Rupiah bisa menguat kembali di level Rp13.500, tetapi dengan catatan tekanan global khususnya yang berasal dari kebijakan bunga acuan Fed rate mulai mereda.
Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira Adhinegara, mengatakan, selain faktor eksternal, nilai tukar juga bisa dipengaruhi faktor internal. Misalkan saja, kinerja perekonomian
"Kinerja perekonomian tahun ini bisa tumbuh setidaknya 5,2-5,3%. Penguatan rupiah juga bisa dipicu dengan membaiknya kinerja ekspor serta kenaikan bunga acuan BI," jelas dia saat dihubungi, Rabu (9/5).
Tetapi tentunya, untuk memenuhi persyaratan tadi, membutuhkan kerja ekstra dari berbagai lembaga tidak hanya BI.
Sementara anggota Komisi XI DPR, Mukhamad Misbakhun menyoroti kinerja Gubernur Bank Indonesia (BI) Agus Martowardojo dalam menjaga stabilitas kurs rupiah. Terlebih, kurs dolar Amerika Serikat (USD) sudah menembus batas psikologis Rp 14.000.
“Yang membikin saya kaget di saat USD pada angka Rp14.000, ternyata posisi Gubernur Bank Indonesia sedang tidak di Indonesia dan sedang melakukan perjalanan ke luar negeri dalam waktu yang lama dan berurutan pada sisa masa jabatannya yang tinggal beberapa hari lagi,” ujar Misbakhun.
Legislator Golkar di Komisi Keuangan dan Anggaran DPR itu menambahkan, volatilitas nilai tukar rupiah saat ini sangat mengganggu stabilitas perekonomian nasional. Karena itu, BI harus segera mengambil langkah-langkah strategis untuk menguatkan nilai tukar rupiah yang mencerminkan kekuatan ekonomi nasional.
Berdasarkan data bloomberg, perdagangan nilai tukar rupiah pada hari ini, bergerak dikisaran Rp14.084-14.085 per dollar AS. Pada pembukaan, rupiah diperdagangkan diharga Rp14.085 per dollar AS, melemah dibandingkan penutupan pada perdagangan, Selasa (8/5) seharga Rp14.052 per dollar AS.
Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kementerian Keuangan Suahasil Nazara mengatakan perlemahan nilai tukar terhadap dollar AS yang sedang terjadi saat ini, tidak terlalu dalam dibandingkan negara-negara berkembang lainnya.
"Kita bersyukur tidak terlalu dalam karena memang dalam kondisi seperti ini perbandingan antara negara menjadi sangat penting," kata Suahasil seperti dilansir Antara.
Fenomena volatilitas kurs tidak hanya dialami oleh Indonesia, namun juga dialami banyak negara, sebagai respon pelaku pasar dari perbaikan ekonomi di AS.
Dalam situasi saat ini, kondisi Indonesia masih lebih baik karena pemerintah secara konsisten telah melaksanakan reformasi dalam bidang ekonomi yang berkelanjutan.
Sejumlah negara seperti Argentina dan Turki tidak memiliki fundamental ekonomi yang baik sehingga mata uangnya rentan terhadap penguatan dolar AS. "Kalau Indonesia kurang baik, tapi mempunyai reformasi yang bisa dipercaya, Indonesia akan ada di posisi yang lebih baik," jelasnya.