Perang dagang Indonesia-Eropa, siapa yang untung?
Kabar tak sedap datang dari benua biru. Parlemen Uni Eropa memutuskan larangan penggunaan minyak kelapa sawit atawa crude palm oil (CPO) sebagai bahan bakar biodiesel pada tahun 2021. Pasalnya, perkebunan kelapa sawit dianggap momok bagi lingkungan. Alih-alih menekan emisi gas rumah kaca, penanaman kelapa sawit justru menyumbang polusi. Kemenangan kelompok pecinta lingkungan ini bisa menjadi pukulan telak bagi ekspor Indonesia. Maklum, Uni Eropa adalah negara tujuan ekspor terbesar kedua setelah India.
World Trade Atlas mencatat, total nilai ekspor CPO Indonesia sebesar US$18,51 miliar di tahun 2017. Nilai itu melonjak 28,87% ketimbang tahun sebelumnya yakni sebesar US$15,39 miliar. Negara terbesar tujuan ekspor masih didominasi oleh India dengan nilai pangsa pasar 26,44% dan 23,94% di tahun 2016 serta 2017. Disusul oleh Eropa dengan pangsa pasar sebesar 14% di periode waktu yang sama. Tempat ketiga adalah China dengan mencuil pangsa pasar sebesar 11% dalam kurun waktu dua tahun terakhir ini.
Kebijakan Parlemen Uni Eropa bisa menjadi bumerang bagi kinerja ekspor CPO. Sejak tahun 2007 hingga 2017, nilai ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa rata-rata tumbuh 15,22% per tahunnya. Dihitung secara nilai, Indonesia mengekspor CPO US$2,19 miliar rata-rata setiap tahunnya dalam kurun waktu 10 tahun terakhir. Tahun 2016, Indonesia mengirim CPO sebanyak US$ 2,05 miliar. Setahun berikutnya, nilai ekspor CPO ke Uni Eropa tercatat naik 29,05% menjadi US$2,64 miliar.
Di antara 28 negara Uni Eropa, nilai ekspor terbesar pada tahun lalu adalah Spanyol dengan perolehan US$920 juta atau naik 33,51% dari 2016 yakni US$689,07 juta. Sebelumnya, Belanda adalah pemimpin pasar untuk ekspor CPO Indonesia ke Uni Eropa. Namun, sejak tahun 2016, negara kincir angin tersebut berada di posisi kedua. Tahun lalu, Indonesia ekspor CPO ke Belanda mencapai US$773,62 juta. Disusul berikutnya oleh Italia dengan torehan nilai ekspor US$705,84 juta di periode yang sama.
Tak heran jika pemerintah Indonesia meradang dengan kebijakan Uni Eropa. Apabila larangan CPO untuk biodiesel dilaksanakan, akses pasar minyak sawit ke benua biru makin sempit. Apalagi, negara-negara seperti Spanyol dan Belanda sangat bergantung terhadap stok minyak sawit untuk pembuatan biodiesel. Dengan pelarangan ini, nilai impor dari kedua negara tersebut bakal terjun bebas.
Meski parlemen Uni Eropa menolak minyak sawit Indonesia, ekspor ke benua biru tak sepenuhnya hilang. Salah satu negara Eropa seperti Italia misalnya, berpeluang masih mengimpor minyak sawit. Sebab, minyak sawit tak hanya sekadar digunakan untuk biodiesel, melainkan campuran makanan dan kosmetik. Ambil contoh, cokelat buatan Italia seperti Nutella menggunakan campuran minyak sawit karena dianggap memiliki daya simpan lebih lama ketimbang minyak nabati lainnya. Total impor CPO Italia pada tahun 2017 lalu tercatat US$1,11 miliar atau naik 6,01% dari 2016 US$1,04 miliar. Secara rerata impor minyak sawit Italia tumbuh 16,92% dari tahun 2007 hingga 2017. Pangsa impor Indonesia sekitar 65,73%. Sisanya, Italia impor CPO dari Malaysia, Belanda, Kolombia, Honduras, Kosta Rika, Guatemala, dan lainnya.
Yang harus diwaspadai oleh pemerintah adalah bagaimana larangan penggunaan minyak sawit ini berpotensi menjalar ke sektor lain. Kendati Indonesia masih bisa mengekspor minyak sawit ke Eropa sebagai bahan campuran produk lain, kampanye hitam oleh kelompok pecinta lingkungan masih jalan terus. Bukan tidak mungkin jika mereka berhasil melobi parlemen Uni Eropa dan memberlakukan larangan minyak sawit untuk bahan makanan ataupun kosmetik. Jika ini terjadi, Indonesia berpotensi kehilangan pendapatan sebesar US$2 miliar dari ekspor CPO. Di sisi lain, pertumbuhan pasar ekspor CPO di India dan China belum bisa menggantikan pasar yang hilang dari Uni Eropa.
Risiko perang dagang dan perundingan CEPA
Merespons kebijakan parlemen Uni Eropa, Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita mengancam bakal melakukan hal serupa seperti menutup keran impor minuman beralkohol dan produk olahan susu asal Perancis.
Lalu, apakah ancaman ini memberikan posisi tawar yang tinggi untuk Indonesia?
Secara hitungan angka, langkah tersebut mampu membuat Perancis ketar-ketir. Pasalnya, nilai ekspor minuman beralkohol dan olahan susu ke Indonesia masih lebih tinggi ketimbang nilai impor minyak sawit Perancis. Nilai ekspor minyak sawit ke Perancis terhitung US$14,36 juta di tahun 2017. Sedangkan impor produk susu dan olahan susu serta minuman beralkohol masing-masing adalah US$111,34 juta dan US$3,32 pada tahun lalu. Artinya, Perancis harus siap-siap kehilangan ekspor sebesar US$114,66 juta setiap tahunnya.
Melihat selisih angka perdagangan ini, tentu saja Indonesia untung US$100,3 juta. Lalu, yang menjadi pekerjaan rumah dari Menteri Perdagangan selanjutnya adalah memastikan permintaan dalam negeri tercukupi. Alternatif lain adalah Indonesia bisa mencari pasar produk susu dan olahan susu lainnya dari negara selain Perancis seperti New Zealand dan Australia. Di sisi lain, sebagian besar produk susu dan olahan susu diimpor dari Eropa seperti Belgia, Belanda dan Jerman. Makanya, pemerintah harus berhati-hati. Jika suplai tidak mencukupi, harga produk di dalam negeri bakal menjulang tinggi. Hingga akhirnya, kenaikan inflasi tak mungkin dapat dihindari.
Selain risiko perang dagang, Perundingan Indonesia-European Union Comprehensive Economic Partnership Agreement (Indonesia-EU CEPA) yang telah memasuki babak ke-empat juga ikut terganggu. Bisa jadi target perundingan Indonesia-EU CEPA yang ditargetkan kelar tahun ini bakal molor. Kedua belah pihak bersikeras untuk memperjuangkan kepentingannya masing-masing.
Permasalahan yang semula bermula dari minyak sawit bisa menjalar ke produk lainnya. Ketika Indonesia melarang produk strategis Uni Eropa masuk ke pasar dalam negeri, bukan tak mungkin negara Uni Eropa lainnya juga bakal menerapkan hambatan impor untuk komoditas lainnya selain minyak sawit seperti alas kaki, karet, tekstil dan bahan kimia.
Bagaimanapun, Uni Eropa masuk dalam sepuluh besar negara tujuan ekspor terbesar. Tahun lalu, ekspor Indonesia ke Uni Eropa tercatat US$16,2 miliar atau terkerek 14,85% dari tahun 2016 sebesar US$14,47 miliar. Ekspor Indonesia ke Uni Eropa mulai pulih sejak tahun 2014. Alhasil, Indonesia mencatatkan surplus perdagangan sebesar US$5 miliar dengan Uni Eropa pada tahun lalu.
Pemerintah Indonesia harus benar-benar menghitung untung rugi jika ingin mengibarkan bendera perang dengan negara-negara Uni Eropa. Jika Indonesia ingin membalas pelarangan minyak sawit, harus berhati-hati memilih komoditas yang dihambat impornya serta konsekuensi yang diterima. Sebab, jika persoalan minyak sawit melebar, bukan berarti produk lainnya kehilangan akses pasar di negara-negara Uni Eropa. Terlebih, Indonesia harus bersaing dengan negara-negara lain seperti Vietnam dalam memperebutkan pasar Uni Eropa untuk produk tekstil. Padahal, industri tekstil di Indonesia berkontribusi penting terhadap pertumbuhan ekonomi terutama dalam menciptakan lapangan pekerjaan.