close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi pekerja lepas. Alinea.id/Enrico P.W.
icon caption
Ilustrasi pekerja lepas. Alinea.id/Enrico P.W.
Bisnis
Senin, 23 September 2024 16:01

Pentingnya pekerja gig berserikat

Serikat pekerja gig tidak hanya memberikan perlindungan hukum dan memperkuat posisi tawar, tetapi juga bisa mengatur tarif jasa secara lebih adil.
swipe

Bambang Sutrisno, 32 tahun, harus bersiap menghadapi kenyataan sebagai pekerja serabutan usai mengalami pemutusan hubungan kerja (PHK) dari perusahaan tempatnya bekerja di Jatiuwung, Tangerang, Banten pada Juni lalu. Saat ini, Bambang bekerja sebagai tukang bangunan panggilan, yang kerap dipekerjakan untuk merenovasi gedung perkantoran di Jakarta. Namun, dia mengakui sulit mencari penghasilan karena tidak rutin ada panggilan.

“Selain itu juga kerja proyek suka lama pembayarannya. Waktu kerja di pabrik mah jelas setiap bulan,” ucap Bambang kepada Alinea.id, Sabtu (21/9).

Sementara itu, Irfan, 29 tahun, memilih menjadi desainer grafis lepas usai mengundurkan diri dari perusahaan iklan. Namun, Irfan mengakui, meski nyaman secara waktu, menjadi desainer grafis freelance masih rapuh secara jaminan sosial dan perlindungan upah dan sistem kerja layak.

“Sering banget dapat klien yang dia bayarnya lama, terus melakukan sesuatu di luar perjanjian,” ucap Irfan, Sabtu (21/9).

Irfan sering diminta melakukan revisi di luar perjanjian yang ditentukan. Imbasnya, dia bekerja melebihi batas waktu. “Di awal sudah kita sepakati tiga kali revisi. Tapi sering ada klien minta lebih dari itu,” kata dia.

Bambang dan Irfan adalah contoh pekerja gig—orang yang bekerja dalam sistem ekonomi gig yang didominasi pekerjaan sementara, freelance, dan kontrak independen. Biasanya, pekerja gig bekerja berdasarkan proyek atau dengan jangka waktu tertentu.

Beberapa hari lalu, saat pembukaan Kongres Ikatan Sarjana Ekonomi Indonesia (ISEI) ke-XXII dan Seminar Nasional 2024 di Surakarta, Jawa Tengah, Presiden Joko Widodo atau Jokowi mewanti-wanti fenomena gig economy. Dia mendefinisikan sebagai ekonomi serabutan yang timbul seiring pesatnya kemajuan teknologi. Menurutnya, fenomena ini bisa menjadi ancaman bagi pekerja karena perusahaan berpotensi lebih senang merekrut pekerja lepas daripada pekerja tetap.

“Ini trennya kita lihat menuju ke sana (gig economy),” ujar Jokowi.

Kekhawatiran Jokowi itu dianggap ilusi palsu oleh Ketua Umum Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (Sindikasi) Ikhsan Raharjo. Sebab, semakin banyaknya pekerja gig belakangan ini, tidak lepas dari dampak buruk Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja.

“Aturan ini imbasnya membuat orang yang semula bekerja formal, mudah tergelincir ke sektor informal, ucap Ikhsan kepada Alinea.id, Sabtu (21/9).

“Selain itu, pemerintah juga gagal menciptakan lapangan kerja yang layak, sehingga angkatan kerja yang baru, kesulitan masuk dunia kerja.”

Maka, ekonomi gig yang semula dikondisikan sebagai pekerjaan sementara untuk warga yang mengalami PHK atau angkatan kerja baru yang butuh pijakan awal ke sektor formal, malah saat ini menjadi pekerjaan “permanen” kebanyakan orang.

“Ini kesalahan cukup fatal,” tutur Ikhsan.

Jumlah pekerja gig yang terus bertambah akibat pergeseran pekerja formal ke informal, yang diperburuk dengan kondisi kesenjangan antara pekerja formal dan pekerja gig, kata Ikhsan, tak bisa dibiarkan. Perlu peran pemerintah dan strategi dari pekerja gig untuk membentuk serikat pekerja. Tujuannya, menuntut hak jaminan sosial dan kejelasan mekanisme upah, serta kesehatan dan keselamatan kerja (K3).

“Kalau kita lihat lebih kuat, memang kesenjangannya begitu jauh antara kondisi kerja sektor formal dengan teman-teman di sektor gig. Ekonomi gig, jam kerja jauh lebih panjang, upah tidak ada kepastian, K3 enggak jelas, jaminan sosial enggak punya,” kata dia.

“Problem-problem yang intinya kondisi kerjanya jauh dari layak.”

Menurut Ikhsan, pemerintah bisa mencontoh Malaysia yang membentuk komisi pekerja gig atau gig worker’s commission, yang bertugas mengatur upah, jaminan sosial, dan mekanisme perundingan yang membekap antara pekerja gig dan platform.

“Jadi negara harus mulai mengintervensi. Pendekatannya harus bisa komprehensif,” ujar Ikhsan.

Tanpa serikat pekerja, kata dia, pekerja gig akan sulit menuntut hak bila tidak ada kekuatan kolektif jika melawan individu berpengaruh atau korporasi besar. Karakter pekerja gig yang mandiri juga perlu didukung regulasi untuk bisa membentuk serikat pekerja yang lebih longgar.

Sebab, syarat membentuk serikat pekerja yang tertuang dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2000 tentang Serikat Pekerja/Serikat Buruh minimal 10 orang. Sedangkan karakter pekerja gig adalah pekerja mandiri dan tak saling bekerja di tempat yang sama.

Ikhsan mengatakan, hasrat pekerja gig untuk berserikat cukup besar dan sudah banyak dicoba oleh pekerja gig di sektor transportasi daring seperti pengemudi ojek online. Namun, sering ditolak ketika didaftarkan ke dinas ketenagakerjaan.

“Karena dianggap itu bukan hubungan kerja dan seterusnya. Hambatan seperti itu ada. Negara belum menyediakan kanal yang tepat hari ini,” kata Ikhsan.

“Jadi saya pikir, yang jelas kita memerlukan sebuah lembaga yang bisa mengatur banyak hal tentang ekonomi gig ini. Itu perlu seperangkat peraturan dan lembaga yang bisa mengkoordinasikan itu semua.”

Sementara itu, peneliti di Pusat Riset Kependudukan Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) Andy Ahmad Zaelany menilai, sudah seharusnya pekerja gig membentuk serikat, dengan tetap mengacu pada syarat minimal 10 orang, seperti yang ditentukan dalam Undang-Undang Serikat Pekerja/Buruh. Alasannya, tantangan pekerja gig semakin pelik.

“Pentingnya membentuk serikat pekerja agar punya bargaining power, di antaranya dalam pembentukan tarif jasa mereka,” kata Andy, Sabtu (21/9).

“Setelah serikat pekerja terbentuk, maka dikembangkan pembentukan beberapa serikat pekerja menjadi federasi. Kemudian gabungan beberapa federasi menjadi konfederasi.”

Andy mengatakan, dengan cara membentuk serikat, pekerja gig akan memiliki kemampuan hukum lebih baik dalam meningkatkan kesejahteraan mereka. Selain itu, perlindungan yang lebih individual pada kasus-kasus tertentu bisa diperoleh dengan perjuangan organisasi.

Menurutnya, sebaiknya serikat pekerja gig mewadahi pekerja-pekerja dari kelompok sejenis agar bisa merancang tarif yang layak untuk jasa masing-masing profesi. “Misalnya kelompok ojek online, kelompok penyanyi dan musikus, kelompok wayang orang, dan lain-lain,” ujar dia.

“Contoh dari riset kami tentang buruh gendong Pasar Beringharjo, Yogyakarta pada 2019 (menemukan), dengan membentuk serikat pekerja, mereka bisa mengusulkan tarif layak buruh gendong yang disetujui oleh Pemda Yogyakarta.”

img
Kudus Purnomo Wahidin
Reporter
img
Fandy Hutari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan