Foreign Policy Community of Indonesia (FPCI) menyatakan penggunaan mata uang Yuan atau dikenal dengan Renminbi (RMB) dalam transaksi di Indonesia hanya berada di angka 10%.
Founder FPCI Dino Patti Djalal mengungkapkan kecilnya penggunaan yuan di Indonesia dikarenakan sistem mata uang tersebut berbeda dengan transaksi menggunakan dolar.
“Tiongkok sendiri masih sebagian besar menggunakan dolar untuk berdagang, baik dari segi invoicenya dan sebagai macamnya,” kata Dino di sela-sela FPCI-BOC Forum 2019, Jakarta, Kamis (25/7).
Selain itu, mata uang yuan masih berada di bawah kendali Tiongkok, berbeda dengan mata uang dolar yang cenderung lebih bebas dan terbuka.
“Dolar floatingnya lebih bebas, lebih terbuka. Renminbi sekarang sudah mulai floating tapi masih terkontrol oleh Tiongkok dan masih belum ada capital account istilahnya, Amerika ada,” tambah Dino.
Namun Dino mengatakan, dengan pertumbuhan ekonomi China yang semakin tinggi, ke depan Indonesia harus mulai memikirkan potensi mata uang yuan tersebut.
Ia mengatakan banyak perusahan-perusahaan kecil di Tiongkok yang tidak terekspos dalam perdagangan internasional, namun dijamin penggunaan renminbi oleh Bang Tiongkok.
“Jadi kalau kita mau menyasar bank Tiongkok menengah ke bawah menggunakan renminbi lebih menjanjikan bagi mereka,” ujarnya.
Lebih jauh, Dino menjelaskan, yuan saat ini pengaruhnya telah lebih besar. Ia mencontohkan, nilai tukar mata uang euro saat ini sudah dipengaruhi oleh kurs yuan terhadap dolar.
“Jadi kalau nilai tukar dolar ke renminbi naik, euro juga naik, begitu juga sebaliknya. Kalau dolar ke renminbi turun, euro juga turun,” tuturnya.
Sementara itu, Dino mengungkapkan beberapa proyek besar antara Indonesia dan China juga sudah menggunakan mata uang Yuan dalam pembiayaannya. Kerja sama Indonesia dengan Tiongkok dalam konteks Belt Road Initiatives (BRI), misalnya, sudah terjalin dengan empat provinsi di Indonesia, yaitu Bandung, Sumatera Utara, Kalimantan Utara, dan Sulawesi Utara.
“Yang jelas proyek pembangunan kereta api Jakarta-Bandung itu menggunakan renminbi. Kalau misalnya indonesia lebih banyak kerjasama dalam konteks BRI tentu akan lebih banyak proyek-proyek yang akan menggunakan renminbi,” ujarnya.
Lebih lanjut, Dino mengatakan Tiongkok dalam semangatnya untuk menghidupkan kembali jalur sutra yang sempat memberi kejayaan pada Tiongkok di masa lalu akan terus mendorong yuan sebagai alat transaksi dengan negara-negara dagangnya.
“Jadi kita melihat emang lambat laun akan terjadi internasionalisasi renminbi yang semakin besar. Tapi saya tidak melihat dolar akan tergantikan, dalam jangka pendek masih raja. Karena sebagian besar internasional trading itu masih dalam dolar,” katanya.