Nilai tukar rupiah diyakini akan menemukan keseimbangan baru. Setelah sebelumnya mengalami tekanan dari dollar AS. Nilai tukar rupiah yang ditransaksikan antarbank di Jakarta pada Selasa pagi, bergerak menguat sebesar 68 poin menjadi Rp13.894 dibanding posisi sebelumnya Rp13.962 per dollar AS.
Menteri koordinator bidang perekonomian Darmin Nasution mengatakan, pelemahan nilai tukar rupiah, bukanlah yang terburuk dibandingkan dengan mata uang negara lain.
Menteri koordinator bidang perekonomian Darmin Nasution meminta agar masyarakat tidak hanya melihat penurunan nilai tukar rupiah secara absolut. Tetapi juga melihat persentasenya.
Pelemahan rupiah terhadap dollar lebih disebabkan karena adanya faktor eksternal. Seperti tekanan perang dagang antara China dan AS. Selain itu, ada tekanan yang memperkirakan The Fed menaikkan suku bunga lagi.
Itulah sebabnya, Darmin menilai nilai tukar masih berpeluang kembali menguat. Tetapi nampaknya sulit kembali menyentuh kisaran Rp 13.400 - Rp 13.500 per dollas AS. "Akan ada keseimbangan baru, tapi tidak bergerak terlalu tinggi. Rupiah akan mengarah ke angka fundamentalnya. Berapa? Masih sekitaran segitu (Rp 13.700)," imbuh Darmin, kepada wartawan, Selasa (24/4) di Jakarta.
Kendati tidak signifikan, kondisi itu, diyakini mempengaruhi inflasi. Misalnya saja terdapat administered prices, seperti tarif listrik dan harga BBB. Inflasi saat ini masih ada di kisaran 3,5%.
Gubernur BI, Agus DW Martowardojo, menuturkan,mata uang AS (US$), menguat tajam terhadap semua mata uang dunia. Penguatan US$ masih dipicu oleh meningkatnya yield US treasury bills mendekati level psikologis 3,0%. Serta munculnya kembali ekspektasi kenaikan suku bunga Fed Fund Rate (FFR) sebanyak lebih dari 3 kali selama 2018.
Kenaikan yield dan suku bunga di AS itu sendiri dipicu meningkatnya optimisme investor terhadap prospek ekonomi AS. Seiring berbagai data ekonomi AS yg terus membaik dan tensi perang dagang antara AS dan China yang berlangsung selama 2018 ini .
Untuk menjaga stabilitas nilai tukar rupiah (IDR) sesuai fundamentalnya, Bank Indonesia telah melakukan intervensi. Baik di pasar valas maupun pasar SBN dalam jumlah cukup besar.
Dengan dukungan upaya stabilisasi BI, sejak awal April (mtd), IDR melemah -0,91%, lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain, seperti THB -1,04%, INR -1,96%, MXN -2,76%, ZAR -3,30%.
Demikian pula, sejak awal 2018 (ytd). IDR melemah -2,35%, juga lebih kecil daripada pelemahan mata uang beberapa negara emerging market lain seperti BRL -3,06%, INR -3,92%, PHP -4,46%, dan TRY -7,17%.
Bank Indonesia akan terus memonitor dan mewaspadai risiko berlanjutnya tren pelemahan nilai tukar rupiah, baik yang dipicu oleh gejolak global seperti dampak kenaikan suku bunga AS, perang dagang AS-China. Kenaikkan harga minyak, dan eskalasi tensi geopolitik terhadap berlanjutnya arus keluar asing dari pasar SBN dan saham Infonesia.
Maupun yang bersumber dari kenaikan permintaan valas oleh korporasi domestik. Terkait kebutuhan pembayaran impor, ULN, dan dividen yang biasanya cenderung meningkat pada triwulan II. "Untuk itu, Bank Indonesia akan tetap berada di pasar untuk menjaga stabilitas rupiah sesuai fundamentalnya," ucapa dia.