Kenaikan harga avtur dan fluktuasi rupiah membuat biaya operasional maskapai membengkak. Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudistira menyatakan pemerintah seharusnya memberikan penugasan kepada PT Pertamina (Persero) untuk menurunkan harga avtur.
"Biaya avtur ini kan pemain besarnya adalah Pertamina. Makanya, pemerintah juga bisa meregulasi Pertamina dengan skema penugasan untuk sementara waktu, sehingga harga avtur itu kemudian agak sedikit diturunkan," ujar Bima di Jakarta, Sabtu (9/2).
Meski demikian, Bhima menegaskan, penugasan tersebut harus diperhitungkan dengan matang. Jika tidak, maka akan menjadi beban bagi Pertamina.
"Dapat dilakukan dengan Penyertaan Modal Negara (PNM) dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) ke Pertamina. Lebih banyak disuntik ke situ, bukan subsidi," kata dia.
Bhima menyebut cara ini diharapkan bisa menyelamatkan bisnis maskapai penerbangan dalam jangka pendek. Selanjutnya, jika harga minyak dunia sudah rendah, harga avtur harus dievaluasi kembali.
Sementara, untuk jangka panjang, pemerintah harus membangun infrastruktur yang memadai untuk penyaluran avtur, khususnya di luar Pulau Jawa. Sebab, kata Bhima, selama ini infrastruktur yang buruk menjadi penyebab harga avtur mahal.
"Pemerintah harus tarik investor yang mau masuk ke infrastruktur penyaluran avtur," paparnya.
Tidak ada penerbangan yang murah
Sementara itu, pengamat penerbangan Chappy Hakim mengatakan industri penerbangan pada dasarnya memang bisnis yang membutuhkan ongkos yang mahal.
Menurut dia, maskapai harus mengeluarkan biaya operasional yang besar untuk perawatan mesin, mengikuti perkembangan teknologi, hingga menyesuaikan harga bahan bakar avtur.
Sehingga, kata Chappy, tantangan bisnis penerbangan sangat besar, namun keuntungan yang diperoleh sedikit.
"Ini terjadi di semua negara. Kalau berbicara airlines semuanya begitu, complicated. Mahal karena memerlukan knowledge (pengetahuan teknologi) dan untungnya tipis," ucapnya.
Di sisi lain, Chappy menyebut, saat ini masyarakat salah memahami istilah 'penerbangan murah'.
Maskapai berbiaya hemat (low cost carrier/LCC), sebenarnya merupakan salah satu srategi marketing perusahaan penerbangan untuk bisa mempertahankan bisnisnya.
"Kehadiran LCC memang untuk menarik pasar baru terlebih untuk konsumen seperti traveler," kata dia.
Permasalahannya, kata Chappy, maskapai akhirnya berlomba untuk merebut pasar dengan menawarkan harga tiket paling murah. Hal ini, pada akhirnya menciptakan iklim persaingan usaha yang tidak sehat.
Menurut dia, kondisi persaingan ini tidak bisa terus berlanjut dilakukan maskapai penerbangan. Sebab, butuh ongkos yang mahal untuk melanjutkan operasional maskapai.
Menghidupkan kembali Depanri
Ketua Kompartemen Kebandarudaraan Asosiasi Logistik dan Forwarder Indonesia (ALFI) Satrio Witjaksono meminta agar dibentuk Dewan Penerbangan dan Antariksa Nasional Republik Indonesia (Depanri).
Denpari diharapkan bisa dibentuk kembali untuk menjadi penengah dan bisa mencari solusi bagi pemersalahan penerbangan dalam negeri.
Menurut Satrio, Denpari nantinya akan berfungsi sebagai wadah yang menyatukan aspirasi setiap stakeholder industri penerbangan. Apalagi, dia menilai selama ini komunikasi antar industri juga masih tidak terjalin dengan baik.
“Depanri juga bisa sebagai corong sistem transportasi udara untuk bisa menghubungkan setiap daerah, hingga ke pelosok negeri,” kata dia.
Sistem transportasi udara yang baik, diharapkan bisa berdampak pada pertumbuhan ekonomi.
Sebagai informasi, Depanri pernah dibentuk pada Oktober 1993, tapi dibubarkan pada Desember 2014 berdasarkan Peraturan Presiden Nomor 176 Tahun 2014.