close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pajak. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi pajak. Foto Freepik.
Bisnis
Selasa, 26 November 2024 19:17

Pengampunan pajak lagi, perlukah?

Saat orang kaya mendapatkan pengampunan pajak, rakyat makin susah karena PPN 12%.
swipe

Rencana pemerintah menerapkan kebijakan pengampunan pajak alias tax amnesty jilid III memicu kontroversi di berbagai kalangan. Aturan ini hanya menguntungkan orang kaya, sementara rakyat dibebani oleh kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) 12%.

Pengamat pajak Center for Indonesia Taxation Analysis (CITA) Fajry Akbar mengatakan kebijakan ini tidak masuk akal dan justru berpotensi menimbulkan moral hazard di kalangan wajib pajak.

“Kebijakan tersebut malah mendorong orang untuk tidak patuh, karena berpikir akan ada tax amnesty berikutnya. Mengingat ini akan menjadi yang kesekian kalinya, pasti ada anggapan akan ada yang berikutnya dan seterusnya,” kata Fajry kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Rancangan Undang-Undang tentang Pengampunan Pajak resmi masuk ke dalam daftar Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas 2025. Kebijakan tax amnesty bertujuan memberikan kesempatan kepada wajib pajak untuk melaporkan harta yang belum terungkap dengan insentif berupa penghapusan sanksi.

Mengampuni pengemplang pajak

Ekonom UPN Veteran Jakarta, Achmad Nur Hidayat mengatakan jika kebijakan ini benar dilaksanakan, maka tak hanya akan mengundang kontroversi, tetapi juga merusak moralitas sistem perpajakan nasional. Sebab, pemberian tax amnesty seharusnya menjadi kebijakan luar biasa yang hanya dilakukan satu kali dalam sejarah suatu negara. 

Menurutnya, pelaksanaan tax amnesty jilid pertama pada tahun 2016 sudah memberikan kesempatan bagi para pengemplang pajak untuk memperbaiki catatan mereka. Lalu, pada 2021, pemerintah meluncurkan tax amnesty jilid kedua. 

"Kini, jika jilid ketiga diusulkan, pertanyaannya adalah apakah kita terus-menerus memberi pemaafan kepada pelanggar hukum?" tanyanya.

Dia bilang, membiarkan pengemplang pajak terus menikmati amnesti menunjukkan pemerintah gagal menegakkan aturan perpajakan secara tegas. Kebijakan ini juga akan mengirim pesan yang salah kalau pelanggaran pajak tidak berkonsekuensi serius karena selalu ada jalan untuk diampuni.

Ketidakadilan bagi rakyat

Pelaksanaan tax amnesty jilid III juga dinilai akan memperburuk ketidakadilan sosial. Pasalnya, masyarakat kelas bawah dan menengah harus membayar pajak dari pendapatan mereka yang kecil, sedangkan pengemplang pajak besar mendapatkan pengampunan.

"Ini adalah bentuk diskriminasi fiskal yang mencederai rasa keadilan," katanya.

Jika tax amnesty terus diulang, diprediksi akan menciptakan preseden buruk. Kebijakan seperti ini hanya akan mendorong budaya ketidakpatuhan dan melemahkan otoritas fiskal negara. Pengusaha yang awalnya patuh membayar pajak akan berpikir ulang untuk memenuhi kewajibannya.

"Untuk apa patuh, kalau bisa tidak membayar pajak dan tetap diampuni? " ujarnya. 

Dalam jangka panjang, beleid tersebut disebut dapat merusak basis penerimaan negara dan menciptakan lubang fiskal yang lebih dalam.

Alih-alih menerapkan tax amnesty, Achmad mengatakan pemerintah harus dapat memperkuat penegakan hukum pajak, meningkatkan transparansi dengan memublikasikan nama-nama wajib pajak besar yang tidak patuh agar ada efek jera, serta fokus pada pajak progresif.

"Terapkan pajak yang lebih tinggi untuk orang kaya, sehingga rasa keadilan dapat terwujud," lanjutnya. 

Managing Director Political Economy and Policy Studies (PEPS), Anthony Budiawan mengatakan fasilitas pengampunan pajak sebelumnya diberikan pada era Presiden Joko Widodo (Jokowi). Menurutnya, kelonggaran itu hanya menguntungkan “penjahat pajak” yang notabene adalah orang kaya. 

"Bahkan fasilitas pengampunan pajak juga diberikan pada tahun 2022 oleh Presiden Jokowi. Tidak ada negara di dunia memberi pengampunan pajak sampai dua kali dalam lima tahun," katanya. 

Saat orang kaya mendapatkan pengampunan pajak, rakyat justru dibebani oleh kenaikan tarif PPN yang terus berlanjut dalam tiga tahun terakhir. Semula PPN 10% menjadi 11% pada 1 April 2022. Kenaikan itu terjadi di tengah harga komoditas global yang melonjak tinggi, yang memicu suku bunga global naik tajam. Kemudian, tarif PPN akan kembali naik, dari 11% menjadi 12%, yang akan berlaku efektif pada 1 Januari 2025.

Menurut Anthony, kenaikan pajak, termasuk PPN, merupakan instrumen kebijakan fiskal yang bersifat kontraksi. Kenaikan PPN membuat aktivitas ekonomi turun. Hal itu terlihat pada deflasi yang berlangsung selama tujuh bulan berturut-turut, menandakan anjloknya daya beli masyarakat. 

Jumlah penduduk kelas menengah juga menyusut 9,48 juta orang selama lima tahun terakhir, dari 57,33 juta orang pada 2019 menjadi 47,85 juta orang pada 2024 atau turun sekitar 16,5%. Kemudian, jumlah penduduk miskin juga naik dari 25,15 juta pada 2019 menjadi 25,22 juta pada tahun 2024.

“Artinya, di tengah ekonomi sedang melemah, kebijakan menaikkan PPN merupakan blunder besar. Pertumbuhan ekonomi akan anjlok. Jumlah penduduk miskin bisa naik lagi. Jumlah penduduk kelas menengah akan menyusut lebih dalam,” katanya kepada Alinea.id, Minggu (24/11).

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan