Ekonom senior INDEF, Aviliani Avi, menyarankan pemerintah agar mulai mengubah model bisnis usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM). Sebab, pemerintah saat ini lebih fokus pada pembiayaan UMKM daripada model bisnis yang dijalankan.
Berdasarkan data Kementerian Koperasi dan UKM, kontribusi UMKM terhadap PDB 2022 mencapai 60,51% atau senilai Rp9.580 triliun. Jumlah tersebut juga berhasil menyerap sekitar 120,59 juta tenaga kerja dengan nilai investasi 60,42% dari total investasi. Tak jarang UMKM disebut sebagai tulang punggung perekonomian.
Namun menurut Aviliani, perekonomian Indonesia juga banyak ditopang dari perdagangan. Oleh karena itu, dengan kontribusi UMKM yang besar, diharapkan keberadaanya juga terlibat dalam rantai pasok perusahaan-perusahaan besar.
“Menurut saya, [masuk ke rantai pasok] itu penting, ya. Makanya, bisnis model dalam UMKM harus diubah, jangan bicara soal pembiayaan sebanyak-banyaknya. Pengusaha baru itu, kan, enggak setiap tahun ada. Tapi, kok, target KUR-nya tiap tahun itu gede banget?” tutur Aviliani, ditulis Jumat (3/3).
Seperti diketahui, pemerintah pada 2022 mengalokasikan dana kredit usaha rakyat (KUR) sebesar Rp373 triliun. Jumlahnya meningkat menjadi Rp460 triliun pada taun ini.
Aviliani melanjutkan, keterlibatan UMKM menjadi pemasok atau penyedia perusahaan-perusahaan besar akan tersebut mendorong UMKM memperoleh penghasilan lebih tinggi. Dengan demikian, kesenjangan antara UMKM dan perusahaan besar akan semakin berkurang.
Ada dua cara yang bisa dilakukan pemerintah dalam membenahi model bisnis UMKM. Pertama, pemberian insentif terhadap perusahan-perusahaan besar agar mau menerima pasokan UMKM dan kedua, membangun dan mengembangkan sektor industri lainnya selain pertambangan.
“Kita harus membangun lagi industri. Apa, sih, yang mau dikembangkan gitu? Tidak hanya sekadar tambang, tapi kita punya industri lain dengan persaingan tinggi,” ujarnya.
Hal penting lainnya adalah pemerintah harus mulai mengurangi pemberian subsidi berupa bantuan langsung tunai (BLT) kepada masyarakat tanpa memberikan pemberdayaan lebih lanjut. Pangkalnya, jika BLT terus berlanjut, akan menyebabkan mental masyarakat Indonesia bergantung pada bantuan negara.
“Sekarang ini ada masalah, selama tiga tahun ini banyak BLT. Padahal, kalau kita mau membantu, harusnya pemberdayaan. Itu mereka maunya duit dulu. Nah, ini yang bahaya bagi mental masyarakat,” kata Aviliani.