Proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) untuk subtitusi atau menggantikan liquefied petroleum gas (LPG) digadang-gadang bisa menekan impor LPG. Direktur Executive Energy Watch, Mamit Setiawan mengatakan jika sejak awal proyek ini tidak terlalu ekonomis.
Menurutnya hal ini dikarenakan investasi yang sangat tinggi dalam pelaksanaan proyek. Dia berpandangan jika proyek ini dipaksakan untuk jalan.
"Hanya saja, sepertinya proyek ini di paksakan untuk jalan. Dari sisi semangatnya saya setuju yaitu dalam rangka mengurangi impor LPG di mana saat ini kita mengimpor LPG 65% dari total kebutuhan dalam negeri," ungkap Mamit kepada Alinea.id, Jumat (08/4).
Melalui proyek gasifikasi, kata Mamit, kita bisa mengoptimalkan potensi alam yang dimiliki, khususnya batu bara melalui hilirisasi.
"Hanya saja, kalau bicara keekonomian ya ini kurang ekonomis," lanjutnya.
Formula harga yang diperlukan untuk DME ini dia sebut soal subsidi saja. Karena jika tidak maka harga jual ke masyarakat akan tinggi.
"Masyarakat juga tidak mau beli kalau terlalu tinggi. Mudah-mudahan nanti, skema yang bisa dilakukan adalah dengan harga mahal di depan untuk mencapai break even point (BEP), setelah BEP maka harga bisa terus turun," jelasnya.
Sebelumnya, Anggota Dewan Energi Nasional (DEN), Satya W. Yudha mengatakan, di China harga DME dan LPG saling beriringan. Namun, di Indonesia harga DME cenderung fluktuatif.
"Kalau LPG di Indonesia acuan dari DME fluktuatif sekali," ucapnya dalam Diskusi Publik bertajuk Keekonomian Gasifikasi Batubara, Kamis (7/4).
Menurutnya, formulasi harga diperlukan karena cenderung fluktuatif. Pasalnya, apabila DME menggantikan LPG, khususnya yang subsidi, maka kompensasi yang diberikan pemerintah menjadi besar.
"Maka formulasi harga DME harus dirumuskan, perlu suatu formulasi yang tidak berfluktuasi seperti ini," ujarnya.