close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi perbedaan pendapat. Foto Freepik.
icon caption
Ilustrasi perbedaan pendapat. Foto Freepik.
Bisnis
Jumat, 01 November 2024 18:54

Penyebab konflik saat pesta demokrasi

Jelang pemungutan suara pada 27 November 2024, suhu di tanah air kembali memanas.
swipe

Usai Pemilihan Umum 2024, masyarakat Indonesia kembali menyambut Pilkada Serentak 2024. Jelang pemungutan suara pada 27 November 2024, suhu kembali memanas dan tak jarang menimbulkan konflik di tengah masyarakat. 

Rektor Universitas Budi Luhur, Agus Setyo Budi menyebut konflik maupun gesekan yang terjadi dalam masyarakat dikarenakan ada perbedaan pendapat. Apalagi ketika pesta demokrasi dimulai, pihak satu dan lainnya kerap saling menyinggung. Politisasi agama juga menjadi hal yang sensitif.

Perbedaan pendapat terjadi karena pemahaman yang hampir nihil di antara setiap kelompok maupun penganut agama. Alhasil, kondisi pesta demokrasi yang seharusnya bisa menjadi momen belajar politik, malah membelah kesatuan di masyarakat.

“Fakta di lapangan adanya konflik gesekan di sana-sini apalagi Pilkada belum selesai yang notabene ada perbedaan pendapat sedikit saja akan menimbulkan huru-hara di sana-sini karena kita tidak saling memahami perbedaan pendapat,” kata Agus, belum lama ini.

Statistisi Ahli Madya Kementerian Agama, Rosidin Karidi menyampaikan, Indeks Kerukunan Umat Beragama tahun 2024 mencapai 76,47 yang disebut dalam kategori tinggi. Survei yang dilakukan pada bulan Maret hingga April ini melibatkan seluruh provinsi di Indonesia.

Namun di balik itu, kata Rosidin, ada sejumlah isu yang harus disikapi. Dalam empat tahun terakhir, seluruh indikator dalam Indeks Kerukunan Umat Beragama menunjukkan skor yang tinggi. Tapi, skor indikator toleransi relatif lebih rendah dibandingkan indikator kesetaraan dan indikator kerja sama. 

Lalu, indikator toleransi terkait pendirian rumah ibadah dengan umat berbeda agama sampai hari ini masih menjadi isu yang harus diperhatikan. Terpotret, masih berada di angka 69,41. Sementara, kontribusi dari umat beragama berbeda dalam pembangunan rumah ibadah sangat menambah nilai tersebut.

“Padahal kita tahu dalam survei itu ternyata kehadiran membangun rumah ibadah yang berbeda agama turut membentuk toleransi sampai angka 0,83. Orang statistik sangat tahu angka ini sangat memberikan peran dalam membangun toleransi. Artinya pemerintah, FKUB (Forum Kerukunan Umat Beragama), dan masyarakat harus menyelesakan isu ini karena memberikan peran yang luar biasa,” tuturnya.

Bahkan, kata Rosidin, toleransi ini juga sudah terlihat di perayaan hari keagamaan. Sudah puluhan hari keagamaan yang juga membangun toleransi. Pada tahun 2025 pemerintah sudah menetapkan 27 hari cuti dan libur bersama, empat di antaranya hari nasional dan sisanya hari keagamaan.

Menurutnya, hal ini menunjukan pemerintah ingin memberikan ruang untuk masyarakat agar merayakan hari keagaman masing-masing. “Termasuk saya bukan hanya merasakan liburnya, tapi juga diskon akhir tahun. Pada saat idulfitri semua orang boleh mudik,” ujarnya.

Terakhir, ia mengakui, belum ada keterbukaan diri memberikan hak kesetaran untuk menjadi pemimpin daerah, apalagi presiden. Padahal, dalam syarat untuk mencapai posisi tersebut tidak menyertakan agama tertentu. Sayangnya, dalam survei ditemukan angka untuk indikator kesetaraan menjadi kepala daerah berada di 69,07 dan presiden sebesar 65,55.

“Sampai saat ini memang benar kita masih belum bisa membuka diri hak kesetaraan untuk menjadi pemimpin daerah dan presiden, dalam survei kami angkanya masih relatif rendah,” ucapnya.

img
Immanuel Christian
Reporter
img
Satriani Ari Wulan
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan