close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Restriksi atau pembatasan berlebihan pada mekanisme impor menyebabkan harga bawang putih menjadi tinggi. /Antara Foto
icon caption
Restriksi atau pembatasan berlebihan pada mekanisme impor menyebabkan harga bawang putih menjadi tinggi. /Antara Foto
Bisnis
Selasa, 17 Juli 2018 09:14

Pemerintah dinilai belum mampu stabilkan harga bawang putih

CIPS menilai, peraturan terkait impor bawang putih sebaiknya dievaluasi pemberlakuannya
swipe

Pemerintah dinilai tidak mampu memberikan solusi yang tepat dan rasional untuk program swasembada bawang putih. Restriksi atau pembatasan berlebihan pada mekanisme impor menyebabkan harga bawang putih menjadi tinggi. Padahal seharusnya kebijakan ini bisa menstabilkan harga bawang putih yang tinggi di dalam negeri . 

Peneliti Center for Indonesian Policy Studies (CIPS) Novani Karina menjelaskan, peraturan terkait impor bawang putih sebaiknya dievaluasi pemberlakuannya. "Mau dari segi manapun, baik secara on-farm maupun off-farm, Indonesia tidak mampu mengejar swasembada bawang putih," ujarnya melalui keterangan tertulisnya, Selasa (17/7).

Selain itu, restriksi cenderung hanya sebagai alasan penunjukan importir dan kuota impor bawang putih serta syarat wajib tanam bawang putih sebesar 5% dari total impor. Akibatnya, struktur pasar menjadi tidak kompetitif dan membuka peluang lebar memanipulasi ketersediaan dan harga produksi bawang putih.

"Skema manipulasi harga oleh importir dan rantai distribusi yang panjang, merupakan penyebab utama kerugian yang harus diderita konsumen bawang putih. Belum lagi ditambah kewajiban tanam bawang putih yang dibebankan kepada importir semakin menambah cost of production yang pada akhirnya dibebankan lagi kepada konsumen," ujarnya.

Indonesia menghadapi tantangan swasembada bawang putih. Selain semakin terbatasnya lahan, banyaknya alih fungsi lahan pertanian karena cuaca dan kondisi tanah yang tidak produktif juga ikut memengaruhi. Belum lagi kurangnya insentif untuk petani dalam menanam bawang putih. Hal ini berujung pada kegagalan para importir untuk memenuhi kewajiban mereka terkait menanam bawang putih secara proporsional terhadap jumlah impor.

Intervensi semacam ini justru membuat konsumen tersiksa dengan harga yang melambung tinggi. Intervensi ini juga tidak memberikan keuntungan apapun kepada petani. Pemerintah sepertinya lupa kalau ¾ petani di Indonesia juga merupakan konsumen dan mereka hampir dipastikan juga terkena dampak tingginya harga bawang putih.

Karena itu, pemerintah dinilai sebaiknya menghapuskan restriksi impor yang justru malah mendistorsi pasar dan membuat harga menjadi tinggi. Apalagi ada kecenderungan Indonesia belum siap untuk swasembada. Apabila dipaksakan, akan berakhir pada praktek KKN. Lebih baik pemerintah menghilangkan restriksi impor dan fokus pada penanggulangan manipulasi harga dan penyimpanan bawang secara ilegal.

Berdasarkan infopangan.jakarta.go.id per 16 Juli, harga bawang putih di DKI Jakarta tertinggi terjadi di pasar Sunter Podomoro seharga Rp47.000/kg. Harga terendah di pasar Pal Meriam senilai Rp22.000/kg. Sedangkan harga rata-rata bawang putih di Jakarta senilai Rp31.233/kg.  

Sementara Kementerian Pertanian melalui Direktur Jenderal Hortikultura Suwandi, menepis anggapan aturan wajib tanam bawang putih sebagai penyebab naiknya harga bawang putih. Karenanya, kebijakan wajib tanam bagi importir tetap berlanjut.

“Kewajiban tanam bagi importir bawang putih kan tidak sesulit seperti opini yang berkembang selama ini, asalkan importir mau terjun langsung dan bermitra dengan kelompok tani binaan Dinas Pertanian,” terang Suwandi seperti dilansir website resmi Kementerian Pertanian.

Kenyataannya, beberapa importir sukses menanam dengan areal luas seperti yang terjadi di Banyuwangi, Temanggung dan Lombok Timur. Agar semua importir sukses seperti ini, Kementan bersama Dinas Pertanian terbuka memfasilitasi importir guna merealisasikan kewajiban tanam.

Menanggapi desakan agar kewajiban tanam importir ditinjau ulang, Suwandi menegaskan filosofi dasar wajib tanam dan wajib menghasilkan sebagaimana tertuang dalam Permentan Nomor 38 Tahun 2017 adalah membangun simbiosis mutualisme antara importir dengan petani untuk mencapai kesejahteraan bersama. 

“Jadi bukan sekedar setor sekian rupiah kepada negara lalu izin impor dikeluarkan, itu sangat berbeda konteksnya”, tegasnya.  

Kementan mengingatkan importir supaya mempersiapkan diri dan beradaptasi sebaik-baiknya. Sebab nantinya volume impor akan terus dikurangi seiring dengan pencapaian swasembada 2021. Pada kurun tiga hingga empat tahun ke depan, importir bawang putih diharapkan telah berubah menjadi pengusaha bawang putih lokal.

“Beberapa BUMD juga didorong untuk ikut mengembangkan bawang putih melalui skema kemitraan importir dengan petani,” sambungnya.

Terkait kekhawatiran sulit mendapatkan lahan dan benih, Kementan telah memiliki database potensi lahan yang sesuai untuk bawang putih. Untuk verifikasi kebenaran di lapangan, juga sudah disiapkan sistem pemetaan digital melalui teknologi berbasis android sehingga lebih praktis dan akurat. 

“Tahun ini, benih bawang putih sudah banyak tersedia, karena seluruh hasil panen akhir tahun lalu akan dijadikan benih pada tahun ini. Kalau memang kurang, kami dorong impor benih dari Taiwan, Mesir dan India yang secara uji DNA sama persis dengan jenis bawang lokal Sangga Sembalun dan Lumbu Hijau,” jelasnya.

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan