Badan Pemeriksa Keuangan dan Pembangunan (BPKP) menyatakan sawit merupakan salah satu industri strategis di Indonesia. Pasalnya, sawit menjadi komoditas ekspor andalan Indonesia dengan total nilai ekspor mencapai US$35 miliar.
Industri ini juga menampung lapangan pekerjaan sebanyak 16,2 juta orang. Namun, kini petani sawit justru terpuruk karena anjloknya harga Tandan Buah Segar (TBS) di pasaran selama dua bulan terakhir.
Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan menyebut, anjloknya harga TBS Indonesia dipicu karena dibukanya kembali keran ekspor minyak nabati Ukraina dari biji bunga matahari yang dibarengi penurunan pajak ekspor.
Konflik Rusia-Ukraina juga menurutnya sudah mengganggu sektor pangan dan energi dunia termasuk Indonesia. Sehingga, Luhut mengatakan, butuh kerja sama berbagai pihak, karena berkaitan dengan ekonomi dunia.
“Untuk menata semua yang saling terkait ini, kita perlu efisiensi. Semua akan di digitalisasi menggunakan IT sehingga tak ada yang namanya pungutan tidak jelas. Seluruh pejabat dari bawah sampai kementerian tidak bisa ada yang main-main,” tutur Luhut dalam rapat koordinasi Asosiasi Kabupaten Penghasil Sawit Indonesia (AKPSI) di Hotel Grand Sahid Jaya, Jakarta, Kamis (7/7).
Sebagai langkah awal menata industri sawit, pemerintah melalui BPKP di 29 provinsi serta lembaga terkait termasuk Kejaksaan Agung dan Kementerian Keuangan, mulai melakukan audit industri kelapa sawit. Audit ini meliputi perkebunan, pabrik Crude Palm Oil (CPO), pabrik turunan CPO, distribusi produk CPO dan turunannya, ekspor, dan penggunaan data pungutan ekspor.
Luhut menjelaskan, audit ini juga sebagai usaha pemerintah menata sektor energi dalam negeri. Saat ini pemerintah terus mendorong penggunaan kendaraan listrik agar jumlah konsumsi energi berbasis bahan bakar minyak bumi menurun. Upaya percepatan mandatori biodiesel 30% (B30) dan biodiesel 40% (B40) juga dilakukan, sehingga diperkirakan mampu menyerap minyak sawit 2,5 juta ton yang bisa berdampak pada kenaikan permintaan TBS.
“Nanti kita punya solar yang lebih, karena solar saja sulfurnya tinggi maka dicampur CPO supaya bisa diekspor. Ini bisa menyerap 3 juta ton,” tutur Luhut.
Lebih lanjut, Luhut melihat bahwa minyak sawit ke depan tidak hanya dijadikan sumber pangan, namun juga sumber energi. Karenanya, menurut Luhut, pemerintah sedang mengupayakan peningkatan produksi minyak sawit menggunakan teknologi genomik yaitu pencarian gen untuk kegiatan penyilangan benih dan untuk menemukan gen dari benih unggul lebih cepat dan mudah. Jadi semula per hektar kelapa sawit mampu menghasilkan TBS 3-5 ton, kemudian dinaikkan menjadi 10-20 ton per hektar dalam jangka waktu 5 sampai 10 tahun ke depan.
“Untuk tau jumlah TBS kita saat ini sebenarnya berapa, makanya diperlukan audit industri sawit ini. Jadi jangan kaya kita mau perang tapi kita gak tau nih jumlah pasti barang kita berapa,” ujarnya.
Luhut juga menyampaikan permasalahan TBS terjadi di sisi hulu, yaitu realisasi CPO yang masih membutuhkan waktu. Ia memprediksi realisasi ekspor akan lancar mulai pekan kedua bulan Juli, dengan begitu harga TBS bisa kembali naik.
Menurut Luhut, hal itu belum dirasa cukup. Dia menyebut, masih perlu adanya penurunan tarif pungutan ekspor.
“Tadi malam saya bicara sama menteri keuangan soal tarif pungutan ekspor (TPE), mungkin kita bawa sampai ke bawah sehingga orang dikasih insentif untuk ekspor,” kata Luhut.
Terkait pendataan audit industri minyak sawit, Luhut meminta pada pemerintah daerah untuk segera ikut membantu melaporkan data yang diperlukan kepada kepala dinas pertanian dan kepala dinas kehutanan masing-masing wilayah.