Pemerintah didorong menerbitkan peraturan komprehensif dalam kegiatan perdagangan elektronik atau e-dagang. Pasalnya, hingga kini belum ada aturan yang bersifat khusus dan detail yang mengatur perdagangan elektronik tersebut.
CEO Blanja.com, Jemy Vestius Confido, mengatakan peraturan komprehensif yang dimaksud dapat meliputi berbagai aspek. Misalnya, permodalan, perpajakan, perlindungan konsumen, persaingan, platform e-commerce, pembayaran, logistik, keamanan siber, hak atas kekayaan intelektual, identifikasi, pemanfaatan data dan perijinan terkait aktivitas perdagangan elektronik.
“Pengaturan ini, bisa mengatasi missing link antara identitas digital dan identitas fisik konsumen. Di Indonesia, saat ini masih belum memungkinkan untuk mempertemukan identitas digital dan fisik,” kata Jemy dalam Sidang Terbuka Senat Universitas Pelita Harapan (UPH) di Karawaci, Tangerang, Sabtu (23/11).
Doktor Hukum UPH tersebut, menuturkan hukum perdagangan elektronik yang komprehensif bisa merujuk pada ketentuan perundang-undangan yang telah ada sebelumnya. Namun, tetap bisa menerapkan berbagai ketentuan khusus yang sesuai tujuan pembangunan ekonomi nasional di era digital.
"Perlu ada satu pintu regulasi untuk memudahkan koordinasi antar kementerian dan lembaga," imbuh Jemy. “Tujuannya tentu agar lebih responsif terhadap perkembangan,” kata doktor yang menyelesaikan disertasi berjudul “Urgensi Hukum Bagi Penyelenggara Platform E-Commerce di Indonesia” itu.
Menurut dia, untuk menerapkan hukum komprehensif yang mencakup berbagai aspek dan berdampak luas pada perdagangan elektronik, maka perlu pengaturan berupa peraturan presiden. “Sebab undang-undang yang bisa dijadikan acuan belum tersedia. Mengingat juga pembentukan dan penerapannya dibutuhkan segera,” ujar dia.
Lebih lanjut, Jemy mengaku telah melakukan riset dengan mempelajari 30 kasus pelaksanaan regulasi e-dagang di Indonesia dan membandingkannya dengan regulasi e-dagang di tujuh negara, yaitu China, India, Filipina, Singapura, Belanda, Inggris, dan Amerika Serikat.
Dalam konteks Indonesia, Jemy berpendapat, transaksi perdagangan melalui media elektronik menyisakan berbagai permasalahan yang belum ada pengaturannya. E-commerce, kata dia, terbentuk dari berbagai sub-sistem yang tersusun secara sistematis, dan masing-masing sub-sistem tersebut memiliki permasalahannya masing-masing.
Sementara dalam konteks internasional, pengaturan transaksi elektronik banyak dipengaruhi oleh kontrak menurut hukum Inggris, di mana hampir sepertiga umat manusia diatur hukum aslinya dari negara dengan sistem Anglo Saxon. Ia mencontohkan praktik tersebut terjadi di Amerika Serikat, Malaysia, dan Singapura.
“Bahkan Belanda yang menganut sistem civil law juga sudah menyesuaikan dengan sistem Anglo Saxon selaku salah satu anggota Masyarakat Ekonomi Eropa.”
Sementara itu, China sudah menerapkan peraturan e-commerce yang komprehensif dan India sudah mulai mempertimbangkan penerapan serupa.
Secara umum, kata Jemy, negara-negara maju sudah berhasil menerapkan hukum terkait transaksi elektronik dengan efektif, sehingga hukum khusus yang mengatur penyelenggaraan e-commerce tidak terlalu diperlukan. Namun ternyata hal ini tidak benar-benar bisa dijadikan ukuran, karena realita dinamika yang terjadi dalam kegiatan e-commerce itu sendiri.
Rektor UPH, Jonathan L Parapak, mengatakan kajian hukum e-commerce diperlukan untuk Indonesia yang sedang berkembang dalam era sekarang. “Ada banyak regulasi yang harus dibuat agar transaksi elektronik bisa berjalan baik," ujar Jonathan.