Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan (DJBC Kemenkeu) tengah mengodok regulasi pengenaan cukai minuman berpemanis dalam kemasan (MBDK), yang nantinya akan berbentuk peraturan pemerintah (PP). Secara pararel, pemerintah juga sedang mencoba memetakan seberapa besar dampak cukai MBDK setelah diimplementasikan.
"Kami simulasikan penerapannya seperti apa dan lingkupnya seperti apa," ujar Direktur Penerimaan dan Perencanaan Strategis DJBC Kemenkeu, M. Alfah Farobi, Selasa (26/9).
Ia memastikan sebelum diterapkan cukai MBDK diterapkan pada 2024, pembahasan aturan barang kena cukai (BKC) ini akan dilakukan dengan sangat hati-hati. Pasalnya, kebijakan bakal membawa lebih banyak dampak buruk bagi masyarakat dan dunia usaha jika tidak dibahas secara cermat hingga menghasilkan regulasi yang baik.
Apalagi, sambungnya, banyak pedagang kecil yang menggantungkan hidupnya dengan berjualan minuman manis di pinggir jalan. Oleh karena itu, pada tahap awal, pemerintah takkan mengenakan cukai MBDK pada terhadap produk minuman berpemanis dalam kemasan gelas yang di-press.
"Orang yang jual minuman di-press, yang mesin press-nya harganya cuma Rp2 juta sampai Rp3 juta, apakah ini akan dikenakan [cukai]? Ini kemarin untuk tahap awal, kelihatannya menurut kajian kami, ini belum dikenakan,” tegas Alfah.
Wacana pengenaan cukai MBDK telah disampaikan pemerintah kepada DPR sejak 2020, tetapi urung terlaksana hingga sekarang. Namun, untuk mencapai target kepabeanan dan cukai tahun depan, yang dipatok sebesar Rp321 triliun atau lebih besar 17% dibanding proyeksi 2023 sebesar Rp300 triliun, pemerintah berencana melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi.
Dengan penerimaan dari BKC yang akan digenjot ialah melalui pengenaan cukai MBDK dan produk plastik. Dalam APBN 2024, penerimaan dari kedua BKC itu masing-masing ditargetkan mencapai Rp980 miliar dan Rp3,1 triliun.
"Tahun depan, mudah-mudahan kita bisa menerapkan barang kena cukai berupa minuman berpemanis dalam kemasan dan produk plastik," ujar Alfah.