close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ekonomi lesu, pemerintah pangkas pasokan listrik/Antara Foto
icon caption
Ekonomi lesu, pemerintah pangkas pasokan listrik/Antara Foto
Bisnis
Kamis, 29 Maret 2018 12:54

Ekonomi seret, kapasitas pasokan setrum ikut dipangkas

Jumlah tambahan pembangkit menyusut sekitar 28,21% dari target semula yang sekitar 78 Gigawatt (GW) menjadi 56 GW. 
swipe

Pemerintah agaknya tak percaya diri terhadap perhitungan kebutuhan listrik dengan melihat angka pertumbuhan ekonomi. Makanya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) baru saja meluncurkan Rencana Umum Persediaan Tenaga Listrik (RUPTL) 2018 hingga 2027. 

Di RUPTL yang baru, jumlah tambahan pembangkit menyusut sekitar 28,21% dari target semula yang sekitar 78 Gigawatt (GW) menjadi 56 GW. 

Dengan perhitungan yang baru, target kapasitas pembangkit setrum baik yang dimiliki oleh PT PLN (Persero) maupun Independent Power Producer (IPP) ikut menciut sebesar 15,87%. Pada tahun 2025, total kapasitas pembangkit listrik terhitung hanya 106 GW. Padahal, sebelumnya, Pemerintah mematok target fantastis yakni mencapai 126 GW. 

 

Asumsi dasar perubahan perhitungan penyediaan listrik lantaran pertumbuhan ekonomi tak sebesar yang diharapkan oleh pemerintah. Kondisi ekonomi makro seperti daya beli konsumen yang rendah bakal mengerem laju pertumbuhan. 

Walaupun pemerintah mempermudah sejumlah izin investasi, kebutuhan listrik untuk industri tak setinggi yang digembar-gemborkan. Awalnya, Kementerian ESDM menghitung kebutuhan pertumbuhan listrik rata-rata mencapai 8,3% per tahunnya. Kini, angka tersebut turun menjadi 6,9% per tahun. 

"Tapi proyek pembangkit listrik 35.000 MW masih ada karena kebutuhan cukup besar dari investasi baru. Ini hanya ditata ulang," ujar Direktur Jenderal Ketenagalistrikan, Kementerian ESDM, Andy Noorsaman Soomeng.

 

Andy bilang, meski angka target kapasitas pembangkit berkurang, pemerintah masih berkomitmen untuk mengembangkan energi baru terbarukan dan mengurangi ketergantungan terhadap energi fosil. Makanya, di tahun 2025 nanti, bauran energi untuk energi baru terbarukan naik. Sedangkan pembangkit batubara dan gas turun. "Untuk pembangkit BBM-nya masih tetap," jelas Andy.

RUPTL 2018 menyebutkan bauran energi untuk energi baru dan terbarukan sebanyak 23%. Kemudian untuk pembangkit batubara dan gas, masing-masing adalah 23% dan 54,4%. Sedangkan porsi pembangkit listrik BBM hanya diberikan jatah 0,4%. Tadinya, porsi pembangkit batubara dan gas masing-masing sebesar 50,4% dan 26,6%. Sisanya adalah pembangkit energi baru dan terbarukan sebesar 22,6% dan pembangkit BBM 0,4%.

Dengan cetak biru yang baru, Kementerian ESDM memutuskan tidak ada penambahan PLTU Batubara di Jawa kecuali yang sudah teken perjanjian jual beli setrum. Meski diperbolehkan, pembangunan PLTU Batubara di Sumatera dan Kalimantan harus berada di mulut tambang. Sementara, untuk PLTG / PLTGU, Kementerian ESDM mengharuskan tambahan pembangkit di Jawa harus melalui pipa kecuali yang sudah dilelang atau tanda tangan perjanjian jual beli. 

“Pembangunan PLTG kecil di luar Jawa boleh memakai LNG dengan fasilitas platform based. Selain itu rencana PLTU skala kecil akan diganti dengan pembangkit berbahan bakar gas supaya lebih efisien,” ungkap Andy.

 

Jika dilihat dari rencana tambahan pembangkit berdasarkan energi, pemerintah secara tak kasat mata masih berpihak kepada pembangkit batubara. Secara volume, tambahan kapasitas pembangkit batu bara hanya turun 15,57% dari 24.590 MW (RUPTL 2017) menjadi 20.762 MW (RUPTL 2018). Sedangkan pembangkit gas dan energi baru terbarukan masing-masing turun 41,51% dan 27,47%. Ketergantungan terhadap pembangkit batu bara berpotensi menaikkan biaya produksi listrik. Pasalnya, komoditas emas hitam ini diprediksi akan meningkat. Sementara, tren harga energi ramah lingkungan bakal semakin murah. Ditambah lagi dampak polusi yang ditimbulkan oleh pembangkit batu bara.

Memang, banyak instrumen yang bisa digunakan untuk menekan ongkos produksi listrik. Seperti yang dilakukan oleh pemerintah saat ini. Demi memangkas ongkos produksi, pemerintah mematok harga batubara untuk persediaan pembangkit listrik PLN sebesar US$ 70 per ton saat harga di pasar lebih dari US$ 100 per ton. 

Kebijakan yang berlaku hingga Desember 2019 ini merupakan pil pahit bagi perusahaan batu bara. Terlebih, mereka harus memenuhi kewajiban mensuplai pasar domestik atau domestic market obligation (DMO). Ketimbang mengatur harga, kebijakan memperbanyak jumlah kapasitas energi baru dan terbarukan lebih efektif menekan biaya produksi di hilir.

Lagi, ketergantungan terhadap pembangkit batu bara menunjukkan pemerintah tak percaya diri dengan pengembangan energi baru dan terbarukan di dalam negeri. Segambreng peraturan yang dibuat oleh pemerintah bukannya menarik investasi malah membuat investor untuk mundur teratur. Beberapa kebijakan yang dianggap tak ramah terhadap iklim investasi seperti misalnya skema BOOT yang membuat perusahaan swasta menyerahkan aset setelah 30 tahun. 

Di sisi lain, pemerintah mengatur besaran harga yang mana dianggap tak menguntungkan bagi investor. Siapa yang mau berinvestasi apabila investor tak bisa mendulang keuntungan meski potensi energi baru dan terbarukan cukup besar? Bagaimanapun pengusaha melihat aspek keekonomian. Sebab, mereka berbisnis bukan untuk beramal.

Prospek nilai ekonomi industri ketenagalistrikan

Belum terpenuhinya rasio elektrifikasi nasional membuka ceruk pasar industri produksi, transmisi dan distribusi setrum di Indonesia. Perhitungan Euromonitor International memperlihatkan omset produksi, transmisi dan distribusi listrik di Indonesia tumbuh 18,30% setiap tahunnya dalam kurun waktu 2013 hingga 2018.

Di tahun Anjing Tanah ini, omset di industri kelistrikan yang meliputi kegiatan produksi, transmisi dan distribusi listrik diproyeksikan mencapai Rp 708,12 trilliun atau tumbuh 11,52% dari tahun lalu Rp 634,99 triliun. Apabila dibandingkan dengan tahun 2013, nilai omset 2018 bertumbuh 95,47% pada tahun ini.

Pasar ketenagalistrikan masih dikuasi oleh perusahaan pelat merah, PLN . Dari catatan Euromonitor, pangsa pasar PLN di industri penyediaan listrik (produksi, transmisi dan distribusi) mencapai 25,3%. Disusul berikutnya oleh Engie SA dan Chevron Geothermal Indonesia Ltd dengan pangsa pasar 1,8% dan 1,7%.

 

Sementara itu, Kementerian ESDM memperkirakan butuh pendanaan sekitar Rp 1.019 triliun guna menyediakan infrastruktur kelistrikan pada 2016 hingga 2020. Ini berarti, butuh duit sekitar Rp 204 triliun per tahunnya. Jumlah ini diperuntukkan mendanai proyek-proyek milik swasta maupun PLN baik untuk pembangkit, penyaluran dan distribusi.

Untuk tahun 2018, perkiraan kebutuhan rencana investasi ketenagalistrikan sebesar Rp 261,9 triliun. Porsi paling besar adalah pembangunan pembangkit yang menelan dana sekitar Rp 182,12 triliun. Sisanya sebesar Rp 79,78 triliun adalah kebutuhan belanja transmisi dan distribusi.

 

 

img
Fira Fauziah
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan