close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
ilustrasi
icon caption
ilustrasi
Bisnis
Senin, 05 Februari 2018 07:33

Pengawasan barang impor di post border, untung atau buntung?

Sebanyak 2.642 HS Code masuk dalam kategori tata niaga post border. Saat ini, Indonesia memiliki 10.826 HS Code
swipe

Pemerintah Indonesia di bawah kepemimpinan Joko Widodo terus menggaungkan kemudahan berbisnis di Indonesia baik itu investasi maupun kegiatan ekspor impor. Demi menarik cuan dari kantong para pemilik modal, sejumlah aturan dipangkas ataupun diubah. 

Paling anyar, para pengambil kebijakan sepakat untuk menggeser pengawasan barang impor. Semula, barang impor tertentu yang masuk ke Indonesia harus melalui pemeriksaan ketat dari bea cukai. Kini, barang-barang tersebut dipastikan melenggang bebas dari kawasan pabean menuju gudang importir. 

Per tanggal 1 Februari 2018, pemerintah membelah pengawasan barang impor menjadi dua yakni di kawasan pabean (border) dan setelah melalui kawasan pabean (post border). Sebanyak 2.642 HS Code masuk dalam kategori tata niaga post border. Saat ini, Indonesia memiliki 10.826 HS Code dengan jumlah komoditas larangan dan pembatasan atau lartas impor 5.299 HS Code. Artinya, sekitar 49,86% HS Code dari lartas impor mendapatkan lampu hijau tanpa melalui verifikasi. Mengikuti instruksi dari Kementerian Keuangan, Kementerian Perdagangan meluncurkan setidaknya 19 Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) terkait dengan post border pada bulan Januari 2018.

Pemerintah mengklaim peraturan ini menjadi angin segar bagi pelaku bisnis. Sebab, proses pembebasan barang di kawasan pabean semakin cepat dan mudah. Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukito bilang peraturan tersebut bertujuan untuk penyederhanaan dan menghindari pemeriksaan berulang-ulang. Sedendang seirama, Menteri Perindustrian Airlangga Hartato mengamini kebijakan post border menguntungkan industri. Bahkan, kebijakan ini bisa menjadi stimulus pendongkrak ekspor lantaran industri bisa secara mudah memperoleh bahan baku impor.

 

Namun, suara sumbang malah muncul dari Gabungan Importir Nasional dari Seluruh Indonesia (GINSI). Sekretaris Jenderal GINSI Erwin Taufan menolak kebijakan post border sedari awal. Menurutnya, kebijakan ini malah menjadi beban baru bagi importir. Sebab, produk yang seharusnya bisa langsung beredar di pasar setelah melalui kawasan pabean harus mampir ke gudang importir. Penundaan barang ke pasar bisa jadi menambah ongkos bagi importir termasuk biaya sewa gudang.

Lalu, bagaimana sebenarnya kebijakan post border ini? Apakah pemerintah hanya memindahkan tanggung jawab pengawasan dari Bea Cukai ke Kementerian terkait atau importir memang menerima berkah?

Sejatinya, tujuan kebijakan post border ini bermanfaat memangkas waktu tunggu pemeriksaan di kawasan pabean alias dwelling time. Baru sehari diberlakukan, kebijakan post border telah memangkas waktu dwelling time sebanyak 13,26%.

Pada tanggal 29 Januari 2018, masa inap barang dan kontainer di Pelabuhan Tanjung Priok mencapai sekitar 4,75 hari. Perinciannya, rata-rata dwelling time di Jakarta International Container Terminal (JICT) adalah 4,7 hari, TPK Koja 4,5 hari, New Priok Container Terminal-One (NPCT) 4,1 hari, Terminal Mustika Alam Lestari (MAL) 4,2 hari dan Terminal 3 Priok 4,7 hari.

Saat kebijakan post border ini mulai berlaku, rata-rata dwelling time menciut menjadi 4,12 hari. Masa tunggu kontainer di JICT rata-rata turun menjadi 4,2 hari. Sementara TPK Koja dan NPCT masing-masing juga turun menjadi 3,64 hari dan 4,05 hari. Selanjutnya masa dwelling time terminal 3 Tanjung Priok juga turun menjadi 4,40 hari. Sayang, masa inap barang dan kontainer di Terminal MAL malah naik menjadi 5,45 hari.

Ibarat mata uang yang memiliki dua sisi, kebijakan ini juga tak lepas dari risiko penyelewengan. Seberapa ketat pengawasan yang dilakukan oleh Kementerian ataupun institusi terkait di gudang importir menjadi pertanyaan besar bagi pemodal domestik. Ada potensi bagi importir nakal untuk memanfaatkan celah ini. Tentunya, buat mereka yang tak ingin bersusah payah mengurus beragam persyaratan aplikasi berpeluang mengedarkan barang impor yang tak sesuai spesifikasi.

Disinilah kemudian pemerintah diuji apakah benar sistem pengawasan mereka cukup ampuh terhindar dari praktik penyimpangan. Transparansi sistem pengawasan menjadi tuntutan apabila pemerintah berkomitmen menegakkan aturan. Sebab, lagi-lagi pasar lokal akan menjadi pertaruhan kinerja pemerintah. Jika kinerja pemerintah ciamik, pemain lokal tak perlu kebat-kebit berhadapan dengan produk impor. Sebaliknya, jika importir nakal bermain mata dengan pemerintah, industri lokal berpotensi gulung tikar lantaran tak sanggup adu otot dengan produk luar negeri. 

 

Persyaratan impor tak hilang

Bebas dari kawasan pabean tak lantas membuat produk-produk tersebut kebal dari aturan main. Di kawasan pabean, bea cukai memang hanya meminta surat Pemberitahuan Impor Barang (PIB) dan invoice pembayaran bea masuk beserta pajak. Namun, ketika masuk ke gudang importir, sejumlah persyaratan seperti memiliki sertifikat Standar Nasional Indonesia (SNI), persetujuan impor, laporan hasil survei surveyor ataupun izin edar dari instansi terkait. Pelaku usaha juga diwajibkan untuk melaporkan realisasi impor melalui website INATRADE.

Ambil contoh, Permendag Nomor 15 tahun 2018 menyebutkan barang yang telah diberlakukan SNI dan/atau persyaratan teknis secara wajib harus didaftarkan ke Direktorat Standardisasi dan Pengendalian Mutu sebelum diimpor dari negara mitra dagang. Aturan ini mewajibkan pemilik Angka Pengenal Importir (API) memiliki Nomor Pendaftaran Barang (NPB).

Jika dalam audit uji sampel yang dilakukan oleh Kementerian Perdagangan terdapat perbedaan data dengan dokumen importir, importir dikenakan hukuman seperti penarikan dari pasar lokal yang berujung kepada pemusnahan barang ataupun pencabutan NPB.

Contoh lainnya adalah beberapa produk hortikultura tertentu seperti bawang bombay, mangga, manggis dan lain-lain dilakukan setelah melalui kawasan pabean. Tentunya dengan mengamankan surat persetujuan impor dan laporan surveyor terlebih dahulu. Importir produk hortikultura juga harus membuat surat pernyataan mandiri yang berisi telah memenuhi persyaratan impor sebelum barang diedarkan di Indonesia. 

Persyaratan mendapatkan persetujuan impor juga tak mudah. Selain memiliki dokumen API, importir harus menunjukkan bukti kepemilikan atau penguasaan gudang dan alat transportasi; rencana impor produk hortikultura yang mencakup jenis barang, HS Code, jumlah, negara, asal, pelabuhan muat serta pelabuhan tujuan; dan tentu saja Rekomendasi Impor Produk Hortikultura (RIPH) dari Kementerian Pertanian. 

 

Dapat disimpulkan perubahan kebijakan ini hanya mengalihkan tanggung jawab pemeriksaan dari Bea cukai kepada instansi kementerian yang terkait dan bukan melonggarkan kualifikasi yang sebelumnya ada. Importir masih pontang-panting melengkapi persyaratan dokumen dan teknis lainnya jika tidak ingin barangnya ditarik dari peredaran. Pengurangan waktu dwelling time harus dibayar dengan risiko penyelewengan. 

Pada akhirnya kebijakan ini adalah win-win solution bagi pemerintah dan pengusaha. Citra pemerintah positif lantaran menyederhanakan prosedur impor tanpa harus menghilangkan pagar pembatas demi menghindari banjir impor produk tertentu. Di sisi lain, importir produk tertentu tak lagi was-was ataupun mengantri terlalu lama di pelabuhan.

Kendati begitu, kebijakan ini tak serta merta bisa menaikkan peringkat kemudahan berusaha di Indonesia. Masih banyak aspek lain yang harus ditingkatkan seperti mengurus persetujuan impor di Kementerian Perdagangan, mengajukan izin edar dan Surat Keterangan Impor (SKI) kepada BPOM ataupun mengantongi sertifikat SNI dari BSN. Call center instansi terkait harus dimaksimalkan guna memberikan info secara detail tentang prosedur yang benar dalam kegiatan yang berhubungan ekspor impor. 

Kebijakan post border tak akan berarti banyak apabila pemerintah tidak menyederhanakan izin-izin yang rumit. Para importir masih tetap akan berteriak lantang bahwa berbisnis di Indonesia tak semudah yang dijanjikan. Malah, para importir ini bisa jadi memilih jalan belakang demi mengumpulkan pundi-pundi. Bukannya tertib mengikuti peraturan yang ada, produk impor yang tidak memenuhi syarat akan memenuhi pasar domestik.

img
Fira Fauziah
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan