Pemerintah perlu mewaspadai dampak serangan Amerika Serikat ke Suriah terhadap perekonomian. Meski produksi minyak Suriah kecil dan tidak cukup signifikan kontribusinya terhadap pasokan minyak global, namun konflik tersebut berpeluang mengganggu program subsidi pemerintah.
Ketua Umum Badan Pengurus Pusat Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (BPP Hipmi), Bahlil Lahadalia, mengatakan, produksi minyak Suriah terus menurun, tetapi dampaknya besar sebab melibatkan negara-negara penentu harga minyak dunia. "Ini yang kita wajib waspadai bagi perekonomian domestik dan utamanya subsidi,” ujar Ketua Umum BPP Hipmi Bahlil Lahadalia di Jakarta hari ini dalam keterangannya, Senin (16/4).
Suriah memang bukan pemain utama minyak dunia. Bahkan diera kejayaannya tahun 2000-an, produksi minyak Suriah hanya sekitar 520 ribu barel per hari, atau setara 0,6% produksi minyak dunia. Hal yang sama dengan produksi gas hanya sekitar 5,5 miliar meter kubik per tahun pada 2010 dan saat ini terus menurun.
Meski demikian, dampak konflik Suriah tak bisa dipandang enteng. Pasalnya, konflik di negara tersebut telah melibatkan negara-negara besar dan negara-negara pengekspor minyak utama dunia.
Sejalan dengan pernyataan Bahlil, harga minyak mentah dunia melonjak 3% pada perdagangan akhir pekan kemarin, usai Amerika Serikat melepas 59 rudal Tomahawk ke pangkalan udara pemerintah Suriah.
Sejumlah pihak khawatir serangan AS melebar ke negara-negara kaya minyak di Teluk. Harga minyak mentah berjangka Brent International ditutup naik 35 sen menjadi US$55,24 per barel. Brent mencapai sesi tinggi sebesar US$56,08 per barel tidak lama setelah serangan rudal AS diumumkan. Untuk pekan ini, Brent telah naik 4,4%. Minyak mentah berjangka AS, West Texas Intermediate (WTI) melonjak 54 sen menjadi US$52,24 per barel, dan sempat menyentuh angka US$52,94 per barel usai serangan rudal Tomahawk.
Di Indonesia, harga minyak Indonesia (Indonesian crude price/ICP) sempat naik pada Januari 2018 yang mencapai level lebih dari US$ 60 per barel. Harga tersebut jauh lebih tinggi dari asumsi harga ICP dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2018 yang sebesar US$48 per barel. Kenaikan harga minyak tidak selamanya negatif terhadap APBN sebab penerimaan negara dari pajak dan PNBP dari sektor minyak dan gas secara umum akan meningkat.
“Namun, pemerintah perlu waspadai pos belanja negara, berpotensi menaikkan subsidi bahan bakar minyak (BBM), elpiji 3 kilogram, dan serta listrik. Apalagi listrik kita masih banyak menyerap energi fosil,” ujar Bahlil. Sebab itu, Pertamina dan PLN harus waspada dan kedua BUMN semestinya mempersiapkan protocol of crisis bila sewaktu-waktu harga minyak terus melonjak.
Sialnya lagi, serangan AS tersebut ditanggapi dengan menurunnya produksi minyak dua negara penghasil utama yakni Irak dan Venezuela. “Negara-negara ini malah mengurangi produksi sebesar 1,5 juta barel per hari. Produsen minyak non-OPEC, Kanada malah mengurangi produksinya sebab kilangnya yang besar terbakar,” ujar Bahlil. Kondisi ini bisa memicu kepanikan sehingga permintaan (demand) minyak dunia meningkat tajam.
Kenaikan harga minyak dunia berpotensi menekan inflasi sebab akan memicu kenaikan harga BBM non penugasan (di luar subsidi), seperti Pertalite dan Pertamax. Biaya produksi Pertamina akan meningkat sebab menggunakan komponen impor dan biaya transportasi. Pemerintah menargetkan mampu menjaga tingkat inflasi sebesar 3,5 plusminus 1% pada 2018.
Sementara Analis Monex Investindo Futures, Faisyal menambahkan meningkatnya tensi ketegangan geopolitik di Timur Tengah, meningkatkan permintaan terhadap aset mata uang yang masuk dalam kategori safe haven.
"Saat ini para pelaku pasar sedang menantikan respon Rusia terhadap serangan dari Amerika Serkat dan aliansinya," katanya seperti dilansir Antara.