Pengampunan pajak jilid II: Ibarat dikasih hati minta jantung
Pemerintah tengah menggulirkan wacana akan memberikan pengampunan pajak atau tax amnesty jilid II yang direncanakan pada tahun depan. Meski sama-sama berlaku sebagai pengampunan pajak, tax amnesty kali ini tak serupa dengan tahun 2016 lalu.
Menteri Keuangan (Menkeu) Sri Mulyani bilang, berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 11 Tahun 2016 tentang Pengampunan Pajak, pemerintah akan meningkatkan kepatuhan para wajib pajak.
Berbekal akses informasi wajib pajak pada 2018 lalu serta data Automatic Exchange of Information (AEoI), pemerintah bakal menindaklanjuti kepatuhan pajak para peserta tax amnesty lima tahun lalu.
“Kita akan follow-up dan kita pasti akan menggunakan pasal-pasal dalam tax amnesty,” ujar Menkeu Sri Mulyani saat Rapat Kerja bersama Komisi XI DPR RI, Senin (24/5) kemarin.
Seiring itu, mantan Direktur Pelaksana Bank Dunia itu menyebut Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2017 juga memungkinkan pemerintah untuk memberikan kesempatan bagi wajib pajak yang belum patuh ikut dalam program pengungkapan aset sukarela (PAS) dengan tarif pajak penghasilan (PPh) Final.
Dengan kata lain, beleid tersebut mengisyaratkan melalui program PAS wajib pajak membayar PPh terutang serta mendapatkan keringanan sanksi administratif.
Program pengampunan pajak jilid II itu, kata Menkeu, akan diusulkan lebih mengarah kepada penghentian tuntutan pidana menjadi pembayaran sanksi administratif.
"Kita akan lebih berfokus ke bagaimana meningkatkan kepatuhan tanpa menciptakan perasaan ketidakadilan," ujar Sri Mulyani.
Sebagai informasi, pemerintah menargetkan penerimaan perpajakan tahun depan bisa tumbuh 8,37% hingga 8,42% dari outlook akhir tahun 2021. Angka tersebut setara sekitar Rp1.499,3 triliun hingga Rp1.528,7 triliun.
Pro kontra pengampunan pajak
Anggota Komisi X DPR RI dari Fraksi Demokrat, Bramantyo Suwondo Murdiantoro menyampaikan hingga kini memang belum ada pembahasan resmi terkait tax amnesty jilid II antara pemerintah dengan Banggar.
Di tahun 2021 ini, rapat kerja terkait RAPBN tahun 2022 oleh Badan Anggaran dengan Pemerintah dan Bank Indonesia baru akan dimulai pada Senin, 31 Mei 2021 nanti.
"Mengenai statement atau sikap resmi DPR belum ada pembahasan resmi oleh pemerintah kepada DPR terkait tax amnesty ini," ujar Bramantyo kepada Alinea.id, Kamis (27/5).
Pihaknya mengimbau pemerintah untuk terlebih dahulu melakukan kajian mendalam terkait dampak dan resiko kebijakan tersebut. Terlebih, jika dilaksanakan di tengah kondisi pandemi seperti saat ini.
"Jangan sampai adanya tax amnesty jilid 2 justru menimbulkan moral hazard bagi para pengemplang pajak," imbuhnya.
Bramantyo menyinggung perihal tax amnesty yang sebetulnya sudah pernah dilakukan oleh pemerintah selama 9 bulan pada tahun 2016-2017. Seharusnya, kata dia, pemerintah telah mendapatkan data basis pajak melalui kebijakan saat itu.
Berkaca dari hal tersebut, meski tax ratio pajak sempat naik tipis pada tahun 2018, namun menurutnya tax ratio Indonesia terus mengalami penurunan bahkan sebelum pandemi. Di tahun 2020 tax ratio Indonesia hanya 8,3% dari PDB.
Tahun | Rasio pajak | Realisasi penerimaan pajak |
2014 |
9,4% | Rp985,1 triliun |
2015 | 9,2% | Rp1.055 triliun |
2016 | 9% | Rp1.283 triliun |
2017 | 8,5% | Rp1.147 triliun |
2018 | 8,8% | Rp1.315,9 triliun |
2019 | 8,4% | Rp1.332,1 triliun |
2020 | 6,9% | Rp1.070 triliun |
"Hal ini menunjukkan perlu upaya serius dari pemerintah meningkatkan pemasukan negara dari pajak," ujar anggota dewan dari Fraksi Demokrat ini.
Di saat pandemi seperti ini, dia pun tak memungkiri, pemerintah membutuhkan penerimaan yang cukup tinggi. Namun, upaya-upaya mendongkrak pertumbuhan ekonomi yang berkualitas tetap yang terpenting.
Terkait hal tersebut, dia menekankan bahwa prioritas belanja pemerintah harus difokuskan pada upaya-upaya penyelesaian dan pengendalian pandemi serta perluasan jangkauan perlindungan sosial baik untuk masyarakat atau UMKM.
"Belanja pada mega proyek yang belum memiliki urgensi lebih baik ditunda terlebih dahulu," tegasnya.
Wakil Ketua Dewan Pertimbangan Kamar Dagang dan Industri (Kadin) DKI Jakarta, Sarman Simanjorang menambahkan persoalan perpajakan memang sensitif di dunia usaha. Bukan saja soal tax amnesty, namun juga berbagai kebijakan terkait seperti wacana kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) maupun PPh (Pajak Penghasilan).
"Pajak ini kan, sejauh ekonomi kita pada posisi stabil, pergerakan ekonomi dan bisnis normal, menurut saya pengusaha akan taat membayar pajak," ujar Sarman kepada Alinea.id, Kamis (27/5).
Terkait tax amnesty jilid II ini, Sarman berharap pemerintah tidak gegabah dan perlu memikirkan dampak dan konsekuensinya secara komprehensif. Menurutnya, tax amnesty pertama yang pernah digulirkan pada sekitar 2016 lalu, masih belum optimal.
"Pemerintah harus melakukan evaluasi dan pertimbangan dalam kondisi ekonomi seperti ini. Jangan sampai justru memberikan dampak psikologis (tidak baik)," kata dia.
Alih-alih menjadikan pengampunan pajak jilid II ini sebagai 'jalan pintas' memperoleh penerimaan negara, menurutnya pemerintah juga perlu jeli dan inovatif. Misalnya, dengan mencari sumber-sumber penerimaan pajak lain yang potensial. Mulai dari cukai plastik hingga pajak untuk transaksi online.
"Pajak online belum maksimal, padahal transaksinya per hari saja berapa," tambah Sarman.
Perbaiki sistem
Senada, Dewan Penasehat Himpunan Peritel dan Penyewa Pusat Perbelanjaan Indonesia (Hippindo) Tutum Rahanta membeberkan keengganan atau rendahnya wajib pajak menunaikan kewajibannya, bisa jadi juga disebabkan oleh sistem yang bertele-tele.
"Bukan saja orang memang sengaja curang di perpajakan, tapi sistem yang rumit, yang membuat orang enggak nyaman," kata Tutum kepada Alinea.id, Kamis (27/5).
Dia pun juga berpendapat, tax amnesty II ini juga bukan merupakan satu-satunya jalan untuk meningkatkan penerimaan pajak. Sebab Tutum pun setuju bahwa sumber penerimaan pajak non-konvensional perlu digali.
Misalnya saja, ia mencontohkan, dalam kurun lima tahun terakhir sejak tax amnesty I itu banyak kalangan milenial yang telah bekerja dan menghasilkan pemasukan dengan cara-cara kreatif.
"Apalagi selama pandemi, bisa jadi youtuber, investor kripto dan lain-lain. Nah, ini yang enggak bisa ke-detect dengan cara konvensional administrasi," katanya.
Kendati demikian, Tutum mengatakan, rencana pemerintah untuk menjalankan kembali tax amnesty jilid II tidak ada salahnya. Termasuk, diberlakukan untuk para wajib pajak di era profesi serta sumber penghasilan yang beragam ini.
Lagi pula menurutnya, konsep pengampunan pajak jilid II ini juga dikabarkan tidak sama dengan dengan tax amnesty pada 2016 lalu.
"Tidak ada salahnya memberikan ruang untuk sekali lagi (pengampunan pajak)," ujar dia.
Bukan satu-satunya jalan
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Nailul Huda menegaskan bahwa pengampunan pajak jilid II ini semestinya tidak dilakukan. Sebab menurutnya, para pengemplang pajak sebaiknya tidak diberikan keringanan.
"Ini tidak efektif kalau kita lihat, pemerintah kan sudah menabur beberapa kebijakan dan insentif perpajakan. Kok mereka minta lagi?" ujar Nailul kepada Alinea.id, Kamis (27/5).
