Penjualan properti di Indonesia lesu seiring tertekannya daya beli masyarakat dan turunnya jumlah masyarakat kelas menengah.
Kebijakan uang muka alias down payment (DP) rumah 0% yang telah diterapkan Bank Indonesia (BI) juga belum mampu mengerek minat konsumen membeli properti. Pada tahun lalu, bank sentral memperpanjang DP rumah 0% hingga akhir 2024. Kini, aturan itu kembali diperpanjang hingga Desember 2025.
Selain itu, ketentuan Loan to Value/Financing to Value (LTV/FTV) kredit atau pembiayaan properti paling tinggi sebesar 100% diperpanjang pada periode yang sama. Hal ini memungkinkan calon pembeli properti tidak perlu membayar DP alias DP 0% saat mengambil fasilitas kredit pemilikan rumah atau apartemen.
Terlihat pada hasil Survei Harga Properti Residensial (SHPR) BI yang mengindikasikan penjualan properti residensial di pasar primer pada triwulan III-2024 menurun dan terjadi pada seluruh tipe rumah, terutama pada rumah tipe kecil. Pada periode triwulan ini, pertumbuhan penjualan properti residensial di pasar primer tercatat mengalami kontraksi sebesar 7,14% secara tahunan atau year on year (yoy). Sementara, penyaluran kredit pada sektor properti tumbuh 7,2% secara yoy pada Oktober 2024, menurun dari 7,6% yoy per September 2024.
Esther Sri Astuti, Direktur Eksekutif Institute for Development of Economics and Finance (Indef) mengatakan lesunya ekonomi membuat daya beli masyarakat menurun. Penurunan jumlah kelas menengah juga berimbas langsung pada konsumsi, termasuk kredit sektor properti.
“Sementara kebutuhan dasar seperti makanan justru meningkat dalam komposisi pengeluaran rumah tangga,” katanya kepada Alinea.id, Sabtu (30/11).
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), kelas menengah—yang merupakan kontributor utama konsumsi nasional—turun signifikan. Pada 2018, kelas menengah berjumlah 52 juta jiwa atau sekitar 19% dari populasi dan berkontribusi 40% terhadap konsumsi domestik. Namun, pada 2023, jumlah tersebut menyusut hingga 9 juta jiwa.
Makin ambruk?
Industri properti tahun depan terancam makin suram. Apalagi, masyarakat akan dihujani berbagai pungutan tambahan.
Peneliti Center of Economic and Law Studies (Celios) Jaya Darmawan, menyebut loyonya sektor properti merupakan efek domino dari pelemahan konsumsi kelas menengah.
Tahun depan, masyarakat akan menahan konsumsi karena tekanan ekonomi akibat kenaikan pajak pertambahan nilai (PPN) menjadi 12% dan wacana kenaikan pajak penghasilan (PPh) Badan usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM)
"Serta adanya kewajiban asuransi third party liability (asuransi pihak ketiga),” ujarnya kepada Alinea.id, Sabtu (30/11).
Di samping itu, tekanan inflasi dan ketidakseimbangan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) juga menjadi salah satu penyebab utama melemahnya daya beli. Inflasi harga beras, misalnya, melonjak tajam dari 4,3% pada 2014 menjadi 22,08% pada 2024, sedangkan kenaikan UMP dalam periode yang sama hanya mencapai 6,5%.
Penyerapan tenaga kerja formal juga mengalami tren menurun. Pada periode 2019-2024, hanya 2 juta tenaga kerja baru yang terserap, jauh lebih rendah dibandingkan 15,6 juta pada periode 2009-2014.
Jaya menyebut perpanjangan kebijakan DP 0% menjadi insentif untuk mendorong sektor properti dan kredit kendaraan. Namun, jika daya beli masyarakat tidak segera pulih, kebijakan ini dikhawatirkan hanya bersifat simbolis tanpa memberikan dampak signifikan pada pertumbuhan ekonomi.
“Dibutuhkan reformasi struktural yang lebih luas, termasuk upaya meningkatkan pendapatan riil masyarakat, mengendalikan inflasi, dan menciptakan kebijakan fiskal yang mendukung konsumsi kelas menengah,” kata Jaya.
Menurutnya, kebijakan ini harus diiringi dengan langkah strategis lain untuk memastikan dampak positif yang berkelanjutan pada perekonomian nasional. Sejauh ini, tantangan utama masih terletak pada penguatan daya beli masyarakat kelas menengah sebagai motor utama konsumsi nasional.