Penjelasan Sri Mulyani soal utang negara tembus Rp4.000 T
Persoalan utang menjadi sorotan masyarakat karena terus membengkak hingga membuat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati harus menjelaskan secara rinci.
Menurut Sri Mulyani, pemerintah mencatat dalam dokumen APBN 2018, asumsi rasio utang pada 31 Maret 2018 sebesar 29,78% terhadap pendapatan domestik bruto (PDB) dengan jumlah utang Rp4.136,39 triliun.
Sri Mulyani yang menjadi salah satu kandidat bakal calon wakil presiden pendamping Joko Widodo itu, menyebutkan pembiayaan utang pada triwulan I-2018 relatif terkendali yaitu mencapai Rp148,2 triliun atau 37,1% dari target Rp399,2 triliun.
"Ini penurunan drastis untuk pembiayaan utang yaitu tumbuh negatif 21% dari periode sama tahun lalu," kata Sri Mulyani dalam jumpa pers realisasi APBN triwulan I-2018 di Jakarta, seperti dilansir Antara, Senin (16/4).
Menkeu terbaik di Asia Pasifik versi FinanceAsia ini menjelaskan, pembiayaan utang ini lebih rendah dari realisasi pada triwulan I-2017 sebesar Rp187,9 triliun karena pemerintah mulai mengelola APBN secara prudent dan berhati-hati.
"Jadi kita menjaga utang secara sangat berhati-hati dan tidak ugal-ugalan," katanya.
Sri Mulyani, yang juga menyabet gelar Menteri Terbaik Dunia dalam ajang World Goverment Summit di Dubai, Uni Emirat Arab, tersebut menambahkan pembiayaan utang ini didukung oleh penerbitan Surat Berharga Negara (SBN) yang pada periode ini telah mencapai Rp143,8 triliun atau 34,7% dari target Rp414,5 triliun.
Penerbitan SBN yang tinggi hingga akhir Maret 2018 ini karena pemerintah menggunakan strategi penerbitan surat utang pada awal tahun (front loading) untuk mengantisipasi gejolak ekonomi global.
"Penerbitan SBN ini juga turun karena turun 24,5% dari penerbitan SBN pada triwulan satu 2017 sebesar Rp190,4 triliun," kata Sri Mulyani.
Orang Asia dan perempuan pertama yang menyabet gelar The Best Minister in the World Award ini, menuturkan kondisi penerbitan SBN pada triwulan I-2018 ini juga didukung oleh rata-rata bunga utang baru sebesar 4,89%, lebih rendah dari triwulan I-2017 sebesar 5,39%.
Hingga saat ini, pemerintah masih menerapkan strategi pembiayaan utang secara hati-hati dengan memperhitungkan biaya, risiko dan kapasitas maupun prinsip-prinsip prudent, efisiensi biaya, produktivitas dan keseimbangan.
Dengan memanfaatkan kepercayaan investor yang meningkat, terlebih setelah Moody's menaikkan peringkat kredit Indonesia satu peringkat diatas level layak investasi, maka diharapkan ada perluasan basis investor.
Melalui penilaian tersebut, maka ketahanan pasar dalam negeri diperkirakan makin kuat dan kapasitas investor masuk pasar semakin besar, sehingga akan menciptakan permintaan SBN bisa lebih banyak untuk menekan biaya utang.
Sementara itu, berdasarkan dokumen APBN kita, pemerintah mengasumsikan rasio utang pada akhir 31 Maret 2018 sebesar 29,78% terhadap PDB dengan jumlah utang Rp4.136,39 triliun.
Peningkatan rasio tersebut disebabkan oleh penerapan strategi front loading atas pembiayaan APBN untuk mengantisipasi risiko peningkatan pendanaan di pasar keuangan.
Beberapa risiko tersebut antara lain dampak kenaikan suku bunga acuan Bank Sentral AS (Fed Fund Rate), potensi terjadinya perang dagang dan ekskalasi konflik geopolitik dunia.
Setelah semester I-2018, rasio utang tersebut diproyeksikan akan menurun seiring dengan meningkatnya PDB yang pada Maret 2018 diasumsikan mencapai Rp13.891,15 triliun.
Belanja Negara
Sementara itu, realiasi belanja negara sampai dengan akhir Maret 2018 sebesar Rp 419,55 triliun, meningkat 4,88% jika dibandingkan realisasi Maret tahun sebelumnya.
Sri Mulyani membeberkan bahwa yang menonjol dari Belanja kementerian/lembaga (K/L) ini adalah belanja sosial. Sebab, sampai Maret 2018 sudah mencapai Rp17,9 triliun.
Padahal, tahun lalu hanya Rp9,5 triliun atau naik 87% lebih. Dari sisi jumlah penyerapannya ini berarti Rp17,9 triliun itu 23,2% dari total alokasi belanja sosial.
"Ini kita harapkan bisa membuat masyarakat kita momentum growth-nya positif dan masyarakat yang rentan bisa mendapatkan bantuan sosial dan perlindungan negara," terang Sri Mulyani, Senin (16/4) di Kantornya.
Realisasi transfer ke daerah dan dana desa (TKDD) sampai dengan triwulan I-2018 telah mencapai Rp185,6 triliun atau 24,2% dari pagu dalam APBN 2018. Meliputi Transfer ke Daerah (TKD) sebesar Rp175,3 triliun dan Dana Desa sebesar Rp10,3 triliun.
Adapun, realisasi TKD sampai dengan kuartal I-2018 lebih rendah Rp19,9 triliun, turun 10,2% dibandingkan realiasasi TKD pada periode yang sama tahun 2017.
Untuk itu, Sri Mulyani menekankan pembiayaan sampai 31 Maret melalui penerbitan SBN (neto) sebesar Rp143,81 triliun, atau 34,69% dari target penerbitan di tahun 2018. Sedangkan, pengadaan pinjaman (neto) sebesar Rp4,41 triliun atau lebih rendah 28,79% dari target 2018.
"Namun ini mengalami penurunan drastis 21,1% untuk pembiayaan utang. Jadi kita menjaga hutang kita secara sangat hati-hati dan tidak ugal-ugalan. Biaya investasi kita masih belum ada realiasi," jelas Sri Mulyani.
Pada kesempatan yang sama, Direktur Jenderal Anggaran Askolani menjelaskan bahwa realisasi Belanja Subsidi hingga Maret 2018 tercatat sebesar Rp25,29 triliun atau sekitar 16,19% dari pagu APBN, lebih tinggi dibandingkan realisasi Maret tahun lalu yang hanya sekitar Rp12,3 triliun.
Realisasi subsidi energi pada tahun 2018 dipengaruhi oleh pergerakan harga minyak, konsumsi energi bersubsidi, bauran energi input tenaga listrik, dan nilai tukar rupiah terhadap dolar.
"Dalam subsidi energi 2018 ini sampai triwulan satu, Kemenkeu sudah membayar tunggakan subsidi tahun sebelumnya sebanyak Rp9,3 triliun. Untuk BBM dan LPG Rp6,3 triliun, serta PLN Rp3 triliun," ujar Askolani.
Dari data yang dijabarkan Kemenkeu, disebut bahwa realiasasi APBN 2018 defisit sebesar 0,58% terhadap PDB dan jika dibandingkan dengan tahun 2017, turun sebesar 0,76% dari PDB, bahkan dari tahun 2016 yang juga sudah defisit sebesar 1,13%.
Sementara itu, keseimbangan primer sampai dengan 31 Maret 2018 sebesar Rp17,3 triliun defisit, jauh lebih kecil dari tahun lalu yang mengalami Rp38,7 triliun dan tahun 2016 mencapai Rp90,4 triliun dalam periode yang sama.
"Jadi kita menunjukkan penurunan defisit. Kita harap keseimbangan primer bisa mendekati nol dan diharapkan berangsur surplus," terang Sri Mulyani.
Sampai akhir tahun, perempuan yang kerap di sapa Ani ini, memprediksi bahwa angka defisit berada di 2,19% dan akan terus terjaga pada angka tersebut.