Asosiasi Pengusaha Ritell Indonesia (Aprindo) memperkirakan pelambatan bisnis retail Indonesia pada semester II-2019 bisa teratasi. Ketua Aprindo Roy Nicholas Mandey menyatakan penjualan di pusat perbelanjaan dapat menyentuh angka Rp240 triliun pada 2019, atau naik dari tahun lalu sebesar Rp235 triliun.
“Kinerja industri retail masih terus bertumbuh tahun ini,” kata dia, di Jakarta, Kamis (11/7).
Roy mengatakan keyakinan itu karena empat unsur yang menjadi pendorong sekaligus penekan industri retail, yaitu politik, ekonomi, sosial, dan teknologi masih terkendali.
Menurut Roy, kondisi politik Indonesia sudah normal pasca-Pemilihan Umum 2019. Kemudian, kondisi ekonomi masih baik yang ditandai dengan terjaganya inflasi. Serupa, kondisi sosial juga lebih kondusif dan teknologi jauh lebih berkembang.
"Jadi dilihat dari empat faktor ini, kita bisa optimistis, khususnya retail untuk menyentuh angka pertumbuhan dua digit tahun ini," ujar Roy.
Adapun pertumbuhan retail untuk klasifikasi minimarket, bertambah 800 toko sampai 900 toko per tahun di seluruh Indonesia. Kemudian, untuk supermarket, juga bertumbuh sekitar 10 hingga 15 supermarket per tahun. Lalu hypermarket bertumbuh sekitar dua hingga tiga retail per tahun.
"Indikasi pertumbuhan itu ketika masih ada pembukaan toko baru. Jadi ketika ada toko baru, berarti industri retail bertumbuh dan konsumsi di dalamnya meningkat," katanya.
Roy melanjutkan, Aprindo optimistis daya beli masyarakat tidak akan berkurang karena inflasi masih terkontrol di angka 3,1% hingga 3,2%. Kemudian, lanjut Roy, indeks penjualan riil masih di atas angka 100 dan indeks kepercayaan konsumen juga masih diatas 100.
"Kalau di atas 100 itu berarti kami masih optimistis. Yang penting GDP kita sudah sampai US$3.927, artinya ada peningkatan kemampuan untuk masyarakat berkonsumsi," ujar Roy.
Roy pun melihat tutupnya enam gerai retail Giant pada akhir Juni lalu tak berkaitan dengan kemampuan konsumsi masyarakat. Roy menjelaskan tutupnya retail-retail tersebut karena perseroan memilih melakukan efisiensi.
"Selain itu, mereka mengubah bisnis modelnya dan mereka merelokasi daerah yang memang sudah tidak strategis, jadi lebih ke sebab natural. Memang ada yang kita sebut anomali dari bisnis retail, tapi tidak membuat retail akan punah atau gugur," ujar Roy.
Aprindo pun telah menyarankan anggota-anggotanya untuk mengubah bisnis model mereka mengikuti perilaku konsumen yang berubah.
Masyarakat saat ini, kata Roy, cenderung membeli kebutuhannya dengan cepat, efisien, dan praktis. Dengan begitu, retail-retail besar dengan luas 5.000 meter hingga 6.000 meter harus mengubah bisnis modelnya karena masyarakat tak mau lagi berputar-putar di retail.
"Otomatis shifting-nya berubah dari luasan high zone menjadi medium zone, yang luasannya kecil, atau juga minimarket," tutur Roy.