Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira, menyatakan, para pengrajin tahu dan tempe rutin setiap tahun melakukan aksi mogok produksi. Langkah itu selalu dilatarbelakangi melambungnya harga kedelai, bahan baku pembuatan tahu dan tempe.
"Ini seperti de javu, ya. Dari polemik kenaikan kedelai saat ini sama dengan posisi Januari 2021. Jadi, pemerintah sendiri tidak bisa mengendalikan harga kedelai yang masuk ke Indonesia," ucapnya kepada Alinea.id, Selasa (22/2).
Menurutnya, ada beberapa faktor yang memengaruhi. Di antaranya, meningkatnya permintaan, inflasi di Amerika serikat (AS) naik, dan biaya logistik yang membengkak, khususnya selama pandemi.
Bhima menerangkan, permintaan global atas kedelai melonjak karena mulai masif dimanfaatkan sebagai alternatif menggantikan minyak sawit. "Khususnya negara Amerika Serikat, Amerika Latin, dan negara Eropa."
China pun makin gencar memanfaatkan kedelai sebagai pakan ternak. "Jadi, ini semuanya lebih faktor eksternal yang lebih bermain," jelasnya.
"Sementara, ketergantungan impor di Indonesia cukup parah dan tidak pernah ada upaya serius melakukan substitusi impor kedelai dengan mendorong produksi kedelai nasional." imbuh dia.
Guna meredam gejolak kedelai, Bhima mengusulkan tindakan khusus oleh pemerintah. Salah satunya, memanggil importir kedelai dan menekan produsen untuk kontrak jangka panjang.
Solusi lainnya, memberikan subsidi kepada para pengrajin tahu dan tempe. Tujuannya, mencegah mereka mogok produksi mengingat tahu dan tempe merupakan sumber protein alternatif yang terjangkau bagi masyarakat kelas bawah.
"Yang terakhir, saya usulkan untuk kedelai ini harus jadi perhatian penting, jangan sampai ada penimbunan dan manipulasi dari para importir, khususnya menjelang bulan Ramadan dan Lebaran yang tinggal menunggu beberapa bulan," tegasnya.
Terpisah, Direktur Program INDEF, Esther Sri Astuti, mengatakan, kunci untuk meredam gejolak kedelai yang sekarang terjadi adalah menyediakan bibit unggul, dan menjamin ketersediaan pupuk.
Berikutnya, bimbingan teknis dan sekolah lapang bagi petani agar produksinya melimpah dan berkualitas, peningkatan teknologi pascapanen, jaminan harga stabil saat panen, serta ketersediaan akses ke pasar dan finansial bagi petani.
Seperti Bhima, Esther mengakui, kejadian saat ini kan bukan pertama kalinya. Namun, sudah lama dan sering berulang.
"Kenapa hal ini selalu terjadi? [Karena] kurang stok secara berkala dan Indonesia selalu bergantung pada impor kedelai. Iya, karena ada rent seeking, ada fee yang diperoleh dari setiap kilogram kedelai yang diimpor. Jadi, masalah impor kedelai dan bahan pangan lainnya tidak akan diselesaikan," bebernya kepada Alinea.id.