close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi. Foto Pixabay.
icon caption
Ilustrasi. Foto Pixabay.
Bisnis
Sabtu, 20 Juni 2020 15:35

Gap kenaikan upah dan harga properti lebar, milenial sulit beli rumah

Kenaikan upah rata-rata 8% per tahun tidak sebanding dengan kenaikan harga properti.
swipe

Memiliki rumah menjadi salah satu tujuan bagi setiap orang. Namun, banyak generasi milenial yang merasa tidak mampu untuk memiliki rumah lantaran harga properti yang kian mencekik. 

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef) Bhima Yudhistira mengatakan akar permasalahan sulitnya generasi milenial membeli rumah saat ini adalah karena besarnya ketimpangan antara kenaikan upah dengan kenaikan harga properti. 

"Kenapa milenial susah punya rumah? Karena kenaikan upah rata-rata 8% per tahun tidak sebanding dengan Pkenaikan harga properti 20% per tahun," katanya dalam video conference, Sabtu (20/6). 

Bahkan, di daerah-daerah strategis seperti di DKI Jakarta, Bali, Bekasi, dan Karawang lonjakan kenaikan harga properti per tahunnya mencapai 30% hingga 40%. 

Kenaikan ini, lanjutnya, seiring dengan ketimpangan penguasaan lahan atau tanah yang menjadi problem dasar dan belum terselesaikan dari dulu hingga sekarang. Dia mencontohkan, lonjakan kenaikan harga tanah di Yogyakarta setelah dibangunnya bandara New Yogyakarta International Airport di Kulonprogo, dari semula Rp200.000 per meter menjadi sebesar Rp1,5 juta per meter.

"Harga tanah terus mengalami kenaikan gila-gilaan seperti di Yogyakarta usai dibangun bandara. Permasalahan ketimpangan ini tidak di-address dengan baik oleh pemerintah," ujarnya.

Tapera bukan solusi

Di sisi lain, menurut Bhima, Program Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) tidak dapat menjadi solusi dari kurangnya ketersediaan rumah bagi masyarakat. Menurut dia, pemerintah terlebih dulu perlu mempersempit ketimpangan  antara kenaikan upah dengan kenaikan harga properti. Apalagi, penghasilan masyarakat makin berkurang akibat pandemi Covid-19. Dus, pungutan Tapera justru kian menambah beban rakyat.

"Yang harus diperhatikan adalah gap kenaikan upah dengan kenaikan harga properti, ini harus dapat diperkecil. Dan ini tidak terlihat di dalam UU Tapera," ucapnya.

Lebih jauh, dia menilai, penarikan iuran Tapera tersebut membuat tumpang tindih dengan iuran Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Ketenagakerjaan. Pasalnya, pekerja harus dipungut iuran sebanyak dua kali dan akan sangat membebani masyarakat.

"Pemerintah selalu beralasan untuk gotong royong. Kalau masyarakat gotong royong lalu tugas pemerintah apa?" tuturnya.

Seharusnya, ujar Bhima, pemerintah memberikan stimulus lebih bagi masyarakat di saat pandemi ini, bukan malah menambah beban dengan iuran yang semakin memberatkan.

"Di tengah situasi sekarang pemerintah bukan menambah semulus, tapi malah menambah beban masyarakat," sambungnya.

Untuk mempersempit jarak ketimpangan antara kenaikan upah dan kenaikan harga properti, menurut Bhima, perlu dibentuk badan pengawas properti. Selain itu, pemerintah juga harus menaikkan upah minimum, membangun rumah susun sewa sederhana atau rusunawa di dekat pabrik atau kantor pekerja, meningkatkan subsidi uang muka pembelian rumah hingga 20%, serta mengajak masyarakat untuk melakukan judicial review terhadap UU Tapera.

img
Nanda Aria Putra
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan