Di tengah dinamika ekonomi global, pemerintah Amerika Serikat (AS) menangguhkan kebijakan tarif resiprokal selama 90 hari untuk sejumlah negara, termasuk Indonesia. Keputusan ini menjadi kabar baik yang memberi ruang bernapas bagi berbagai sektor industri nasional, termasuk asuransi.
PT Sompo Insurance Indonesia (Sompo Insurance), salah satu pelaku industri asuransi umum, menyambut baik perkembangan ini dan tetap menatap 2025 dengan optimistis.
Presiden Direktur Sompo Insurance Eric Nemitz menilai, meski industri asuransi di Indonesia masih menghadapi tantangan berupa rendahnya tingkat penetrasi, Sompo Insurance melihat hal tersebut sebagai peluang untuk berinovasi dan menjangkau masyarakat lebih luas.
“Kami optimistis dengan potensi di Indonesia. Salah satu tantangan pada asuransi umum sejauh ini adalah masih rendahnya tingkat penetrasi. Namun, hal tersebut justru memotivasi kami sebagai penyedia layanan asuransi untuk menjadi lebih inovatif dalam memberikan solusi yang dapat memenuhi kebutuhan para nasabah yang terus berkembang,” ujar Eric dalam keterangan kepada Alinea.id, Minggu (13/4).
Eric menambahkan kunci keberhasilan dalam industri asuransi bukan hanya terletak pada kekuatan produk, tetapi pada kemampuannya menjaga kepercayaan dan memberikan layanan yang berkualitas tinggi.
“Kami berada pada bisnis di mana menjaga kepercayaan, memahami dan memenuhi kebutuhan nasabah merupakan hal yang sangat penting,” jelasnya.
Memasuki kuartal I-2025, Sompo Insurance mencatat kinerja bisnis yang solid, meskipun harus menghadapi tantangan operasional akibat sejumlah hari libur nasional yang terjadi berdekatan. Performa positif perusahaan ditopang oleh tiga lini bisnis utamanya, yakni asuransi properti, kendaraan bermotor, dan asuransi kesehatan.
Keberhasilan ini menunjukkan ketahanan dan adaptabilitas Sompo Insurance dalam menghadapi tantangan, sekaligus menegaskan komitmen perusahaan untuk terus berkembang bersama masyarakat Indonesia. Dengan dukungan kebijakan internasional yang lebih kondusif dan pendekatan layanan yang terus diperkuat, Sompo Insurance bersiap memperluas perannya dalam mendorong pertumbuhan industri asuransi nasional.
Keyakinan Sompo Insurance menandakan meskipun situasi global penuh ketidakpastian, potensi Indonesia sebagai pasar asuransi yang berkembang tetap menjadi daya tarik utama bagi pelaku industri yang visioner dan berorientasi pada kebutuhan jangka panjang masyarakat.
Peluang di tengah tantangan
Diketahui, AS menetapkan tarif resiprokal dasar sebesar 10% mulai 5 April 2025. Namun, bagi Indonesia, tarif khusus sebesar 32% sedianya berlaku mulai 9 April yang kemudian ditunda selama 90 hari. Angka ini jauh lebih tinggi dibandingkan tarif yang dikenakan kepada Jepang (24%), Uni Eropa (20%), bahkan Korea Selatan (25%).
Ketua Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) Saleh Partaonan Daulay menilai penundaan pemberlakuan sebagian tarif memberikan ruang bagi Indonesia untuk mengatur langkah. Kebijakan tarif 32% oleh AS disebut perlu disikapi dengan benar oleh pemeritah.
“Cara menyikapinya tentu dengan negosiasi, paling tidak agar diseimbangkan (kebijakan tarif). Kedua tentu kita di dalam negeri harus meningkatkan daya saing barang-barang kita, sehingga dengan adanya peningkatan daya saing barang-barang kita bukan hanya lagi kita mengejar ekspor ke Amerika, tetapi buka pasar baru. Eropa, Timur Tengah, dan Afrika saya kira itu menjanjikan untuk pasar kita,” ujar Saleh, dikutip Minggu (13/4).
Sebelumnya, Anggota Komisi VI DPR, Firnando Ganinduto, menyerukan agar pemerintah segera mengambil langkah-langkah strategis dan efisien guna melindungi industri dalam negeri. Hal ini merupakan upaya mengatasi dampak kebijakan tarif impor timbal balik sebesar 32% yang diberlakukan AS terhadap Indonesia.
Firnando menegaskan urgensi perlindungan terhadap industri nasional, terutama sektor-sektor ekspor yang menjadikan Amerika sebagai pasar utama. Firnando melihat kebijakan tarif tinggi ini bukan hanya berdampak secara nasional, tetapi juga menjadi tantangan global yang memperburuk kondisi perdagangan dunia. Ia menyoroti sektor garmen sebagai salah satu industri yang rentan terkena dampak langsung.
“Keadaan ini tidak bisa dibiarkan, tarif ekspor sebesar 32% terlalu memberatkan,” ujarnya, Selasa (8/4).
Meski demikian, Firnando tetap melihat peluang besar di balik tantangan ini. Ia menekankan pentingnya mempertahankan relasi ekspor ke Amerika Serikat mengingat besarnya potensi pasar negeri Paman Sam tersebut.
“Ekspor barang industri ke Amerika Serikat perlu tetap diupayakan sebab populasi penduduk di Amerika Serikat berada di urutan ketiga terbesar di dunia. Jika pangsa pasarnya besar maka potensi daya belinya juga besar sehingga tidak semestinya ditinggalkan,” paparnya.