Dia pun bilang, pemerintah semestinya tegas untuk mengejar para pengemplang pajak untuk menunaikan kewajibannya. Bukan malah terus memberikan celah agar bisa mendapatkan 'kebebasan'. "Ibaratnya dikasih hati, minta jantung," katanya.
Tak kalah penting, pemerintah juga mesti bertindak tegas dalam memperbaiki birokrasi di tubuh lembaga pajak itu sendiri. Sebab, selama ini masih ada praktik-praktik kecurangan yang kongkalikong memuluskan para pengemplang pajak.
"Itu preseden buruk, yang jangan sampai terjadi lagi," pungkasnya.
Sebelum mengeksekusi tax amnesty pada tahun 2016, pemerintah pernah menerapkan kebijakan sunset policy pada 2008. Kebijakan ini berupa pemberian fasilitas perpajakan dalam bentuk penghapusan sanksi administrasi perpajakan berupa bunga. Aturannya ada di Pasal 37A Undang-Undang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007).
Direktur Eksekutif Pratama-Kreston Tax Research Institute (TRI) Prianto Budi Saptono mengungkapkan, rencana tax amnesty jilid II diprediksikan akan mirip dengan program sunset policy yang pernah sukses di 2008. Namun, tax amnesty jilid II kemungkinan tidak akan semenarik tax amnesty jilid I.
Menurut Prianto, secara konseptual, beleid jilid II atau SP sama-sama menggunakan model sunset clause atau sunset provision.
Ibarat matahari terbenam (sunset), prosesnya tidak lama dan hanya terjadi beberapa menit. “Paling tidak, ada dua program utama dari rencana kebijakan pajak yang bertujuan untuk mengatasi shortfall pajak akibat pandemi Covid-19 tersebut,” kata Prianto dalam siaran pers, Senin (24/5).
Pengamat Perpajakan Universitas Pelita Harapan, Ronny Bako menilai program sunset policy 2008 lalu, memang terbilang cukup berhasil seperti tingkat kepatuhan pajak naik.
"Kalau dibandingkan tax amnesty I itu setengah berhasil, karena periodenya cuma 9 bulan," kata Rony kepada Alinea.id, Kamis (27/5).
Ia pun memperingatkan pemerintah agar waspada jika tetap meluncurkan tax amnesty jilid II. "Tax amnesty tidak adil bagi orang-orang yang sudah mengambil peluang tax amnesty, bisa juga ini dibuat ke MK (Mahkamah Konstitusi) dan bisa dibatalin," cetusnya.
Terlepas dari penyebutan tersebut, Ronny berpendapat, kebijakan pajak yang perlu dilakukan pemerintah memang mesti bijak. Artinya, tidak langsung mengenai sanksi yang memberatkan dan malah membuat wajib pajak semakin enggan.
"Belum lagi kalau sampai ada penyitaan, penyanderaan. Harus bijak," tambahnya.
Di masa pandemi ini, ia memang tak menutup mata adanya defisit negara yang lebar. Defisit APBN sepanjang tahun 2020 mencapai Rp956,3 triliun atau 6,09% dari Produk Domestik Bruto (PDB).
Jumlah itu juga setara dengan 82,9% dari target yang ditetapkan dalam Perpres 72 tahun 2020 yang sebesar Rp 1.039,2 triliun. Pada tahun 2020, pemerintah menggelontorkan anggaran Penanganan Covid-19 dan Pemulihan Ekonomi Nasional (PC-PEN) yang mencapai Rp 695,2 triliun.
Menyikapi kondisi perekonomian yang serba sulit itu, Ronny menekankan bahwa pemerintah memang harus melakukan upaya dari berbagai sisi. Bukan saja pengampunan pajak, namun juga efisiensi dan optimalisasi.
Mulai dari penghematan anggaran hingga mengoptimalkan Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa). Tercatat, ada Sisa Lebih Pembiayaan Anggaran (Silpa) tahun anggaran 2020 sebesar Rp234,7 triliun.
Realisasi ini, melonjak sampai empat kali lipat dibandingkan realisasi Silpa pada 2019 yang sebesar Rp46,40 triliun. Begitu juga, dibandingkan dengan tahun 2018 yang senilai Rp36 triliun, 2017 sejumlah Rp25,64 triliun, dan 2016 sebesar Rp26,16 triliun.
"Yang ada aja belum optimal. Ada sinkronisasi presiden terhadap jajarannya dan penghematan juga," kata dia.