Badan Pangan Nasional (Bapanas) akan memastikan stabilisasi pasokan agar harga beras terkendali. Merujuk pada Keputusan Kepala Badan Pangan Nasional/National Food Agency (NFA) Nomor 01 Tahun 2023 tentang Petunjuk Pelaksanaan Stabilisasi Pasokan dan Harga Beras di Tingkat Konsumen, kebijakan dengan instrumen operasi pasar itu dilakukan sepanjang tahun. Namun demikian, beleid Stabilisasi Pasokan dan Harga Pangan (SPHP) beras oleh Bulog itu tidak selalu berjalan mulus.
Pada pertengahan Februari 2023, Perum Bulog bersama Satgas Pangan Kepolisian Daerah Banten telah meringkus tujuh distributor SPHP beras. Mereka diduga melanggar aturan. Salah satu modus yang dilakukan adalah dengan mengoplos beras impor Bulog dengan beras premium lokal, kemudian beras oplosan dijual dengan beras premium di berbagai wilayah di Indonesia. SPHP beras menggunakan beras impor dari Thailand dan Vietnam yang berkualitas premium.
“Bulog melepas beras operasi atau SPHP dari gudang ke pasar seharga Rp8.300 per kilogram (kg) agar dijual mitra pertama atau pedagang besar Rp8.900 per kg. Ada margin Rp600 per kg dan pengecer akhir dilarang menjual di atas harga eceran tertinggi (HET) beras medium: Rp9.450-Rp10.250/kg,” ujar pegiat Asosiasi Ekonomi Politik Indonesia (AEPI)/Komite Pendayagunaan Pertanian, Khudori di Alinea Forum bertajuk “Efektivitas SPHP Sebagai Stabilisator Pasokan dan Harga”, Jumat (3/3).
Karena SPHP beras berkualitas premium, ujar Khudori, terbuka kesempatan bagi pedagang untuk menjual beras dengan harga premium. Yakni antara Rp12.800-Rp13.600 per kg, tergantung wilayah. Dilepas dengan harga premium, pasar tetap akan menerima karena pasar 'lapar beras'.
“Inilah yang membuka moral hazard. Pedagang dan pengecer bisa mendapat margin Rp1.150 sampai Rp5.300 per kg. Karena potensi untungnya besar, dugaan saya ini tidak hanya terjadi di Banten. Yang ditangkap di Banten itu hanya apes,” kata dia.
Membuka keterlibatan pedagang dan pengecer menjadi bagian dari pelaksana operasi pasar, kata Khudori, adalah salah satu kelemahan operasi pasar umum. Selain itu, sasaran operasi tidak jelas. Semua warga, baik miskin maupun kaya, bisa membeli. Untuk mengawasi agar tidak terjadi penyimpangan, jelas Khudori, tidak mudah.
Belajar dari kekurangan tersebut, Khudori menyarankan agar pemerintah kembali mengintegrasikan kebijakan perberasan hulu-hilir. Saat ini, di hulu Bulog diwajikan menyerap gabah/beras petani. Tapi di hilir tidak ada kepastian penyaluran beras. Ini berbeda ketika masih ada program Raskin/Rastra, yang tiap tahun ada kepastian outlet penyaluran sekitar 3 juta ton beras.
Untuk mengintegrasikan kembali kebijakan perberasan, kata Khudori, bisa dilakukan dengan mewajibkan penerima Bantuan Pangan Nontunai (BPNT) membeli beras Bulog dalam jumlah tertentu di setiap bulannya. Setelah Raskin/Rastra diubah jadi BPNT, outlet penyaluran pasti di hilir itu hilang. "Bisa dilakukan dengan mengubah Perpres 63/2017 tentang Penyaluran Bantuan Sosial Secara Non-tunai dengan menyebut penerima BPNT harus membeli beras Bulog," kata dia.
Misalnya, kata Khudori, penerima BPNT wajib membeli 5 kg beras Bulog per bulan per keluarga. Dengan harga rata-rata Rp10 ribu/kg, penerima BPNT hanya mengeluarkan Rp50 ribu. Sisanya, Rp150 ribu bisa digunakan untuk membeli komoditas pangan lain, seperti telur, daging ayam, minyak goreng atau gula. "Ini jumlah yang moderat." jelas Khudori.
Bulog, jelas dia, wajib menyediakan lebih dari satu kualitas beras. Tujuannya agar preferensi kualitas beras penerima BPNT tetap terakomodasi. Selain itu, Bulog harus bisa menjual beras dengan harga yang sama di seluruh Indonesia.
Secara umum, urai Khudori, harga aneka pangan, termasuk beras, lebih murah di Jawa ketimbang di luar Jawa. Dengan kondisi ini, nilai tukar uang yang diterima penerima BPNT di luar Jawa lebih rendah ketimbang di Jawa. "Harga beras yang sama di seluruh wilayah Indonesia adalah bagian dari prinsip keadilan yang tidak hadir di BPNT saat ini," jelas dia.
Dengan modifikasi tersebut, kata Khudori, Bulog memiliki outlet penyaluran pasti sebesar 100 ribu ton beras per bulan. Bapanas bisa mengembangkan outlet-outlet penyaluran lain, seperti mewajibkan PNA/ASN, TNI. Polri, dan pegawai BUMN membeli beras Bulog. Ketika oulet penyaluran pasti bertambah, kewajiban penyerapan gabah/beras di hulu bisa diperbesar.
"Jika ini dilakukan, saya yakin Bulog akan menyerap gabah/beras petani secara optimal, penyaluran beras lebih tepat sasaran tanpa melalui banyak tangan seperti pedagang dan pengecer. Jika pemerintah perlu intervensi lebih dalam, bisa menambah besaran BPNT untuk dibelikan beras Bulog. Seperti di Raskin/Rastra, instrumen ini terbukti lebih efektif mengendalikan harga beras dan inflasi," kata dia.