Presiden Joko Widodo mengeluarkan Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 7 Tahun 2019 tentang percepatan kemudahan berusaha. Hal tersebut, untuk mendorong peningkatan investasi, peningkatan pertumbuhan ekonom, dan penyediaan lapangan kerja.
"Pemerintah Indonesia menargetkan untuk mencapai peringkat 40 besar Ease of Doing Business dalam kemudahan berusaha. Tentu target yang dimaksud bukan semata-mata angka peringkat, tetapi kemudahan berusaha dapat dirasakan masyarakat luas terutama kepada pelaku usaha," kata Deputi Bidang Kerjasama Penanaman Modal (BKPM), Riyatno dalam acara Dialog Spesial Indonesia Bicara bertajuk "Transformasi untuk Kepastian Berusaha" secara virtual, Kamis (7/10).
Riyatno mengungkapkan, untuk memastikan perbaikan kemudahan berusaha yang berkesinambungan, pemerintah telah melaksanakan berbagai reformasi struktural. Di antaranya, penerbitan Undang-Undang (UU) Cipta Kerja yang mengubah sebanyak 79 UU.
"UU Cipta Kerja ini menjadi basis hukum atas peningkatan kemudahan berusaha, melalui pendekatan berusaha berbasis risiko menggunakan sistem Online Single Submission (OSS) dan terintegrasi dengan sistem lainnya," ucap Riyatno.
OSS adalah platform di mana pengusaha mikro, kecil, menengah, maupun pengusaha besar bisa mengajukan permohonan izin usaha. Berbasis online, dengan hadirnya OSS diharapkan bisa memudahkan semua masyarakat yang ingin menjadi pengusaha untuk mengurus perizinan.
Dengan implementasi perizinan usaha berbasis risiko ini, jenis perizinan usaha yang diperlukan oleh pelaku usaha tergantung pada risiko kegiatan usaha.
Riyatno mencontohkan untuk kegiatan usaha dengan tingkat risiko rendah, maka jenis perizinan usahanya hanya Nomor Induk Berusaha (NIB), kemudian untuk risiko menengah rendah jenis perizinannya adalah NIB dan sertifikat standar berupa pernyataan mandiri.
Selanjutnya untuk risiko menengah tinggi membutuhkan NIB, sertifikat standar dengan verifikasi dari Kementerian Lembaga atau daerah sesuai dengan kewenangannya, dan untuk risiko tinggi diperlukan NIB dan izin usaha.
Riyatno mengungkapkan, dalam OSS berbasis risiko juga berlaku asas fiktif positif di mana perizinan akan dianggap disetujui apabila otoritas pemberi izin tidak memberikan respon atau notifikasi setelah batas waktu standar layanan yang ditentukan.
"Pemberlakuan fiktif positif bertujuan memberikan kepastian kepada pelaku usaha selaku pengguna layanan perizinan," tegas Riyatno.