Penerbitan surat utang berkelanjutan kian marak
Penerbitan instrumen keuangan berkelanjutan semakin marak. Setelah sebelumnya korporasi dan perbankan berduyun-duyun menerbitkan obligasi hijau alias green bond, kini pasar modal tanah air punya obligasi dan sukuk berwawasan sosial berkelanjutan. Penerbitnya adalah PT Sarana Multigriya Finansial (SMF).
Instrumen yang resmi melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI), Desember itu terdiri dari Obligasi Berwawasan Sosial Berkelanjutan I Tahap I Tahun 2023 sebesar Rp500 miliar dengan suku bunga 6,90% tenor 5 tahun, dan Sukuk Musyarakah Berwawasan Sosial Berkelanjutan I Tahap I Tahun 2023 sebesar Rp200 miliar dengan imbal hasil 6,9% tenor 5 tahun.
Direktur Utama SMF, Ananta Wiyogo mengatakan penerbitan obligasi sosial berkelanjutan ini merupakan upaya market widening dan diversifikasi produk yang memiliki concern atas penerapan environmental, social, and governance (ESG) sesuai amanat pemerintah.
“Penerbitan obligasi dan sukuk sosial perdana di Indonesia ini merupakan komitmen kami sebagai special mission vehicle Kementerian Keuangan dalam mendukung upaya-upaya pendanaan kreatif untuk mendukung pendanaan berkelanjutan, sehingga dapat meringankan beban fiskal pemerintah di sektor perumahan," tutur Ananta, Jumat (29/12).
Seluruh dana hasil penawaran umum obligasi dan sukuk ini, setelah dikurangi dengan biaya-biaya emisi, akan digunakan untuk membiayai kembali kegiatan pembiayaan perumahan dan permukiman. Tujuannya, untuk meningkatkan kepemilikan rumah dan meningkatkan ketersediaan proyek perumahan terjangkau bagi masyarakat berpenghasilan rendah (MBR).
"Dana yang diperoleh akan dialokasikan untuk Fasilitas Likuiditas Pembiayaan Perumahan (FLPP) yang telah disalurkan sejak tahun 2018 oleh SMF," ujar Ananta.
Penerbitan surat utang ini merupakan yang pertama setelah diterbitkannya Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (POJK) No.18 Tahun 2023, tentang Penerbitan dan Persyaratan Efek Bersifat Utang dan Sukuk Berlandaskan Keberlanjutan. Beleid itu memperluas cakupan instrumen keuangan berbasis prinsip-prinsip berkelanjutan seperti obligasi hijau, obligasi sosial, dan sustainable bond sustainability-linked bonds. Ada juga, instrumen keuangan berbasis syariah, yaitu social sukuk, sustainable sukuk, dan sustainability-linked sukuk. Pengkategorian surat utang ini memperluas penerimaan pembiayaan berkelanjutan, dengan memperhatikan faktor-faktor lingkungan dan sosial terkait perbaikan dampak perubahan iklim secara menyeluruh.
Menurut Ananta, pembiayaan dalam rangka mendukung program FLPP dapat diformalkan dalam instrumen investasi yang berkelanjutan (sustainable).
Penerbitan ini turut didukung oleh Asian Development Bank (ADB) dalam proses penyusunan kerangka penerbitan serta tinjauan pihak eksternal. Selain itu, penerbitan ini selaras dengan standar internasional dari penerbitan obligasi/sukuk sosial dari International Capital Market Association (ICMMA), di mana obligasi sosial merupakan efek yang bersifat utang yang dana hasil penerbitannya digunakan untuk membiayai kegiatan bisnis perseroan dengan dampak sosial yang positif.
"Merujuk kepada POJK No.18 Tahun 2023, kegiatan usaha berwawasan sosial yang dapat dibiayai oleh obligasi ini salah satunya yaitu perumahan yang terjangkau," tuturnya.
Jika dibandingkan dengan obligasi konvensional, obligasi sosial memiliki perbedaan merujuk kepada beberapa parameter. Pada parameter penggunaan dana obligasi sosial, penggunaan dananya terbatas pada pembiayaan berwawasan sosial.
Lalu, terkait kerangka penerbitan (bonds frameworks) obligasi sosial wajib memformalkan kerangka penerbitan yang sesuai dengan standar tertentu yang telah berlaku. Kemudian, dari sisi parameter peninjauan eksternal, kerangka dan underlying penerbitan obligasi sosial harus ditinjau oleh peninjau eksternal yang independen.
Selain itu, dilihat dari parameter pelaporan, emiten obligasi sosial memiliki komitmen terhadap pelaporan yang terdiri dari realisasi penggunaan dana, pencapaian realisasi kegiatan bisnis yang dibiayai serta dampaknya. Terakhir, dari segi perubahan status, underlying obligasi sosial yang tidak memenuhi kriteria sebagai portfolio berwawasan sosial harus dialokasikan kembali ke portfolio berwawasan sosial lainnya.
Sejak tahun 2018 SMF berkontribusi dalam menurunkan beban fiskal pemerintah dengan membiayai porsi 25% pendanaan Kredit Perumahan Rakyat (KPR) FLPP, sehingga pemerintah hanya menyediakan 75% dari total pendanaan FLPP dari semula yang sebesar 90%. Sumber pembiayaan SMF untuk program tersebut berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) melalui Penyertaan Modal Negera (PMN) dari pemerintah kepada SMF. PMN tersebut kemudian di-blended dengan dana dari penerbitan surat utang, kemudian total dana seluruhnya digunakan untuk mendukung program KPR FLPP dalam memenuhi target subsidi pembiayaan KPR FLPP bagi MBR.
Sejak awal tahun hingga November 2023, SMF mengalirkan dana pendamping mendukung penyaluran KPR FLPP untuk MBR sebesar Rp5,48 triliun atau setara dengan 144.409 rumah. Adapun, akumulasi sejak Agustus tahun 2018 hingga November 2023 SMF telah menyalurkan pembiayaan KPR FLPP sebesar Rp20,52 triliun, setara dengan 566.059 rumah.
Senior Director Finance Sector Office ADB, Christine Engstorm, dalam sambutan di pembukaan ASEAN Capital Market Forum (ACMF) 2023, 17 Oktober 2023 lalu menyebut, utang berkelanjutan setiap tahun meningkat, dari US$0,25 miliar pada 2016 menjadi US$6,75 miliar pada 2021. ”Sehingga total utang berkelanjutan menjadi sekitar US$24 miliar dan ini merupakan angka yang sangat mengesankan. Tapi, jalan kita masih panjang,” ujarnya, dikutip Kompas.id.
Menurut dia, pasar ekuitas utang berkelanjutan masih perlu diperbesar untuk memenuhi kebutuhan pendanaan berkelanjutan bagi perekonomian ASEAN. Oleh karena itu, kebijakan seperti POJK 18/2023 bisa memberi keuntungan bagi Indonesia sebagai salah satu negara ASEAN.