Kementerian Perindustrian (Kemenperin) memastikan hengkangnya PepsiCo dari Indonesia tidak akan memengaruhi industri makanan dan minuman (mamin)dalam negeri. Direktur Jenderal Industri Makanan dan Minuman Kemenperin Abdul Rochim mengungkapkan persoalan yang mengakibatkan Pepsi keluar dari Indonesia lebih terkait kerja sama dengan mitra Pepsi berupa pemutusan kontrak bisnis.
“Secara makro nasional tidak terlalu besar dampaknya,” kata Abdul Rochim dihubungi di Jakarta, Kamis (3/10).
Rochim memaparkan pangsa pasar Pepsi untuk jenis minuman ringan non alkohol atau Non Alcohol Ready to Drink (NARTD) di Indonesia tidak sebesar kompetitornya untuk produk sejenis.
“Jadi dipastikan keluarnya Pepsi Cola bukan karena iklim bisnis di dalam negeri yang tidak kondusif,” papar Rochim.
Lebih lanjut, Rochim mengatakan, data yang ada saat ini, secara keseluruhan menunjukkan pertumbuhan industri minuman masih positif.
Sektor industri minuman pada semester I-2019 tumbuh sebesar 22,74%. Sektor ini juga berkontribusi sebesar 2,01% terhadap industri pengolahan non migas dengan nilai investasi penanaman modal asing (PMA) sebesar US$68,72 juta dan investasi penanaman modal dalam negeri (PMDN) sebesar Rp1,43 triliun.
Sementara itu, realisasi investasi di sektor industri minuman pada semester I-2019 mencapai Rp1.429,74 miliar untuk PMDN dan US$68,72 juta untuk PMA.
“Khusus untuk pertumbuhan NARTD di Indonesia memang menurun, namun tidak terlalu besar (per Agustus 2019 sebesar -0,7%) karena penurunan penjualan terjadi di pasar tradisional, sedangkan untuk ritel dan pasar modern justru mengalami peningkatan,” papar Rochim.
Rochim menegaskan pemerintah akan tetap memfasilitasi masalah-masalah yang timbul, seperti pada Pepsi Cola, agar dapat dicarikan jalan keluarnya.
Kendati demikian, Rochim berharap merek tersebut dapat kembali ke pasar Indonesia untuk menambahkan variasi produk minuman ringan yang ada.
“Secara khusus saya akan mengundang Pepsi untuk mengetahui secara pasti permasalahannya dan apa bisa difasilitasi,” kata Rochim. (Ant)