Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan, pemerintah akan menerapkan relaksasi bertahap terhadap Pajak Pertambahan Nilai Barang Mewah (PPnBM) untuk mendukung industri otomotif.
Relaksasi PPnBM diusulkan untuk dilakukan sepanjang 2021, dengan skenario PPnBM 0% (Maret-Mei), PPnBM 50% (Juni-Agustus), dan 25% (September-November).
Dia mengklaim, dengan skenario ini akan memicu peningkatan produksi hingga mencapai 81.752 unit. Adanya relaksasi ini, estimasi terhadap penambahan output industri otomotif akan menyumbangkan pemasukan negara sebesar Rp1,4 triliun.
“Kebijakan tersebut juga akan berpengaruh pada pendapatan negara yang diproyeksi terjadi surplus penerimaan sebesar Rp1,62 triliun,” katanya dalam keterangan resmi, Kamis (11/2).
Pulihnya produksi dan penjualan industri otomotif, akan membawa dampak yang luas bagi sektor industri lainnya. Sebab dalam menjalankan bisnisnya, industri otomotif dinilai memiliki keterkaitan dengan industri lainnya. Di mana industri bahan baku berkontribusi sekitar 59% dalam industri otomotif.
“Industri pendukung otomotif sendiri menyumbang lebih dari 1,5 juta orang dan kontribusi PDB sebesar Rp700 triliun," ujarnya.
Industri otomotif sendiri merupakan industri padat karya dengan lebih dari 1,5 juta orang bekerja di industri tersebut, yang terdiri dari lima sektor, yaitu pelaku industri tier II dan tier III yang terdiri dari 1000 perusahaan dengan 210.000 pekerja.
Lalu pelaku industri tier I, terdiri dari 550 perusahaan dengan 220.000 pekerja. Industri perakitan terdiri dari 22 perusahaan dengan 75.000 pekerja. Dealer dan bengkel resmi sebanyak 14.000 perusahaan dengan 400.000 pekerja
Kemudian, dealer dan bengkel tidak resmi yang terdiri dari 42.000 perusahaan dengan 595.000 pekerja.
Usulan relaksasi PPnBM tersebut datang dari Kementerian Perindustrian untuk melakukan penyesuaian terhadap tarif PPnBM di PP 73/2019, dalam rangka menggairakan kembali industri otomotif dan meningkatkan investasi di sektor itu.
Selain itu, usulan perubahan PP 73/2019 tersebut, disebut juga sebagai salah satu upaya pemerintah menurunkan emisi gas buang yang bersumber dari kendaraan bermotor. Peraturan tersebut diundangkan pada 2019 dan diberlakukan pada Oktober 2021.
"Perubahan PP ini diharapkan dapat mendorong peningkatan pendapatan pemerintah, menurunkan emisi gas buang, dan meningkatkan pertumbuhan industri kendaraan bermotor nasional. Revisi PP 73/2019 ini akan mengakselerasi pengurangan emisi karbon yang diperkirakan akan mencapai 4,6 juta ton CO2 pada 2035,” ucap Airlangga.
Di samping itu, skema pajak PPnBM berbasis flexy engine (FE) dan CO2 berdasarkan PP 73/2019, yang akan mampu mendorong pertumbuhan kendaraan rendah emisi, dengan memberikan gap pajak yang cukup besar dengan kendaraan konvensional.
Diharapkan pada 2025 produksi kendaraan listrik nasional untuk roda empat dapat mencapai 20% dari kapasitas produksi atau mencapai 400.000 kendaraan.
Airlangga menjelaskan, usulan perubahan PP 73/2019 mempertimbangkan infrastruktur dari industri otomotif nasional, sehingga perlu dilakukan peningkatan secara gradual, yang nantinya dapat dievaluasi kembali, seraya melihat peningkatan dari infrastruktur kendaraan listrik dan kondisi industri otomotif nasional.
“Selain itu, usulan tarif PPnBM untuk PHEV sebesar 5% sejalan dengan prinsip semakin tinggi emisi CO2, maka semakin tinggi nilai PPnBM-nya,” kata dia.