Direktur Eksekutif The Prakarsa Ah Maftuchan memandang, Indonesia dipastikan sangat jauh dari gagal sistemik. Belanja untuk pendidikan dan kesehatan, tiap tahunnya, jauh lebih tinggi dibanding membayar bunga utang.
“Indonesia sendiri masih sangat jauh dari konteks gagal sistemik ini. Dari sisi belanja kesehatan dan pendidikan. Mungkin, hampir dua kali lipat dari bayar bunga pinjaman tiap tahunnya,” katanya dalam keterangan, Rabu (26/7).
Maftuch, sapaan akrabnya, ikut menyoroti pembahasan istilah negara gagal sistemik yang dilontarkan Director Political Economy & Policy Studies (PEPS) Anthony Budiawan ke ruang publik. Ia menjelaskan, istilah ini berasal dari laporan Perserikatan Bangsa-bangsa (PBB) yang berjudul A World of Debt.
Menurutnya, telah terjadi salah kaprah ihwal konteks negara gagal sistemik. Laporan PBB, utamanya, menyoroti tingginya utang publik dunia yang mencapai US$92 triliun pada 2022.
Kini 3,3 miliar penduduk dunia hidup di negara yang membelanjakan lebih besar uangnya untuk membayar bunga utang dibanding belanja kesehatan atau pendidikan. Konteks gagal sistematis dalam laporan PBB ini merujuk pada Arsitektur Keuangan Internasional (IFA) yang tidak setara.
Ketidaksetaraan ini membuat negara-negara miskin dan berkembang harus membayar bunga utang yang tinggi untuk bisa mendapatkan pinjaman. Konteksnya adalah risiko sistematis pada global financial system atau di International Financial Architecture atau IFA.
“Yang disampaikan PBB soal negara gagal sistemik itu lebih ke aspek risiko yang sistematis,” jelasnya.
Maftuch mengingatkan, Antonio Guterres selaku Sekjen PBB lebih menekankan bahwa ada yang bermasalah dalam sistem keuangan global Indonesia. Yang dianggap kegagalan sistematis ini adalah pasar keuangan global atau sistem keuangan global.
"Ada yang salah dalam arsitektur keuangan internasional kita," ucap Maftuch.
Selain itu, Maftuch mengaku tidak sepakat dengan pernyataan Anthony Budiawan yang menyebut Indonesia negara gagal sistemik.
Data pada 2022 menunjukkan, bahwa belanja kesehatan dan pendidikan Indonesia jauh lebih tinggi dibanding membayar bunga utang.
Pada tahun itu bunga utang yang harus dibayar Indonesia sebesar Rp386,3 triliun. Sementara belanja pendidikan dan kesehatan Indonesia, pada tahun yang sama, mencapai Rp649,3 triliun.
Baginya, data ini menunjukkan belanja kesehatan dan pendidikan sudah otomatis jauh dari angka total pembayaran bunga utang Indonesia tiap tahun. Maka dari itu, Indonesia tidak masuk dalam sisi kategori yang dibuat oleh PBB.
“Saya tidak setuju pandangan itu karena tidak berdasar. Kita tidak mau politis, faktual saja. Kalau membaca laporan PBB ini tidak menunjuk Indonesia sebagai negara yang gagal,” imbuhnya.
Ia pun merujuk Republik Zambia dapat menjadi contoh negara gagal sistematis yang dimaksud PBB. Negara yang berada di Afrika bagian selatan ini baru saja mengajukan restrukturisasi dan penjadwalan ulang untuk pembayaran utangnya yang berjumlah kurang lebih US$6 miliar lewat forum G20 dan Paris Club.
“Mereka minta rescheduling dengan mekanisme atau pengajuan lewat Paris Club. Mereka mengajukan penjadwalan ulang selama 20 tahun,” tuturnya.
Zambia masuk klasifikasi gagal sistematis lantaran mengajukan pinjaman utang ke International Monetary Fund (IMF), demi bisa membayar bunga utang negara.
“Zambia mengajukan pinjaman ke IMF di September tahun lalu dan disetujui oleh IMF, agar mereka punya uang untuk membayar bunga utang, sekaligus juga untuk membiayai pembangunan karena krisis pandemi,” pungkasnya.