Pemerintah siapkan skema pajak untuk fintech
Kementerian Keuangan (Kemenkeu) akan membuat kebijakan terkait perpajakan untuk industri financial technology (fintech). Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani Indrawati mengatakan skema pajak akan dibuat secara adil untuk mendukung kemajuan keuangan digital.
“Pemerintah Indonesia, terutama Kemenkeu, secara berkelanjutan menciptakan dialog dengan industri mengenai tax regime yang bisa dilihat sebagai pemajakan yang adil,” kata Sri Mulyani dalam acara Indonesia Fintech Summit & Expo 2019 di Jakarta, Senin (23/9).
Menurut Sri Mulyani, hal tersebut dilakukan agar tercipta keadilan untuk perusahaan konvensional dan digital di Indonesi. Sehingga pemerintah terus berupaya menyusun kebijakan perpajakan, terutama untuk pajak digital bagi pelaku usaha bidang startup dan e-commerce.
Ia melanjutkan keadilan perpajakan tersebut tidak hanya diterapkan untuk pemain ekonomi digital di Indonesia saja, melainkan juga dari negara lain.
“Karena banyak transaksi yang borderless, jadi kita akan buat kebijakan yang semakin global dan borderless tapi tetap adil,” ujarnya.
Lebih lanjut, Sri Mulyani menuturkan bahwa dalam merealisasikan hal tersebut masih perlu adanya tata kelola data yang lebih baik seperti pengumpulan, penggunaan, dan keamanan data nasabah. Menurut dia, hal ini harus diatur dalam undang-undang khusus.
"Saat ini kita punya UU ITE, tapi apakah UU tersebut bisa berikan keamanan dan keselamatan data dengan baik? Saya rasa harus kita atur lagi. Ini yang terus pemerintah bangun,” katanya.
Di sisi lain, saat ini pemerintah juga sedang fokus dalam mengembangkan infrastruktur untuk meningkatkan akses terhadap teknologi digital di Indonesia. Sebab masyarakat yang berada di luar Jakarta dan luar Pulau Jawa yang masih sulit untuk mendapatkan akses teknologi.
“Ini adalah upaya untuk menyiapkan masyarakat dan ekonomi bisa mengambil manfaat dari adanya perkembangan teknologi termasuk fintech,” ujarnya.
Pengembangan infrastruktur tersebut dalam bentuk dibangunnya tiga proyek Palapa Ring, serta bandara, pelabuhan, jalan, dan peningkatan kualitas Sumber Daya Manusia (SDM) melalui anggaran pendidikan dan vokasi.
“Kita ingin meyakinkan bahwa Indonesia adalah negara yang tidak mendiskriminasikan penggunaan fintech atau teknologi digital,” katanya.
Target inklusi keuangan
Dalam kesempatan yang sama, Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Darmin Nasution mengatakan bahwa perkembangan fintech yang semakin pesat dapat berperan besar untuk membantu pemerintah mencapai target inklusi keuangan sebesar 75% pada 2019.
“Kami percaya pada inovasi dalam industri digital dan teknologi untuk mencapai inklusi keuangan ini dengan lebih cepat,” katanya.
Ia menuturkan rasio tabungan (gross saving ratio) terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia baru mencapai 31%, atau lebih rendah dari Singapura dan China yaitu berada pada level 46%, serta Thailand 34%.
“Hal tersebut yang menjadi dasar bagi pemerintah dalam meluncurkan Strategi Keuangan Nasional Inklusif (SKNI) melalui Peraturan Presiden (Perpres) 82/2016,” ujarnya.
Lebih lanjut, Darmin mengatakan perkembangan fintech tersebut cukup berpengaruh dibuktikan dengan data dari Asosiasi Fintech Indonesia (Aftech) yang menunjukkan bahwa 70% portofolio fintech terdiri atas lapisan masyarakat yang tidak terlayani perbankan (unbanked and underbanked).
“Terutama di payment dan lending market. Peningkatan bisnis ini yang sangat kuat membuat banyak agen fintech tumbuh,” kata Darmin.
Darmin menjelaskan hal tersebut dapat terjadi karena fintech memiliki kelebihan dalam memberi pelayanan keuangan yang cepat, terjangkau, dan aman untuk masyarakat sehingga diharapkan bisa membantu ekonomi digital di Indonesia.
“Fintech harus mampu menjangkau populasi di kawasan terluar dan terdalam di Indonesia agar misi fintech untuk mencapai inklusi keuangan benar-benar tercapai,” ujarnya.
Ia berharap fintech mampu bekerja sama dengan agen perbankan dan tidak hanya fokus untuk memperoleh keuntungan dari bisnisnya melainkan juga fokus meningkatkan edukasi dan proteksi kepada konsumen.
“Saya berharap fintech dapat mengintegrasikan diri dengan sektor ekonomi riil yang telah mengadopsi teknologi juga,” katanya.
Berdasarkan data Findex, jumlah penduduk dewasa yang memiliki akses pada institusi finansial di Indonesia meningkat dari sekitar 36% pada 2014, menjadi 48,9%pada 2017. Sedangkan OJK mencatat pada 2017 mencapai 68,7%.
“Kami yakin dengan inovasi melalui teknologi kita bisa capai ini,” ujarnya.
Regulatory Sandbox
Sementara itu, Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo mengatakan BI akan mengubah pendekatan regulatory sandbox atau program uji coba bagi startup fintech. Hal tersebut bertujuan untuk mengembangkan industri fintech nasional melalui inovasi inklusi keuangan digital.
"Salah satu inovasi dan stabilisasi kita perhatikan, BI akan merubah pendekatan sandbox yang selama ini regulatory approach menjadi development approach," kata Perry.
Menurutnya, selama ini Bank Indonesia lebih banyak menunggu start up untuk mengajukan perizinan terutama terkait dengan sistem pembayaran. Namun, hal itu akan diubah, ke depan BI akan turut mengembangkan fintech di Indonesia.
"Kita akan rombak, melalui visi 2025 kita development approach. Artinya kita bergandengan tangan dengan pemerintah, asosiasi, dan juga dunia usaha untuk mengembangkan start up secara bersama baik untuk UMKM, untuk pasar tadisional, dan untuk di koperasi keuangan daerah," jelasnya.
Lebih lanjut, Perry menjelaskan pihaknya juga akan menghubungkan keberadaan start up fintech dengan pelaku usaha di dunia keuangan. (Ant)