close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Suasana aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/8)./AntaraFoto
icon caption
Suasana aktivitas bongkar muat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta, Rabu (15/8)./AntaraFoto
Bisnis
Kamis, 06 September 2018 09:27

Pemerintah diimbau antisipasi dampak pembatasan impor

Pemerintah juga harus memikirkan dampak pembatasan impor terhadap para konsumen. 
swipe

Pemerintah perlu mengantisipasi dampak kebijakan pembatasan impor.  Salah satu dampak yang berpotensi terjadi akibat pembatasan impor adalah melemahnya daya beli masyarakat.

Kepala Penelitian Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Hizkia Respatiadi mengatakan, pembatasan impor dilakukan terkait adanya kekhawatiran defisit neraca perdagangan. Di sisi lain, pembatasan impor jangan sampai menjadi bumerang untuk pemerintah.

Defisit neraca perdagangan memang dapat berdampak negatif pada kestabilan moneter Indonesia. Namun pemerintah juga harus memikirkan dampak pembatasan impor terhadap para konsumen. Terutama mereka yang termasuk dalam masyarakat miskin.

"Hal ini dikarenakan komoditas yang termasuk ke dalam barang konsumsi juga akan ikut dibatasi impornya. Padahal nilai impor barang konsumsi masih lebih kecil ketimbang impor barang modal dan bahan baku penolong," ucapnya kepada wartawan, Kamis (6/9).

Berdasarkan data BPS pada Mei 2018, impor barang konsumsi mencapai US$ 1,73 miliar. Sementara itu nilai impor barang modal dan bahan baku penolong adalah US$ 2,81 miliar dan US$ 13,11 miliar.

Ketika impor dibatasi, produk dalam negeri juga harus sudah siap menggantikannya. Kalau tidak, harga berpotensi kembali naik. "Dengan berkurangnya impor, bukan hanya akan mengurangi suplai tetapi juga akan mendistorsi kompetisi di pasar," jelasnya.

Sementara Kementerian Perdagangan akan mengeluarkan regulasi mengenai tata niaga impor untuk baja, makanan serta minuman beralkohol. Hal itu guna meningkatkan pengawasan terhadap pengendalian impor barang konsumsi. 

Hal itu guna mendukung PMK yang baru saja diterbitkan Kementerian Keuangan, mengenai 1.147 tarif PPh Impor yang akan segera dinaikkan pekan depan. 

Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita menjelaskan, kebutuhan impor tinggi yang masuk berasal dari tiga komoditas tersebut. Oleh karena itu, pemerintah akan kembali meningkatkan lagi pengawasannya sesuai standar yang telah ditetapkan.

"Kami ubah yang tadinya di post border menjadi border melalui pusat logistik berikat (PLB)," jelas Enggar di Kementerian Keuangan, Rabu, (5/9). 

Pengaturan itu diyakini tidak berpengaruh terhadap penilain WTO mengenai fasilitas GSP yang sedang dilakukan saat ini.

"Tidak usah dikhawatirkan. Ini PPh Pasal 22, tidak melanggar WTO dan bisa dikreditkan. Jenisnya yang kami persoalkan. Kami berharap masih tetap dapat fasilitas GSP. Kami sudah dapatkan pengecualian untuk besi dan baja, juga relaksasi ekspor strategis untuk CPO dan rotan setengah jadi," imbuh Enggar. 

Pada waktu dekat, Enggar pun menyebut akan membuat peraturan perdagangan berdasarkan turunan Peraturan Pemerintah mengenai Letter of Credit (LC) untuk komoditas sumber daya alam. 

Pemerintah telah menerapkan kebijakan pengendalian impor barang konsumsi melalui penaikan tarif pajak penghasilan (PPh) impor terhadap 1.147 pos tarif sebagai strategi mengatasi defisit neraca transaksi berjalan.

Menteri Keuangan Sri Mulyani dalam konferensi pers di Jakarta, Rabu (5/9), mengatakan, peraturan menteri keuangan (PMK) mengenai hal tersebut sudah ditandatangani dan akan berlaku tujuh hari setelahnya.

"Kami berharap masyarakat memahami bahwa pemerintah di satu sisi ingin cepat dan di sisi lain selektif karena situasinya tidak biasa, dan kami lakukan tindakan yang dalam situasi biasa tidak dilakukan," ujar dia.

Sri Mulyani merinci tarif PPh impor untuk 719 komoditas akan naik dari 2,5% menjadi 7,5%. Jenis barang tersebut termasuk bahan perantara, misalnya produk tekstil, keramik, kabel, dan boks speaker.

Selanjutnya, 218 komoditas naik dari 2,5% menjadi 10%. Komoditas yang termasuk adalah barang konsumsi yang sebagian besar telah diproduksi dalam negeri, contohnya barang elektronik (pendingin ruangan, lampu) dan barang keperluan sehari-hari.

Terakhir, sebanyak 210 komoditas naik dari 7,5% menjadi 10%. Komoditas yang termasuk adalah barang mewah seperti mobil CBU (completely built-up) dan motor besar.

Sebanyak 1.147 komoditas yang disesuaikan tarif PPh impornya tercatat memiliki nilai impor US$ 6,6 miliar pada 2017. Sementara dari Januari hingga Agustus 2018 tercatat memiliki nilai impor US$ 5 miliar. Tanpa penyesuaian, nilai impor sepanjang 2018 diperkirakan meningkat signifikan.

Sri Mulyani juga meminta pengusaha dalam negeri untuk melihat kebijakan penyesuaian tarif PPh impor ini sebagai kesempatan untuk memajukan kinerja industri dalam negeri. 

 

Sumber: Antara 

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan