Perang e-commerce: Siapa tumbang, siapa menang?
Lutfia Kazimah (19 tahun) senang bukan kepalang saat skin care pesanannya sampai ke rumah. Dia bilang, skin care itu dibelinya langsung dari Korea dengan menggunakan jasa online shop.
Zizi, begitu ia disapa, membelinya sejak pertengahan Februari dan baru tiba setelah dua pekan penantian. Dia mengaku, selalu membeli kebutuhan perawatannya melalui online shop sejak mulai mengerti pentingnya kecantikan bagi wanita pada 2018 silam.
Menurut dia, membeli skin care melalui e-commerce jauh lebih mudah dan tidak ribet. Lagi pula, kualitas dan barangnya sama saja dengan yang ada di toko-toko retail offline (luar jaringan/luring).
“Lebih simple sih menurut aku. Lagian kenapa harus ke toko ‘kan kalau barangnya sama aja. Skin care ‘kan enggak kayak baju gitu yang harus disentuh,” ungkap Zizi saat ditemui reporter Alinea.id pekan lalu.
Selain produk kecantikan, mahisiswi jurusan komunikasi Universitas Padjajaran (Unpad), Bandung ini juga kerap membeli barang-barang fesyen melalui toko retail online (dalam jaringan/daring). Alasannya, lagi-lagi sangat sederhana; simpel dan tidak ribet.
“Ya daripada harus ke toko gitu, kadang suka mager (malas gerak), jadi mending beli online. Tapi yang dibeli juga bukan barang-barang yang mahal banget gitu loh. Yang murah-murah aja, yang kalau kira-kira barangnya jelek, kita enggak rugi-rugi amat,” kisahnya.
Pernyataan Zizi agaknya cukup mengafirmasi betapa kini banyak anak muda yang menjadikan toko online sebagai salah satu pilihan berbelanja mereka. Simpel dan tidak ribet menjadi dua kata kunci yang membuat e-commerce begitu digandrungi milenial dan Generesi Z.
Untuk itu, tak aneh jika kini e-commerce tumbuh sebagai salah satu lini bisnis yang cukup menggiurkan. E-commerce bahkan tercatat sebagai bisnis digital dengan pertumbuhan penjualan paling pesat tahun lalu.
Laporan Google, Temasek, dan Bain dalam e-Conomy SEA 2019 mencatat, nilai ekonomi e-commerce di Asia Tenggara tahun lalu berhasil melampaui travel online yang selama ini selalu menduduki posisi teratas dalam pangsa pasar ekonomi digital.
Sejak 2015, nilai penjualan e-commerce mampu melesat tujuh kali lipat dari US$5,5 miliar setara Rp77 triliun menjadi US$38 miliar setara Rp532 triliun pada 2019. Prediksinya, angka itu akan terus meningkat hingga menyentuh level $153 miliar setara Rp2,1 kuadriliun pada 2025, mengingat penetrasi internet yang bakal semakin gencar beberapa tahun mendatang.
Pemenang versus pecundang
Kendati demikian, di balik berkah pertumbuhan pasar e-commerce Asia Tenggara, rupanya ada beberapa sektor yang justru dirugikan. Tiga sektor yang paling terancam adalah elektronik, produk kecantikan, dan mode.
Menurut Ketua Asosiasi E-Commerce Indonesia (iDEA) Ignatius Untung, tiga sektor ini cukup rentan lantaran banyak konsumen produk tersebut yang kini mulai beralih ke pasar daring.
“Kalau kita lihat framework besarnya ya, barang-barang yang standar kualitasnya konsisten dan harganya enggak terlalu mahal. Elektronik dan gadget memenuhi kriteria itu. Kemudian yang menjadi tolok balik elektronik dan gadget adalah make up,” terang Ignatius saat berbincang dengan Alinea.id.
Sementara untuk sektor mode atau fesyen, kecenderungan konsumen membeli produk tersebut adalah lantaran keinginan yang impulsif. Produk-produk ini, sambung dia, mendapatkan penjualan tinggi di e-commerce karena karakternya yang unik dan menimbulkan hasrat ingin membeli.
“Karena online ini ‘kan kalau orang beli fashion ini banyak ‘lapar mata’. Makanya angka penjualan fashion di online tinggi,” tutur Ignatius.
Simak data produk terlaris pada hari Belanja Online Nasional 2018-2019 dari iPrice di sini.
Akan tetapi, tingkat suseptibilitas sektor ini tidaklah separah elektronik dan produk kecantikan. Sebab, konsitensi kualitas dari produk mode kerap berbeda pada setiap toko. Sebagian konsumen masih ingin melalui proses touch and feel sebelum membeli.
Sektor lain yang memiliki karakter nyaris serupa adalah otomotif. Akan tetapi, kata Ignatius, untuk sektor yang satu ini rerata konsumen hanya menjadikan e-commerce sebagai tempat pencarian atau memilah-milah.
Sedang untuk tahap akhir atau pembelian, konsumen lebih memilih datang ke lokasi diler supaya bisa merasakan pengalaman mengemudi terlebih dahulu. Harga yang cukup tinggi juga menjadi salah satu alasan mengapa konsumen cenderung membeli produk otomotif secara luring.
Untuk itu, Ignatius memprediksi bahwa diler otomotif akan menjadi salah satu sektor yang bakal cukup kuat untuk bertahan di tengah gencatan e-commerce. Selain itu, produk consumer goods juga diperkirakan tidak akan begitu terancam dengan adanya e-commerce.
“Jadi memang tidak semua produk bisa dibeli online. Masa kita mau beli kerupuk harus online, ‘kan enggak. Kayak otomotif gitu juga tidak terlalu terpengaruh. Walau ada pembeliannya, tapi tidak seberapa,” beber ia.
16 e-commerce tumbang
Di sisi lain, perkembangan e-commerce juga sejatinya dibarengi dengan persaingan yang semakin ketat. Bahkan—fakta yang sudah tidak mencengangkan lagi—hampir semua e-commerce saat ini masih dalam siklus ‘bakar uang’.
Artinya, sebagian besar e-commerce yang ada sekarang belum bisa mendapatkan laba. Sebagian besar dari mereka masih merangkak dan tertatih dalam mendaki persaingan pasar yang semakin terjal dan sulit dimenangkan.
Beberapa di antaranya bahkan harus tumbang dan berhenti beroperasi. Situs iPrice mencatat, ada setidaknya 16 e-commerce yang tumbang sejak medio 2000-an hingga sekarang.
Lima e-commerce gugur karena diakusisi pihak lain dan berganti nama, di antaranya Tokobagus, Kleora, Berniaga.com, Plasa.com, dan MatahariMall.com. Sementara 11 perusahaan lainnya tumbang karena sepenuhnya berhenti beroperasi.
Masih dari data yang sama, perusahaan e-commerce Indonesia yang telah tumbang ini punya rataan hidup selama empat tahun. Hanya ada beberapa saja yang mampu bertahan lebih dari itu, salah satunya Multiply yang mampu eksis sampai 10 tahun.
Begitu juga dengan Tokobagus yang dapat mempertahankan operasinya hingga sembilan tahun sebelum akhirnya dibeli OLX, sebuah perusahaan global yang berambisi memonopoli bisnis e-commerce jenis C2C (consumer to consumer).
Simak peta jumlah kunjungan e-commerce di Indonesia 2017-2019 dilansir iPrice di sini.
Sebanyak lima e-commerce tumbang pada 2015. Perusahaan-perusahaan itu antara lain, Valadoo, Paraplou, BeutyTreats, Lamido, dan Kleora. Gugurnya lima e-commerce ini ditengarai lantaran tipe produknya yang terlalu spesifik sehingga tidak mampu menemukan konsumen yang sesuai.
Lantas jika merujuk pada periode finansial perusahaan, sebagian besar e-commerce harus runtuh pada kuartal pertama buku keuangan (Januari-Maret). Tujuh perusahaan memutuskan berhenti beroperasi pada periode ini.
Perusahaan yang dimaksud yakni, Berniaga.com, Lolalola, Tokobagus, BeautyTreats, Lamido, Rakuten dan Qlapa. Mereka menutup operasinya lantaran tidak melihat potensi cerah dari bisnis yang digeluti.
Ignatius menyebut istilah tren tumbangnya e-commerce ini sebagai ajang ‘adu napas’. Mereka yang kuat dalam permodalan akan bertahan, sementara mereka yang tidak kuat akan mati dengan sendirinya.
“Kita tahulah bisnis ini ‘kan sebagian besar, hampir semua malah masih merah rapornya. Jadi, mau terus-terusan rapor merah, nombokin terus, atau udah deh kita lepas aja, atau kita ganti kategori apapun itu, akan masuk masanya itu,” ungkap dia.
Saat ini, sambung dia, persaingan e-commerce di Tanah Air mulai semakin mengerucut. Pemenangnya, sudah bisa ditebak. Mereka yang masuk tiga besar seperti Tokopedia, Shopee, dan Bukalapak akan menjadi e-commerce dengan daya tahan hidup paling panjang.
Sementara bagi mereka yang berada di bawah tiga besar hanya punya satu kesempatan untuk bisa mengambil alih pasar, yaitu saat ketiga e-commerce dengan jumlah pengunjung terbanyak itu mulai mengerem bujet promosinya.
“Nah, ketika dikurangi, itu kesempatan bagi yang kecil-kecil untuk ngegas, kalau masih punya napas. Tapi sementara ini, masanya semua masih berhitung ulang,” lanjut pria yang khas dengan kepala pelontosnya itu.
Tantangan dan Pajak
Belum lagi, kini e-commerce juga harus menghadapi sejumlah tantangan yang masih akan terus menghantui hingga tahun-tahun mendatang. Tantangan yang paling mencemaskan adalah terlambatnya pendidikan di Tanah Air memenuhi kebutuhan tenaga kerja yang relevan dengan kemajuan teknologi.
Hal demikian itu sudah barang tentu bakal menyulitkan e-commerce untuk mendapatkan tenaga kerja dengan kompetensi spesifik yang dibutuhkan e-commerce. Beberapa posisi yang sulit dicari, kata Ignatius, adalah digital marketer dan produk manajer.
“Kampus harus bisa ngejar. Kalau enggak bisa ngejar ya masalah buat semuanya. Kita sekarang sudah ngomongin personalitation, blockchain, dan belum lagi ngomongin big data,” terang dia.
Selain kebutuhan tenaga kerja, e-commerce juga harus dihadapkan dengan beberapa regulasi pemerintah yang sedikit menyulitkan. Kesulitan utama ada pada persyaratan untuk mendirikan e-commerce, di mana saat ini semua perusahaan e-commerce harus terdaftar di Kementerian Perdagangan.
Aturan tersebut merujuk pada Peraturan Pemerintah (PP) nomor 80 tahun 2019 tentang Perdagangan Melalui Sistem Elektronik. Dalam beleid ini dijelaskan, semua pedagang termasuk usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) yang melakukan penjualan secara daring harus terdaftar dan tercatat oleh negara.
“Sebenarnya dukungan pemerintah sudah bagus. Tapi untuk yang satu ini mungkin agak subjektif. Semua harus terdaftar. Saya pikir, kalaupun harus terdaftar, mungkin harus proporsional. Jangan disamakan antara e-commerce yang besar dengan yang kecil,” katanya.
Di samping itu, tantangan lainnya adalah minimnya ketersediaan logistik di Tanah Air sehingga e-commerce kerap mengimpor barang dari luar negeri. Sementara untuk mengimpor barang dari luar, e-commerce harus membayar bea masuk dan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) yang nilainya tidak kecil.
Berdasarkan peraturan terbaru ambang batas (threshold) barang impor yang ditetapkan Direktorat Jenderal Bea Cukai dan Kementerian Keuangan, semua barang impor dengan harga di atas Rp45.000 dikenakan bea masuk sebesar 7,5% dan PPN 10%.
“Biaya-biaya itu ‘kan lumayan. E-commerce bisa serba salah. Kalau dibebankan kepada konsumen, produknya bisa enggak laku. Kalau diambil sendiri pasti menjadi beban perusahaan juga,” kata dia.
Sementara menurut Direktur Penyuluhan, Pelayanan, dan Hubungan Masyarakat Dirjen Pajak (DJP) Kementerian Keuangan Hestu Yoga Saksama, besaran PPN dan bea masuk untuk barang impor e-commerce justru masih belum memberikan kontribusi maksimal bagi pendapatan pajak negara.
Justru itu, kata Yoga, pemerintah kini sedang berupaya mengebut pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Omnibus Law perpajakan agar bisa mendapatkan pajak lebih dari e-commerce. Sebab, menurut dia, hingga saat ini masih banyak e-commerce yang belum taat terhadap pajak, khususnya yang berada di luar negeri.
Omnibus law perpajakan ini nantinya akan mengatur subjek pajak luar negeri (SPLN) secara lebih detail. Bagi e-commerce di luar negeri yang menjual barang tidak berwujud atau jasa nantinya bakal dikenakan Pajak Penghasilan (PPH) dengan adanya peraturan baru tersebut.
Adapun peraturan yang bakal dikoreksi nantinya adalah pasal 7 PP Nomor 80 Tahun 2019. Dalam beleid tersebut dijelaskan, penyedia layanan transaksi elektronik dari luar negeri yang memenuhi syarat significant economic presence (SEP) wajib menunjuk perwakilannya di Indonesia untuk menyetor PPN kepada negara.
Namun pada realisasinya, pajak dari SPLN ini kerap tidak berjalan dengan baik lantaran masih mewajibkan adanya kehadiran fisik atau Bentuk Usaha Tetap (BUT) bagi e-commerce yang beroperasi di Indonesia.
Banyak e-commerce jasa yang mangkir dari kewajiban pajaknya sehingga malah merugikan konsumen. Konsumen dipaksa membayar 10% PPN setiap kali melakukan transaksi barang tidak berwujud, semisal film atau sejenisnya.
“Secara realitas, itu enggak berjalan. Akhirnya dikenakan justru ke konsumen. Nanti melalui Omnibus Law, kita bisa kejar. Syarat BUT itu tidak berdasarkan lagi kehadiran fisik, tapi kehadiran ekonominya,” jelas Yoga.
Sebelumnya, pemerintah juga sudah mengenakan pajak bagi e-commerce dengan besaran yang variatif tergantung omzet. Bagi e-commerce yang memiliki omzet lebih dari Rp4,8 miliar per tahun bakal dikenakan PPN 10% dan PPH 0,5%.
Sementara bagi yang beromzet di bawah itu akan dikenakan PPH 0,5%. Nilai 0,5% ini berlaku untuk semua e-commerce, termasuk UMKM yang menjual produknya melalui platform online.
“Misalnya dia UMKM, dia mau buka toko, yang apa namanya seperti Bukalapak atau Tokopedia, dia harus menyetor PPH 0,5% itu. Kalau omzetnya di atas Rp4,8 miliar setahun itu harus menjadi PKP (Pengusaha Kena Pajak) dipungut PPN,” pungkas Yoga.
Bersambung ke artikel berjudul "E-commerce: Taipan bertaruh cuan di toko online."