itu Arifin juga menilai, Indonesia masih menjadi pangsa pasar yang menarik untuk dilirik investor terutama di bidang energi. Pasalnya, Indonesia memiliki banyak sumber daya alam.
"Kita memiliki potensi sumber daya energi dan alam yang sangat melimpah dan beragam, namun masih belum dapat dimanfaatkannya secara maksimal. Penyebabnya karena terbatasnya akses teknologi dan finansial untuk mengelolanya," tandasnya.
Dengan meningkatnya investasi yang masuk ke Indonesia, Arifin memastikan hal tersebut akan berdampak pada terciptanya lahan pekerjaan, meningkatkan pertumbuhan ekonomi, serta meningkatkan perkembangan teknologi.