close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong. Foto dokumentasi.
icon caption
Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong. Foto dokumentasi.
Bisnis - Industri
Rabu, 30 Oktober 2024 17:58

Penetapan tersangka Tom Lembong dan acakadut impor gula

Kejagung menetapkan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong, sebagai tersangka impor gula.
swipe

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan Menteri Perdagangan periode 2015-2016, Thomas Trikasih Lembong, sebagai tersangka impor gula. Tom Lembong, sapaan akranya, dijerat atas dua kasus dan diduga merugikan negara hingga ratusan miliar rupiah.

Kasus pertama, persetujuan impor gula kristal mentah (GKM) 105.000 ton untuk diolah jadi gula kristal putih (GKP) atau gula konsumsi ke PT AP pada 2015. Tom disalahkan karena saat itu Indonesia mengalami surplus gula. Selain itu, Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula menyebut impor hanya boleh dilakukan oleh Badan Usaha Milik Negara (BUMN). Sedangkan PT AP bukan BUMN, tapi swasta.

Sekadar informasi, Peraturan Menteri Perdagangan dan Perindustrian 527/2004 tentang Ketentuan Impor Gula sudah beberapa kali mengalami pergantian. Antara lain oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 117/2015 tentang Ketentuan Impor Gula. Terakhir, oleh Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 14/2020 tentang Ketentuan Impor Gula.

Meskipun regulasi berubah, substansinya ada yang tak berubah. Yakni, pasar gula kristal rafinasi (GKR) dan GKP tetap terpisah. Lalu, impor hanya bisa dilakukan oleh perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai importir dari otoritas, yakni BUMN produsen gula yang mengantongi Angka Pengenal Impor Produsen. Kemudian, impor GKM sebagai bahan baku GKR dan impor GKR oleh perusahaan yang mendapatkan pengakuan sebagai importir hanya bisa digunakan sebagai bahan baku untuk proses produksi dari industri. Gula juga dilarang dipindahtangankan atau diperjualbelikan kepada pihak lain. Sementara yang berubah pada detail-detail. 

Tom juga dijerat kasus persetujuan impor GKM untuk diolah GKP sebesar 300.000 ton pada Januari 2016 kepada PT Perusahaan Perdagangan Indonesia (PPI). Tugas ke PPI untuk melakukan pemenuhan stok gula atau konsumsi nasional dan menstabilkan harga.

Pengamat Pertanian Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI) Khudori mengatakan rencana impor sebetulnya dibahas di rapat koordinasi bidang perekonomian di bawah Kementerian Koordinator Perekonomian. Tom Lembong disalahkan karena izin yang dikeluarkan adalah impor GKM, padahal semestinya GKP. Persetujuan impor Kementerian Perdagangan tanpa rekomendasi Kemenerian Perindustrian, dan yang mengolah GKM jadi GKP adalah pabrik gula rafinasi, yang tak lain produsen GKR. 

"Saya tidak begitu ingat kondisi di awal hingga pertengahan tahun 2015. Yang pasti, akhir tahun 2015 stok gula hanya 816.000 ton gula, yang kemudian menjadi stok awal 2016 atau hanya cukup untuk kebutuhan konsumsi 3,42 bulan," ujar Khudori kepada Alinea.id, Rabu (30/10).

Secara rinci, stok gula sebesar 816.000 ton dibagi 238 ton sehingga diketahui pasokan hanya cukup untuk kebutuhan 3,42 bulan. Adapun asumsi 238 ton tersebut memperhitungkan total angka konsumsi gula sepanjang 2015 yang sebesar 2,863 juta ton. Apabila dibagi 12 bulan, maka rata-rata konsumsi per bulan sekitar 238 ton. 

Suplai gula itu hanya cukup untuk konsumsi pada Januari hingga pertengahan April 2016. Karena Januari hingga Mei tidak ada tambahan gula berarti dari produksi domestik, maka dilakukan impor yang mestinya jauh-jauh hari.

"Persetujuan impor memang dikeluarkan Januari 2016, tapi berupa izin impor GKM untuk diolah jadi GKP. Ini awal "kecelakaan" itu terjadi," lanjutnya.

Sudah jamak diketahui, saat itu pabrik gula BUMN yang berbasis tebu dalam kondisi tidak giling. Mereka baru giling akhir Mei atau awal Juni 2016. Karena tidak giling, penugasan diberikan ke PT PPI, yang juga BUMN. Tapi PPI bukan BUMN yang bisa bertindak sebagai importir produsen.

Menurutnya, langkah Tom ini menyalahi aturan. Lantaran tidak ada pabrik gula BUMN yang giling, PT PPI kemudian bekerja sama dengan pabrik gula rafinasi untuk mengolah GKM jadi GKP. Pabrik gula rafinasi dipastikan bisa beroperasi sepanjang tahun karena bahan baku GKM dari impor. Sepanjang impor terjaga, operasi bisa sepanjang tahun. 

Tapi, tindakan ini juga salah karena pabrik gula rafinasi bukan produsen GKP melainkan produsen GKR, yang pasarnya untuk industri, yakni makanan, minuman, dan farmasi. Perlu diketahui, pasar gula konsumsi dan pasar gula industri di Indonesia dibedakan alias tersekat.

"Sepertinya hanya di sini pasar gula disekat seperti ini," katanya.

Pabrik gula rafinasi tidak memiliki izin memproses GKP, sehingga gula yang dihasilkan tidak langsung mengantongi Standar Nasional Indonesia (SNI) GKP. Setelah SNI selesai, gula baru bisa disalurkan pada Mei 2016. Selama Januari hingga April, pasokan gula hanya mengandalkan stok akhir 2015. Tambahan produksi belum ada, sementara keputusan distribusi gula sepenuhnya dipegang pedagang. Distribusi bulanan gula selama Januari hingga April 2016 terus menurun, jauh dari kebutuhan pasar. 

Situasi ini dimanfaatkan pedagang dengan menahan stok agar harga terkerek naik. Strategi ini berhasil yang ditandai oleh kenaikan harga gula fantastis di tingkat ritel, yang mencapai puncaknya pada Juli 2016 yakni Rp16.266 per kilogram (kg). Harga ini jauh di atas harga eceran tertinggi (HET) sebesar Rp13.000 per kg.

Bukan kasus satu-satunya

Mengutip Kejaksaan Agung, Khudori bilang, GKP itu tidak disalurkan dalam bentuk operasi pasar, tapi oleh perusahaan swasta yang dijual ke masyarakat melalui distributor dengan harga Rp16.000 per kg atau lebih tinggi dari HET. Diatur seolah-olah PT PPI membeli gula dari pabrik gula rafinasi yang mengolah GKM jadi GKP.

"Inilah yang mengantarkan CS, Direktur Pengembangan Bisnis PT PPI, menjadi tersangka bersama Tom Lembong. Boleh jadi Tom Lembong tak tahu detail-detail langkah PT PPI ini, selain mengeluarkan izin impor," katanya.

Khudori memperkirakan, Tom Lembong disalahkan karena menunjuk PT PPI yang bukan BUMN produsen gula. Diduga, keputusan itu ditempuh Tom karena tidak ada pabrik gula BUMN yang tengah giling. Kemudian, dipilih penugasan tetap ke BUMN, meski bukan BUMN produsen gula.

Terkait pabrik gula rafinasi yang terlibat dalam produksi GKP dari GKM, menurut Khudori, ini bukan kasus satu-satunya. Dalam kondisi terdesak, pabrik gula rafinasi dilibatkan dalam produksi GKP. Secara umum, GKM impor yang diolah jadi GKP harganya lebih murah atau lebih rendah dari HET GKP.

"Ini potensial memberikan keuntungan yang besar dan menggiurkan bagi pihak-pihak yang terlibat dalam impor dan produksi. Oleh karena itu, sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang pernah ada. Bukan hanya kasus Tom Lembong," ujarnya.

Menurutnya, situasi yang mirip akhir 2015 dan awal tahun 2016 terjadi di akhir 2019. Saat itu, stok gula nasional 1,084 juta ton, hanya cukup 4,2 bulan. Dari jumlah itu, stok di gudang hanya 0,5 juta ton, sisanya merupakan stok tersembunyi atau hidden stock yang ada di tangan distributor dan pedagang.

Hidden stock terjadi karena kekacauan yang dibuat pemerintah dengan menyalahi aturan yang dibuat sendiri, yakni menugaskan impor GKM untuk diolah jadi GKP tidak hanya oleh pabrik gula atau BUMN berbasis tebu, tetapi juga perusahaan lain non-pabrik gula tebu, yaitu kelompok pabrik gula rafinasi, koperasi, dan BUMN yang tidak memiliki pabrik gula. Gula tidak termonitor dengan baik karena perusahaan-perusahaan yang mendapat mandat penugasan ini tidak melaporkan perkembangan hasil pengolahan, penyaluran, dan stoknya. Akhirnya, seperti di awal 2016, pada awal 2020 harga GKP naik tinggi, lebih dari Rp18.000 per kg. Distributor dan pedagang yang menguasai stok "memainkan" harga.

Di luar itu, katanya, acakadut impor pangan sebenarnya tidak hanya terjadi pada gula. Merujuk pada hasil pemeriksaan Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) tentang pengelolaan tata niaga impor pangan dari 2015 hingga semester I-2017 atau sejak Menteri Perdagangan Rachmat Gobel, Thomas Lembong, hingga Enggartiasto Lukita, menemukan sebelas kesalahan kebijakan impor pada lima komoditas: beras, gula, garam, kedelai, sapi, dan daging sapi. 

Ikhtisar Hasil Pemeriksaan Semester II-2017 BPK menunjukkan kesalahan tersebut terbagi menjadi empat besar. Pertama, impor tak diputuskan di rapat di Kementerian Koordinator Perekonomian. Kedua, impor tanpa persetujuan kementerian teknis, yakni Kementerian Pertanian. Ketiga, impor tak didukung data kebutuhan dan persyaratan dokumen, serta keempat, pemasukan impor melebihi dari tenggat yang ditentukan. 

"Jadi, acakadut impor itu tidak hanya terjadi pada gula, tapi juga komoditas lainnya. Juga, acakadut impor potensial tidak hanya terjadi pada saat Tom Lembong menjabat sebagai Menteri Perdagangan. Oleh karena itu, agar tidak memunculkan syak wasangka buruk, sebaiknya Kejagung memeriksa semua kasus yang memang potensial merugikan negara. Hanya dengan cara demikian, Kejagung akan terbebas dari tuduhan tebang pilih. Kita dukung Kejagung untuk membersihkan semua aparat, pejabat, dan para pihak yang menjadi pencoleng dengan kedok impor," tuturnya. 

Tak ada unsur politik

Sementara itu, Kejagung menyatakan tidak ada unsur politik dalam penetapan tersangka ini. Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung Harli Siregar mengatakan penetapan Tom Lembong dilakukan usai pihaknya memeriksa puluhan orang saksi. Setidaknya, ada 90 orang saksi yang diperiksa terkait kasus ini.

Tom Lembong dijerat sebagai tersangka usai menjalani pemeriksaan Selasa (29/10). Statusnya naik dari saksi menjadi tersangka. Ia pun langsung ditahan di rutan Kejari Jaksel.

Saat berjalan ke mobil tahanan, Thomas tampak melemparkan senyum. "Menyerahkan semua kepada Tuhan Yang Maha Kuasa," ujar Thomas.

img
Satriani Ari Wulan
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan