Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kembali perkasa sejak memasuki kuartal II-2020, setelah terkoreksi parah pada Maret akibat pagebluk. Sejak awal kuartal II hingga Selasa (9/6), rupiah telah menguat 15,03% di hadapan dolar AS.
Apabila dihitung sejak awal tahun, mata uang Garuda menguat 0,29%. Meski hanya naik tipis, namun rupiah berada di peringkat ke-6 di antara mata uang utama dunia.
Ekonom Universitas Indonesia (UI) Faisal Basri mengatakan penguatan rupiah saat ini bersifat semu. Pergerakannya dipengaruhi oleh masuknya dana asing lewat Surat Utang Negara (SUN) berdenominasi rupiah yang memberikan iming-iming imbal hasil atau yield tinggi.
"Pemerintah mengeluarkan surat utang dalam denominasi rupiah, bunganya tinggi sekali 7%-8%. Asing juga masuk ke Indonesia dari utang global bonds yang berupa valas," ujar Faisal, Rabu (11/6).
Yield obligasi pemerintah Indonesia memang menggiurkan bila dibandingkan dengan negara lain. Sebagai contoh, SUN seri acuan FR0082 berjangka waktu 10 tahun diperdagangkan dengan yield 7,2% pada Rabu (10/6).
Yield itu jauh lebih tinggi bila dibandingkan dengan negara lain di Asia Pasifik. Surat utang Hongkong, Singapura, dan India masing-masing hanya membagikan yield 0,55%, 0,96%, dan 5,77% dengan tenor yang sama. Apalagi apabila dibandingkan dengan US Treasury, obligasi AS bertenor 10 tahun yang memiliki yield 0,78%.
Dus, bak kembang desa, surat utang Tanah Air menjadi incaran investor asing di tengah pandemi Covid-19 karena masih menguntungkan. Berdasarkan data Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, ada Rp14 triliun dana asing yang masuk dan menggenggam obligasi pemerintah dari akhir Maret hingga 8 Juni 2020.
Menurut Faisal, kondisi ini berbahaya bagi kesehatan likuiditas sistem keuangan nasional. Dana asing diperkirakan tak akan parkir lama di Indonesia.
Investor asing terancam kembali menjual kepemilikan obligasinya seiring mulai berjalannya tatanan kehidupan normal baru atau new normal. "Efek new normal baru akan dirasakan bulan depan. Pada saat itulah asing mulai menjual obligasinya lagi," tutur Faisal.
Apalagi, porsi kepemilikan asing di SBN dengan mata uang rupiah saat ini cukup besar. Angka terakhir, per 8 Juni besarannya mencapai 30,61%.
Menurut Faisal, pada akhir 2019 lalu Indonesia bahkan tercatat sebagai negara tertinggi di dunia yang obligasi lokalnya dimiliki oleh asing. Saat itu, porsi asing mencapai 38,7%. Hal ini berbeda dengan Jepang yang utang pemerintahnya lebih besar dipegang oleh masyarakat sendiri.
Menurut Faisal, kaburnya dana asing ini perlu diwaspadai karena akan menggerus cadangan devisa Bank Indonesia (BI). "BI harus turun tangan. Nah, keluarlah cadangan devisa (untuk mencukupi likuiditas)," ucapnya.
Dia menuturkan, rupiah baru bisa dikatakan menguat jika defisit transaksi berjalan atau current account deficit (CAD) tumbuh surplus. Masalahnya, hingga Maret CAD masih mengalami defisit.
BI mencatat CAD Kuartal I-2020 mencapai US$3,9 miliar atau setara 1,42% dari Pendapatan Domestik Bruto (PDB).
"Kalau sekarang generally of vulnerability kita semakin parah karena kita tidak belajar dari krisis sebelumnya. Oleh karena itulah sulit untuk membayangkan karena data current account juga masih defisit," katanya.
Tak berbeda, masuknya dana asing ke pasar saham yang memicu hijaunya Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) dalam beberapa hari terakhir juga dinilai hanya bersifat sementara. Ancaman keluarnya dana asing alias capital outflow juga diprediksi bakal terjadi di pasar saham. Apalagi, kata Faisal, saat ini asing mengempit porsi 40% dari stock market.
"Ekonom di berbagai negara meyakini semakin tidak ada hubungannya antara kinerja pasar modal dan pasar uang dengan kinerja ekonomi. Sekarang asing banyak beli karena akhir-akhir ini ada potensi keuntungan," ucap Faisal.