close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Pemerintah resmi menghapus pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari sebelumnya US$50 per ton lantaran harga sedang anjlok. / Facebook
icon caption
Pemerintah resmi menghapus pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari sebelumnya US$50 per ton lantaran harga sedang anjlok. / Facebook
Bisnis
Senin, 26 November 2018 18:33

Pemerintah resmi hapus pajak ekspor CPO

Pemerintah resmi menghapus pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (CPO) dari sebelumnya US$50 per ton lantaran harga sedang anjlok.
swipe

Pemerintah resmi menghapus pungutan ekspor minyak kelapa sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari sebelumnya US$50 per ton lantaran harga sedang anjlok.

Menteri Koordinator Bidang Perekonomian sekaligus Ketua Dewan Pengarah Badan Pengelola Dana Perekbunan Kelapa Sawit (BPDPKS), Darmin Nasution menjelaskan, keputusan penghapusan pungutan ekspor CPO dan produk turunannya itu lantaran harga di pasar internasional per hari ini anjlok ke level US$420 per ton. Padahal pada 8-9 hari lalu, harga CPO masih pada kisaran US$530 per ton. 

Saat ini, besaran pungutan yang dikenakan kepada eksportir adalah sebesar US$50 per ton untuk CPO dan US$30 per ton kepada produk turunan pertama, dan US$20 per ton pada produk turunan kedua.

"Itu (baik pungutan ekspor sawit dan turunan) yang sekarang kita nol untuk sementara," jelas Darmin di kantornya, Senin (26/11). 

Kendati demikian, apabila harga CPO kembali naik menjadi US$500 per ton, maka pemerintah akan mengenakan biaya pungutan ekspor menjadi US$25 per ton untuk CPO, US$10 untuk produk turunan pertama dan US$5 untuk produk turunan kedua. 

Akan tetapi, apabila harga CPO kembali naik menjadi di atas US$549 per ton, maka pungutan akan akan kembali normal, yakni US$50 per ton untuk CPO, US$30 untuk produk turunan pertama, dan US$20 per ton untuk produk turunan kedua. 

"Kebijakan dengan harga (CPO) yang rendah, sebenarnya banyak pihak itu rugi. Itu sudah tidak bisa dilaksanakan dalam situasi ini, sampai harga membaik," tutur Darmin. 

Pengaturan mengenai pungutan ekpor untuk kelapa sawit ini, sebelumnya dituangkan dalam PMK No. 81 Tahun 2018. 

Dengan kebijakan yang baru ada sekarang ini, maka pemerintah akan merevisi aturan tersebut setelah tanggal 2 Desember 2018. 

Jokowi akui sulit

Sehari sebelumnya, Presiden Joko Widodo menyebut dua problem besar di Sumatra Selatan terkait dengan harga sawit dan karet yang jatuh di pasar global.

"Di Sumsel ini memang ada dua problem besar yang harus diselesaikan bersama-sama, yaitu urusan yang berkaitan dengan harga karet dan sawit," kata Presiden Joko Widodo (Jokowi) dalam acara Evaluasi Kebijakan Pembangunan dan Pemberdayaan Masyarakat Desa dan Sosialisasi Prioritas Penggunaan Dana Desa Tahun 2019 di Palembang Sport and Convention Center (PSCC) di Kota Palembang, Minggu (25/11).

Kendati demikian, ia menegaskan bahwa urusan sawit dan CPO ini bukan urusan mudah. Ia menambahkan sudah empat tahun ini pemerintahannya berupaya mengurus dan melobi Uni Eropa agar produk sawit Indonesia tidak dicegat sehingga bisa masuk ke pasar kawasan tersebut.

"Karena kita dicegat di Uni Eropa. Alasannya banyak sekali, tapi sebetulnya ini urusan bisnis," katanya.

Mereka, lanjutnya, juga jualan yang namanya minyak bunga matahari, Indonesia jualan minyak kelapa sawit sehingga masuk ke sana sekarang mulai dihambat-hambat. "Saya sudah kirim tim berapa kali bolak-balik agar sawit kita bisa diterima di sana sebanyak-banyaknya," katanya.

Beberapa waktu lalu Presiden Jokowi juga telah bertemu Perdana Menteri China. "Saya minta Tiongkok beli lebih banyak dari sekarang, saya minta tambahan. Saya to the point saja minta agar produksi di sini bisa diserap sehingga harganya bisa naik. Ada tambahan 500.000 ton, itu banyak sekali. Tapi ternyata juga belum mempengaruhi harga pasar secara baik," katanya.

Presiden mengatakan kebun kelapa sawit di seluruh Indonesia berada pada posisi yang sangat besar dengan luasan 13 juta hektare atau peringkat satu di dunia.

Sementara produksinya setiap tahun 42 juta ton. "Itu kalau dinaikkan truk berarti kurang lebih 10 juta truk angkut. Besar sekali jumlah ini," katanya.

Indonesia saat ini bersaing dengan Malaysia dan Thailand dalam hal pasar sawit namun tetap saja Indonesia merupakan produsen sawit terbesar.

Oleh sebab itu Presiden menegaskan bahwa mengendalikan hal itu tidak mudah. "Ini perdagangan internasional, ini perdagangan global. Tidak bisa kita pengaruhi mereka semua, tidak semudah itu," katanya.

Oleh sebab itu di dalam negeri sudah tiga bulan ini Presiden memerintahkan agar menggunakan sawit sebagai campuran solar sebagai bahan bakar alternatif Biodiesel 20% (B20).

Namun untuk itu diperlukan waktu setidaknya satu tahun untuk menunggu keberhasilan B10 agar kemudian sawit bisa diserap pasar lokal.

Sementara terkait karet, Presiden juga menegaskan bahwa komoditas tersebut juga ditentukan pasar dunia yang tidak bisa dipengaruhi dengan kebijakan-kebijakan pemerintah. "Oleh sebab itu, sebulan yang lalu saya perintahkan kepada Pak Menteri PU, Pak Basuki. Pak Menteri, sekarang pengaspalan jalan harus pakai karet. Ini sebentar lagi yang di Sumsel kita akan beli langsung dari petani atau koperasi untuk beli getah karetnya. Dibeli langsung oleh Kementerian PU," katanya.

Presiden juga meminta agar pembelian oleh pemerintah itu dipatok dengan harga yang lebih tinggi dibandingkan haga pasar.

Presiden kembali menegaskan tidak mudah menyelesaikan hal seperti ini karena menyangkut produksi yang sangat besar namun ia berjanji pemerintah akan mengupayakan berbagai hal agar persoalan tersebut dapat teratasi dengan baik.

 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 
 

Indonesia punya lahan sawit 13 juta hektare. Produksi dan stoknya melimpah, bisa sampai 42 juta ton. Begitu juga komoditas karet yang jadi andalan Sumatra Selatan. Karena itulah, di Palembang kemarin, saya sampaikan bahwa pemerintah memahami kekhawatiran para petani sawit dan karet di Sumsel mengenai rendahnya harga jual sawit dan karet beberapa waktu belakangan. Pemerintah sedang mengupayakan agar hasil produksi kedua komoditas dapat terserap dan sekaligus memperbaiki harga jual. Kendati berhadapan dengan kampanye negatif Uni Eropa, saya secara langsung menawarkan produk kelapa sawit Indonesia kepada pimpinan negara lain. Saya minta Tiongkok beli 500.000 ton lebih banyak dari yang sekarang. Di dalam negeri sudah ada program B20, penggunaan minyak sawit 20 persen sebagai campuran solar. Untuk menyerap produksi karet petani, saya sudah perintahkan kepada Menteri PUPR untuk — langsung atau lewat koperasi — membeli getah karet petani dengan harga yang baik. Getah karet itu dapat digunakan untuk campuran di pekerjaan pengaspalan jalan.

A post shared by Joko Widodo (@jokowi) on

img
Cantika Adinda Putri Noveria
Reporter
img
Sukirno
Reporter
img
Sukirno
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan