Rencana pemerintah untuk menyederhanakan atau simplifikasi dan menggabungkan akumulasi batasan produksi sigaret kretek mesin (SKM) dan sigaret putih mesin (SPM) berpeluang menggerus penerimaan negara.
Peneliti Universitas Padjajaran (UNPAD) Bayu Kharisma mengatakan hasil kajian menunjukkan bahwa kebijakan cukai rokok dengan skema simplifikasi bakal berdampak terhadap penerimaan negara. Dari rencana itu, penjualan rokok turun lantaran harga jual yang mahal. Konsumen diyakini akan berpindah ke rokok lain yang lebih murah.
"Timbul potensi rokok ilegal masuk ke pasaran untuk mengisi rokok dengan harga yang lebih murah," kata Bayu, Jakarta, Selasa (8/11).
Simulasi memperlihatkan penjualan SKM golongan II layer 1 akan turun sebanyak 258.000 batang per bulan, sedangkan SKM golongan II layer 2 turun sebanyak 113.000 batang per-bulan.
Pada jenis rokok SPM, penggabungan menyebabkan penjualan SPM golongan II layer 1 turun sebanyak 2.533 juta batang dan SPM golongan II layer 2 turun sebanyak 1.593 juta batang.
Penggabungan SPM dan SKM juga akan berdampak ke berbagai aspek. Bagi pelaku industri golongan II layer 2, kenaikan tarif yang drastis akan mengancam kelangsungan usaha mereka. Lapangan pekerjaan terancam hilang karena banyak pabrik yang terpaksa gulung tikar.
"Pengurangan produksi SKM juga berdampak negatif pada pengurangan serapan tembakau lokal dan cengkeh. Saat ini, SKM golongan II menggunakan bahan baku lokal sebanyak 94%," jelasnya.
Dia menambahkan, berdasarkan data Bea dan Cukai, kandungan setiap rokok pada SKM golongan II menggunakan tembakau dalam negeri 72%, cengkeh 22%, dan tembakau impor 6%.
Pada 2018, data dari Kementerian Pertanian menunjukkan produksi tembakau lokal mencapai 171,36 ribu ton dan hampir seluruh produksi tembakau lokal terserap oleh industri tembakau dalam negeri.
Tak hanya itu, kebijakan simplikasi dan penggabungan itu juga berdampak ke dunia usaha. Langkah itu berpotensi mendorong oligopoli. Menurut Bayu, perusahaan yang terdampak oleh simplifikasi dan penggabungan terpaksa diakuisisi oleh perusahaan yang lebih besar.
"Bahkan, mungkin mengarah kepada monopoli, ketika hanya perusahaan golongan I saja yang tidak akan terdampak oleh perubahan, sementara perusahaan di golongan lainnya kesulitan dalam menyesuaikan. Akibatnya, perusahaan di golongan I menjadi pihak yang menguasai dan mengontrol pasar," imbuhnya.
Sementara itu, peneliti dari Universitas Padjajaran (UNPAD) lain, Satriya Wibawa menambahkan, jika melihat dampak Kompleks dari kebijakan itu, maka pemerintah perlu mencermati kembali. Satriya dan Bayu merekomendasikan untuk mempertahankan kebijakan struktur tarif cukai yang ada saat ini.
"Perubahan terhadap struktur saat ini hendaknya dilandasi pada kajian yang sangat matang, kajian menyeluruh dari berbagai sisi dan kepentingan. Terlebih, ketika menetapkan kebijakan yang berdampak pada jutaan orang dan aspek penerimaan negara," kata Satriya.