Perombakan direksi perusahaan BUMN Pertamina, menimbulkan reaksi pro dan kontra dikalangan pengamat.
Bagi yang pro, kebijakan itu dinilai tepat mengingat, Dirut Pertamina sebelumnya kerap mengeluh kalau Pertamina akan merugi, jika menjalankan beberapa penugasan yang diberikan langsung pemerintah. Sementara mereka yang kontra menilai, apa yang dikatakan Dirut Pertamina merupakan kenyataan dan harusnya direspon positif oleh pemerintah.
Pengamat ekonomi energi Universitas Gajah Mada Fahmi Radhi menganggap pencopotan Elia Massa sebagai Dirut Pertamina sebagai hal yang wajar.
Presiden Jokowi telah menginstruksikan agar tidak ada kenaikan tarif listrik dan BBM sampai 2019. Namun di masa Elia Massa menjabat, ada beberapa imbauan dari Presiden tersebut yang tidak dijalankan olehnya.
"Misalnya, mengurangi pasokan (BBM Premium) di Jamali (Jawa, Madura, Bali). Memang menurut aturan, penugasan itu di luar Jamali. Tapi, pengurangan tadi menyebabkan kelangkaan premium di beberapa daerah," terang Fahmi Radhi, Sabtu (21/4) dalam diskusi publik di kawasan Menteng, Jakarta.
Ketika kelangkaan belum selesai, tiba-tiba Pertamina menaikkan harga Pertalite. Kendati hanya Rp 200, tetapi disparitas harga antara Premium dan Pertalite menjadi lebar, yakni sebesar Rp 1.450. Konsumen tentu akan mengincar BBM dengan harga terendah.
Bagaimana pun juga Pertamina merupakan BUMN strategis, yang tidak semata-mata mencari profit. Ada penugasan dan kepentingan yang lebih besar daripada hanya urusan keuntungan.
Disisi lain, seharusnya Pertamina masih memiliki profit sekitar 80% dari sisi hulu, yang masih bisa membiayai operasional Pertamina. Pertamina juga masih diuntungkan dengan pemberian blok Mahakam oleh pemerintah secara cuma-cuma. Hal itu tentunya dapat meningkatkan jumlah aset dan income.
Dikesempatan yang sama, Direktur Eksekutif Indonesian Resources Studies (IRESS) Marwan Batubara, memiliki argumen yang bersebarangan dengan Fahmi Radhi. Marwan menyatakan keputusan pencopotan Elia Massa sebagai Dirut Pertamina merupakan wujud dari politisasi pemerintah saat ini.
Pencopotan itu diklaim merupakan instruksi langsung Presiden Jokowi. Namun demikian, ini merupakan hal yang wajar, karena masih dalam koridor Undang-udang atau peraturan yang berlaku di negeri ini.
Pemerintah memang mempunyai kewenangan menugaskan BUMN menjalankan kebijakan dan agenda pemerintah. Tetapi, penugasaan itu tidak bisa berjalan sesukanya pemerintah.
Apalagi dalam Perpres 191 tahun 2014 menyebutkan BBM subsidi itu adalah Solar dan Minyak Tanah. Sementara Premium termasuk ke dalam BBM khusus penugasan, dan kemudian Pertalite masuk ke dalam BBM umum.
Di sisi lain, dalam Pasal 66 UU BUMN No.19 tahun 2003 disebutkan bahwa BBM PSO (Public Service Obligation) merupakan kewajiban pemerintah yang juga harus ikut andil, artinya setiap ada penugasa, penugasan itu bagi BUMN harus visible. Artinya secara bisnis BUMN tidak merugi. Seandainya merugi, maka pemerintah harus memberikan kompensasi dan bisa dinggarkan dalam APBN. Tapi saat ini, Marwan tidak melihat pemerintah menjalankan itu.
Pada April 2016, harga minyak dunia masih dilevel US$ 39 per barel. Namun, dalam waktu hampir kurang lebih 1,5 tahun, tepatnya di akhir 2017 harga mencapai US$ 60 per barel.
"Wajar dong direksi itu bereaksi. Intinya kan sebenarnya ada mekanisme yang kalau memang harga itu bertahan, Pemerintah bisa menambah subsidi di APBN terhadap BBM yang tadi (BBM penugasan). Jika pemerintah tidak memiliki uang untuk mesubsidi itu, ya ikuti saja formua harga yang ada di Perpres," tagas Marwan.
Pertamina sendiri mengalami kerugian yang cukup besar di 2017 dari menjual BBM subsidi Solar dan penugasan Premium, yakni Rp 24 triliun. Sementara itu, di tiga bulan pertama 2018, Pertamina sudah merugi Rp 8,7 triliun.