close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Seorang awak kapal memecah es balok di pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. /Antara Foto.
icon caption
Seorang awak kapal memecah es balok di pelabuhan Muara Angke, Jakarta Utara. /Antara Foto.
Bisnis
Jumat, 21 Desember 2018 19:00

Penjaga kesegaran ikan-ikan di pasar Muara Angke

Setiap hari, Bagas menyetok 40 es balok. Pasokan es balok itu berasal dari sebuah pabrik di Tangerang.
swipe

Suasana pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara, masih hiruk saat saya sampai di sana dini hari. Aktivitas di pasar ini mulai ramai sejak malam hingga menjelang subuh. Aneka tangkapan laut, seperti bebagai jenis ikan, cumi-cumi, kerang, hingga lobster, tentu bukan barang aneh ditemui di sini.

Bau amis menyeruak. Para pembeli mayoritas pedagang ikan yang berasal dari berbagai wilayah di Jakarta, dan daerah-daerah penyangga, serti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi.

Hilir mudik para kuli angkut, dengan cekatan memanggul dan memindahkan ikan-ikan dari para pembeli dan penjual. Guna menjaga kesegaran ikan agar tak busuk, para pedangan es balok juga turut mencari nafkah di tempat ini.

Penjual es balok

Salah satunya Bagas. Pria berusia 45 tahun ini sudah berjualan es balok di Muara Angke sejak 1989. Setiap hari, Bagas menyetok 40 es balok. Pasokan es balok itu berasal dari sebuah pabrik di Tangerang.

“Esnya datang pagi, jelang subuh gitu,” kata Bagas, saat saya temui di pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (20/12).

Dia menjual es balok dengan harga bervariasi. Es yang sudah dikemas dalam kantong kresek dijual Rp7.000, sedangkan es dalam satu ember cat 25 kilogram dijual Rp13.000 hingga Rp15.000.

Namun, harga itu dia bilang tak pasti. Harga es balok bisa melonjak drastis saat libur Idulfitri.

“Pedagang es kan banyak yang pulang kampung tuh, kita jual Rp80.000 satu balok juga pasti mereka (penjual dan pembeli ikan) beli,” ujar Bagas.

Suasana pada dini hari di pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara. (Alinea.id/Annisa Saumi).

Sementara ketika cuaca buruk, saat nelayan tak berani melaut, pasokan ikan yang ada di Muara Angke berkurang. Hal ini mempengaruhi penjualan es balok. Otomatis, pendapatan Bagas pun akan menyusut bila pasokan ikan menipis.

Pelanggan Bagas merupakan para pedagang ikan di pasar ikan Muara Angke, dan para pengecer yang datang dari berbagai daerah sekitar Jakarta.

Untuk menghancurkan es-es balok menjadi serpihan-serpihan, dia menggunakan gerbong mesin penggiling es. Gerbong beroperasi menggunakan bahan bakar bensin. Dalam semalam, Bagas harus merogoh kocek Rp10.000, untuk mengoperasikan mesinnya itu. Namun, gerbong penggiling es ini hanya berusia dua tahun, setelah itu rusak.

Harga satu gerbong penggiling es yang berbahan besi, kata Bagas, sebesar Rp4 juta. Yang berbahan stainless steel lebih mahal.

“Bisa Rp12 juta. Tapi awet,” katanya.

Para pengecer ikan datang menggunakan mobil bak terbuka. Mereka mengangkut ikan dari Muara Angke ke tempat masing-masing. Mereka menggantungkan kesegaran ikan-ikan dari es balok yang dibeli di pasar ikan Muara Angke, karena tak memiliki mobil boks pendingin.

Tak hanya pengecer ikan, pedagang ikan di Muara Angke juga tak memakai pendingin untuk menyegarkan ikan-ikan yang mereka jajakan. Maka, keberadaan pedagang es balok seperti Bagas menjadi penting di sini.

Suasana pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara, masih hiruk saat saya sampai di sana dini hari. Aktivitas di pasar ini mulai ramai sejak malam hingga menjelang subuh. Aneka tangkapan laut, seperti bebagai jenis ikan, cumi-cumi, kerang, hingga lobster, tentu bukan barang aneh ditemui di sini.

Bau amis menyeruak. Para pembeli mayoritas pedagang ikan yang berasal dari berbagai wilayah di Jakarta, dan daerah-daerah penyangga, serti Tangerang, Bogor, Depok, dan Bekasi.

Hilir mudik para kuli angkut, dengan cekatan memanggul dan memindahkan ikan-ikan dari para pembeli dan penjual. Guna menjaga kesegaran ikan agar tak busuk, para pedangan es balok juga turut mencari nafkah di tempat ini.

Penjual es balok

Salah satunya Bagas. Pria berusia 45 tahun ini sudah berjualan es balok di Muara Angke sejak 1989. Setiap hari, Bagas menyetok 40 es balok. Pasokan es balok itu berasal dari sebuah pabrik di Tangerang.

“Esnya datang pagi, jelang subuh gitu,” kata Bagas, saat saya temui di pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara, Kamis (20/12).

Dia menjual es balok dengan harga bervariasi. Es yang sudah dikemas dalam kantong kresek dijual Rp7.000, sedangkan es dalam satu ember cat 25 kilogram dijual Rp13.000 hingga Rp15.000.

Namun, harga itu dia bilang tak pasti. Harga es balok bisa melonjak drastis saat libur Idulfitri.

“Pedagang es kan banyak yang pulang kampung tuh, kita jual Rp80.000 satu balok juga pasti mereka (penjual dan pembeli ikan) beli,” ujar Bagas.

Suasana pada dini hari di pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara. (Alinea.id/Annisa Saumi).

Sementara ketika cuaca buruk, saat nelayan tak berani melaut, pasokan ikan yang ada di Muara Angke berkurang. Hal ini mempengaruhi penjualan es balok. Otomatis, pendapatan Bagas pun akan menyusut bila pasokan ikan menipis.

Pelanggan Bagas merupakan para pedagang ikan di pasar ikan Muara Angke, dan para pengecer yang datang dari berbagai daerah sekitar Jakarta.

Untuk menghancurkan es-es balok menjadi serpihan-serpihan, dia menggunakan gerbong mesin penggiling es. Gerbong beroperasi menggunakan bahan bakar bensin. Dalam semalam, Bagas harus merogoh kocek Rp10.000, untuk mengoperasikan mesinnya itu. Namun, gerbong penggiling es ini hanya berusia dua tahun, setelah itu rusak.

Harga satu gerbong penggiling es yang berbahan besi, kata Bagas, sebesar Rp4 juta. Yang berbahan stainless steel lebih mahal.

“Bisa Rp12 juta. Tapi awet,” katanya.

Para pengecer ikan datang menggunakan mobil bak terbuka. Mereka mengangkut ikan dari Muara Angke ke tempat masing-masing. Mereka menggantungkan kesegaran ikan-ikan dari es balok yang dibeli di pasar ikan Muara Angke, karena tak memiliki mobil boks pendingin.

Tak hanya pengecer ikan, pedagang ikan di Muara Angke juga tak memakai pendingin untuk menyegarkan ikan-ikan yang mereka jajakan. Maka, keberadaan pedagang es balok seperti Bagas menjadi penting di sini.

Pendingin modern

Berdasarkan laporan Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (Food and Agricultural Organizations/FAO) berjudul The State of World Fisheries and Aquaculture (2018), dari seluruh ikan yang susut dan terbuang, sebanyak 65% karena faktor teknis, teknologi, dan infrastruktur, ditambah dengan keterampilan dan pengetahuan yang tak memadai. 

Masih berdasarkan laporan tadi, diperkirakan di seluruh dunia, sebanyak 27% ikan akan terbuang antara waktu pendaratan hingga konsumsi.

Menurut Ketua Umum Asosiasi Rantai Pendingin Indonesia (ARPI) Hasanuddin Yasni, pada 2018 setidaknya ada 40% ikan susut dan terbuang. Sedangkan 10% digunakan untuk pelet atau pindang.

“Jadi, yang terselamatkan, sampai ke end-consumer hanya 50% saja,” kata Hasan, ketika dihubungi, Jumat (21/12).

ARPI sendiri merupakan organisasi nirlaba, anggotanya industri-industri yang dalam rangkaian usahanya menggunakan sistem rantai pendingin, seperti industri makanan, minuman, dan produk segar lainnya.

Para penjual es balok di pasar ikan Muara Angke, Jakarta Utara. (Alinea.id/Annisa Saumi).

Menurut Hasan, penyusutan dan kerugian itu bisa dicegah bila ikan-ikan tersebut disimpan di cold storage (kamar pendingin). “Cold storage bisa menekan penyusutan hingga 30%. Pendingin itu sebenarnya menguntungkan,” ujar Hasan.

Lebih lanjut, dia mengatakan, meski ikan tersebut tampak segar, tapi akan muncul ribuan bakteri bila dibiarkan selama delapan jam tanpa pendingin atau es. Kata Hasan, sifat dari hasil tangkapan laut mudah busuk. Maka, secara mikrobiologi, mikrobanya cukup cepat naik.

Nah, pendingin tidak hanya menghambat mikroba tersebut, tapi juga menghambat pelembekan struktur ikan,” katanya.

Selain itu, menurutnya, penggunaan cold storage bisa juga menguntungkan konsumen akhir, dan mengurai angka kecurangan yang dilakukan pedagang.

“Pedagang kan bisa saja mengakali ikannya dicampur dengan formalin, atau bahan kimia lain agar tidak cepat busuk,” kata Hasan.

Hasan menuturkan, pertumbuhan cold storage di Indonesia pada 2018 berada di angka 5,8%. Tahun depan, Hasan memperkirakan, pertumbuhan tersebut stagnan, karena tahun politik.

“Tapi, pada semester II bisa digenjot lagi,” ujarnya.

Untuk beralih ke cold storage, menurut Hasan, dipengaruhi tiga faktor, yakni teknologi, standar kelayakan, dan teknisi cold storage.

Sementara itu, Bagas mengaku, dirinya takut usahanya menjual es balok akan tergantikan oleh pendingin yang lebih modern. Akan tetapi, menurut Hasan, potensi kehilangan pekerjaan orang-orang seperti Bagas bisa diakali dengan menjual es curah.

“Sebenarnya pemerintah sudah mengupayakan pedagang untuk beralih ke es curah,” kata Hasan.

*

Pagi hampir menyapa. Bagas masih sibuk menggiling es balok. Membuat ikan-ikan tetap segar, meski dibawa para pembeli ke tempat yang jauh.

img
Annisa Saumi
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan