close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
icon caption
Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
Bisnis
Rabu, 10 Agustus 2022 08:05

Perang OTT adu konten orisinal demi berebut kue di tanah air

Platform streaming asing ramai-ramai garap konten lokal di tanah air sebagai pasar terbesar di Asia Tenggara
swipe

Bertarikh 1 Agustus 2022, perusahaan teknologi yang berfokus pada e-commerce, komputasi awan, streaming digital, dan kecerdasan buatan Amazon.com, Inc resmi membawa layanan streaming digitalnya Amazon Prime Video ke Indonesia. Tidak hanya mengusung konten khasnya yang berupa film bergenre action, film internasional, hingga film orisinal milik Amazon, perusahaan yang berbasis di Amerika Serikat ini juga bermaksud untuk menggarap konten lokal.

Keseriusan Amazon dalam menggarap pasar Indonesia terlihat dari adanya konten lisensi lokal seperti 'Kuntilanak' pada 10 Oktober, 'Perfect Strangers' yang akan tayang pada 17 Oktober mendatang dan 'Ashiap Man' pada 14 November. Nantinya, Amazon Prime Video juga bakal memiliki konten orisinal lokal yang bertajuk 'Comedy Island: Indonesia' yang diproduksi oleh Base Entertainment dan ditargetkan tayang tahun depan.

Di saat yang sama, Amazon Prime juga tengah menyiapkan konten lokal orisinal lain yang digarap bersama sutradara kondang Joko Anwar dan rumah produksi Come & See Pictures berjudul ‘Siege at Thorn High’, serta konten bernama ‘4 Seasons in Java’ yang naskahnya ditulis oleh Kamila Andini dan diproduksi oleh Four Colour Films.

“Kami berkomitmen pada industri TV dan film lokal dan percaya dalam bekerja sama dengan para talenta yang kreatif dan inovatif di kawasan ini untuk menghadirkan pencitraan yang terbaik, sangat otentik, dan lokal bagi pengguna kami,” kata Head of Asia Pacific Originals Prime Video Ekika North dalam pernyataannya kepada Alinea.id, Senin (1/8) lalu.

Berbekal berbagai persiapan tersebut, Amazon Prime pun kini siap meramaikan industri video on demand (VoD) Indonesia yang sudah semarak. Niat platform asing ini dalam meraup potensi besar pasar layanan over-the-top (OTT) video streaming lokal juga diseriusi dengan menawarkan iming-iming promo. Misalnya, diskon harga berlangganan sebesar Rp59.000 per bulan sejak 1 Agustus hingga 31 Desember, yang diberikan dalam rangka ‘peluncuran perdana’.

Ilustrasi Unsplash.com.

Perlu diketahui, layanan OTT merupakan layanan dengan konten berupa data, informasi, atau multimedia yang berjalan melalui jaringan internet. Istilah ini paling identik dengan layanan video on demand (VoD) atau streaming video on demand  (SVoD) yang menawarkan akses konten film dan televisi produksi pihak lain maupun konten film atau serial orisinal produksi khusus layanan tersebut. 

Netflix, iFlix, Vidio, Disney+, VIU, RCTI+, VISION+, Transvision, WeTV, iQIYI, Apple TV+, Amazon Prime Video, dan masih banyak lainnya adalah beberapa platform SVoD yang sampai saat ini masih bersaing ketat untuk meraup besarnya potensi industri OTT nasional.

Alasan menggunakan layanan Video on Demand (VoD)

Dapat menonton kapanpun 84%
Pilihan film yang lebih beragam 77%
Mencari hiburan 74%
Update film terbaru 68%
Mudah digunakan 63%
Tidak terganggu iklan 57%
Biaya subskripsi tidak membebani 47%
Masih khawatir untuk pergi ke bioskop 13%

Sumber: Laporan Indonesian Video Entertainment on Demand Consumption oleh Populix

Gara-gara pandemi

Menteri Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Menparekraf) Sandiaga Uno dalam sambutannya secara daring pada acara Showcascene 2022 mengatakan, kini industri film Indonesia tengah mengalami persaingan ketat. Hal ini berkat melonjaknya pengguna layanan OTT selama pandemi.

Bagaimana tidak, selama pagebluk, saat aktivitas masyarakat harus dibatasi dan banyak pula yang masih belum berani mengunjungi bioskop, stadion, hingga tempat konser. Layanan OTT menjadi jawaban bagi mereka yang tetap ingin menonton film kesayangan, tayangan olahraga favorit, hingga konser idolanya. 

“Tingkat mobile connection kita mencapai 125,6% dan aktivitas menonton film atau serial sekarang dilakukan pada device dan smartphone kita maupun pada tab, dan televisi konvensional hanya merupakan salah satu opsional,” kata Sandiaga, Selasa (26/7) lalu.

Dengan kondisi ini, tidak heran jika dari data yang diperoleh Kepala Badan Pariwisata dan Ekonomi Kreatif (Kabarekraf) ini, ada sekitar 48% penduduk kota di Indonesia telah berlangganan layanan OTT. Dari jumlah tersebut, 57% di antaranya mengatakan bahwa mereka lebih banyak melakukan streaming OTT selama pandemi.

Sementara itu, berdasar laporan The Trade Desk dan Kantar bertajuk Future of TV, 1 dari 3 orang Indonesia menonton konten melalui OTT. Di mana total pengguna OTT mencapai 83 juta konsumen dan waktu 3,5 miliar jam setiap bulan atau rata-rata 41,4 jam per bulan tiap penonton. Adapun pertumbuhan bisnis OTT mencapai 40% secara tahunan (year on year/yoy).

“Ini juga menjadikan konsumsi OTT Indonesia terbesar di Asia Tenggara,” ujar Pengamat Teknologi Heru Sutadi, kepada Alinea.id, Jumat (5/8).

Di balik kinerja positif industri OTT lokal, ada kinerja SVoD yang ikut mencatatkan pertumbuhan. Dalam laporan kuartalannya, Media Partners Asia (MPA) mengungkapkan bahwa Indonesia mencatatkan jumlah pelanggan SVoD tertinggi, dari lima negara dengan ekonomi terbesar di Asia Tenggara (Vietnam, Indonesia, Thailand, Filipina, dan Malaysia).

Adapun pertumbuhan pelanggan SVoD Indonesia mencapai 17,4 juta orang pada akhir kuartal-I 2022. Sedangkan total pelanggan SVoD di Asia Tenggara bertambah 2,8 juta pada kuartal awal tahun ini, menjadi sebanyak 39,5 juta pelanggan.

Ilustrasi Pixabay.com.

“Indonesia menjadi arena kompetisi dan tempat bagi para pemain SVoD untuk meningkatkan skala bisnis mereka. Para pemain lama juga berusaha menonjolkan merek, konten, pemasaran, hingga bundling (paket-paket konten-red) untuk mempengaruhi waktu dan pembagian dompet,” kata Analis MPA Dhivya T, dalam keterangannya kepada Alinea.id, Minggu (7/8).

Adapun untuk platform paling dominan pada kuartal-I kemarin adalah platform SVoD lokal Vidio dan Disney+ Hotstar, yang kemudian disusul oleh WeTV, Netflix dan Viu. Dhivya bilang, pertumbuhan dua platform tersebut disumbang oleh pangsa pelanggan premium mereka, yang masing-masing mencatatkan porsi sebanyak 28% dan 15% dari kuartal-IV 2021 yang sebesar 19% dan 10%.

Selain itu, pertumbuhan Vidio dan Disney+ disebabkan pula oleh larisnya serial-serial anyar mereka, konten orisinil, popularitas drama Korea pada platform Disney+, dan tayangan olahraga pada platform Vidio. Sebaliknya, pelanggan WeTV, Netflix dan Viu justru mengalami kontraksi pada periode yang sama.

“Kami berharap persaingan video premium akan meningkat akhir tahun ini dengan adanya pendatang seperti Amazon Prime Video dan pemain lama yang terus berinvestasi dalam konten lokal, kemitraan, pemasaran, dan branding untuk memenangkan pelanggan,” imbuhnya.

Aplikasi Video on Demand (VoD) paling laris di Indonesia:

Netflix 69%
Disney+ 62%
Youtube 52%
VIU 36%
Vidio 25%
WeTV 24%
HBO GO 15%
Iflix 15%
iQIYI 13%
Goplay 12%
MolaTV  12%
Prime Video 8%

Sumber: Survei Populix.

Terlepas dari itu, kinerja Disney+ Hotstar dan Vidio memang terbilang paling ciamik dibandingkan belasan platform VoD lain yang ada di tanah air. Disney+ misalnya, yang pada kuartal-I kemarin mencatatkan kenaikan pelanggan baru sebesar 22% atau sebanyak 7,9 juta. Hal ini terungkap melalui laporan keuangan Walt Disney untuk periode tiga bulan pertama 2022 ini.

Dus, sampai sekarang Disney+ telah memiliki sebanyak 44,4 juta pelanggan di Amerika dan 43,2 juta pelanggan internasional. Dari jumlah tersebut, 5 juta pelanggan diantaranya dikabarkan berasal dari Indonesia. Angka ini sekitar 28% dari total 17,4 juta orang Indonesia yang berlangganan SVoD.

“Disney+ menawarkan berbagai konten original dan K-Drama (Drama Korea-red) original yang tidak tersedia di platform lainnya,” imbuh Dhivya.

Setelah 100 tahun lebih berada di dunia hiburan, Disney jelas punya pengalaman dan juga koleksi film orisinal lebih banyak dari para pesaingnya. Belum lagi, aksi akuisisi Marvel pada 2009 lalu juga praktis menambah koleksi film rumah produksi itu baik yang ditayangkan maupun tidak ditayangkan di bioskop. 

Kini, ketika drama dan series Korea menjadi sangat populer di dunia, Disney pun tidak ingin ketinggalan untuk ikut menggarap hiburan dari negeri gingseng itu. “Kemudian, Disney+ juga sudah dikenal dengan biaya berlangganannya yang murah,” kata Pengamat Teknologi Heru Sutadi dalam kesempatan terpisah.

Dari dalam negeri, Vidio dot com alias Vidio mulai mencatatkan kinerja apik sejak diakuisisi oleh PT Surya Citra Media Tbk (SCMA) pada 2019 lalu. Perkembangan Vidio sebagai penyedia layanan streaming on demand juga dapat dilihat dari suntikan dana oleh salah satu private equity terbesar di Asia Affinity Equity Partners pada 1 November 2021.

Saat itu, Vidio mendapatkan suntikan modal sebesar US$150 juta. Dengan adanya tambahan modal tersebut, aset anak usaha PT Elang Mahkota Teknologi Tbk. (EMTK) ini menjadi sebesar Rp2,4 triliun.

Frekuensi penggunaan aplikasi VoD

Setiap hari 36%
>5X per Minggu 13%
4-5X per Minggu 15%
2-3X per Minggu 25%
1X per Minggu 6%
Setiap 2 Minggu sekali 1%
1x per Bulan 4%

idak berhenti di situ, pada Juni kemarin Vidio kembali mendapatkan tambahan dana dari Grab Inc, perusahaan gabungan antara Pt Ekonomi Baru Investasi Teknologi dan Grab LA Pte. Ltd. sebesar US$45 juta. Dengan serangkaian aksi penyertaan modal tersebut, valuasi Vidio pun menggelembung menjadi sebesar US$945 juta. Pengguna aktif bulanan atau monthly active users (MAU) layanan video streaming ini mencapai 3,15 juta pengguna hingga semester-I 2022, serta total unduhan lebih dari 62,4 juta kali.

Kinerja apik itu tidak lantas membuat Vidio berpuas diri. Platform yang khas dengan tayangan streaming olahraganya ini menargetkan pertumbuhan 2 kali lipat pelanggan berbayar dan 2 kali lipat pendapatan hingga akhir tahun ini. 

“Di akhir kuartal-IV 2021 Vidio mengalami peningkatan jumlah MAU sebanyak 62 juta pelanggan, 2,3 juta di antaranya adalah pengguna berbayar. Kemudian, Vidio juga menutup Q1 2022 dengan pertumbuhan pelanggan berbayar 1,9 kali dibanding tahun 2021,” ungkap Managing Director Vidio Monika Rudijono kepada Alinea.id, beberapa waktu lalu.

Meski menargetkan pertumbuhan pada segmen pelanggan berbayar, Vidio tidak sepenuhnya mengandalkan model bisnis ini. Sebab, banyak dari pelanggan Vidio yang lebih memilih untuk menikmati konten gratis.

Ilustrasi Pixabay.com.

Dengan konten gratis ini, penonton akan disuguhkan dengan iklan layaknya di televisi konvensional. Iklan ini lah yang juga menjadi salah satu sumber pemasukan bagi Vidio.

Konten orisinal

Selain konten gratis dan sisipan iklan, strategi lain untuk menggenjot kinerja perusahaan adalah degan melahirkan konten-konten orisinal. Ada tiga konten yang menjadi fokus utama garapan Vidio, yakni live streaming, olahraga dan serial atau film orisinal.

“Di luar konten, strategi lainnya juga termasuk kerja sama dengan operator telekomunikasi, seperti Vidio yang ditempatkan sebagai layanan add-on untuk pelanggan operator telekomunikasi itu,” kata VP Marketing Vidio Rezki Yanuar dalam kesempatan terpisah.

Pemain streaming on demand lokal lain yang layak diperhitungkan keberadaannya adalah MNC Vision, layanan milik PT MNC Sky Vision Tbk (MSKY). Meski belum mampu menyaingi Vidio, platfom milik Grup MNC ini telah memiliki total 1,6 juta pelanggan sampai akhir 2021, bertambah 100.000 pelanggan dibandingkan tahun sebelumnya.

“Penambahan jumlah pelanggan ini didorong oleh kehadiran konten-konten olahraga dan hiburan anyar di MNC Vision,” kata Direktur Utama MSKY Hari Susanto, kepada Alinea.id, Senin (18/7).

Sementara itu, Hari tak menampik, saat ini menjaring pelanggan menjadi tantangan tersendiri bagi MSKY di tengah semakin ketatnya persaingan layanan OTT. Oleh karenanya, dia pun berusaha mendapatkan porsi kue OTT melalui kerja sama dengan rekan segrupnya MNC+.

“Yang kami lakukan adalah dengan menyajikan konten dan kualitas tayangan bagus melalui kerja sama dengan afiliasi kami Vision+. Sehingga nantinya pelanggan MNC Vision bisa menikmati layanan kami dari mana saja,” jelas dia.

Saat ini, kolaborasi hingga konsolidasi menjadi langkah penting bagi pemain streaming on demand untuk mendapatkan kue pertumbuhan VoD di Indonesia. Sebab, dengan mulai normalnya kembali mobilitas masyarakat pascapandemi, banyak masyarakat yang mulai kembali memilih bioskop sebagai sarana hiburannya dalam menikmati film-film terbaru.

“Netflix adalah salah satu contoh pemain yang kehadirannya tergerus di Indonesia. Dengan dia tidak melakukan konsolidasi dan kurangnya film-film baru atau saat ini terlalu banyak series yang panjang, jadi ini membuat masyarakat bosan. Makanya, perlahan-lahan dia mulai ditinggalkan,” ujar Heru Sutadi yang juga Direktur Eksekutif ICT Institute ini.

Dengan konsolidasi antar pemain streaming on demand, dia menilai, konten hiburan yang dapat dihadirkan oleh platform VoD gabungan tersebut akan semakin lengkap. Tidak hanya itu, konsolidasi juga diharapkan dapat memberikan harga terbaik bagi pelanggan.
Dalam hal ini adalah harga untuk berlangganan paling murah dengan layanan cukup lengkap.

“Karena saat ini kondisi ekonomi baik di dunia atau di Indonesia juga sedang tidak pasti, pelanggan akan semakin selektif dalam memilih platform streaming on demand. Mana yang lebih murah, itu yang dipilih,” imbuhnya.

Hal ini pun diamini oleh Direktur Eksekutif MPA Vivek Couto. Dia memperkirakan, pertumbuhan pelanggan pascapandemi akan berjalan moderat. Hal ini tak lain disebabkan oleh invasi Rusia kepada Ukraina, sehingga mengakibatkan lambannya pertumbuhan ekonomi di dunia.

Di saat yang sama, inflasi tinggi akibat kenaikan berbagai harga komoditas, baik tambang maupun pangan pun mempengaruhi konsumsi hiburan pelanggan, karena mereka akan cenderung mengetatkan dompetnya.

“Keterjangkauan harga, konten baru, kemudahan akses melalui paket telekomunikasi dan ritel menjadi kunci pertumbuhan pelanggan streaming on demand,” katanya.

Ilustrasi Alinea.id/Debbie Alyuwandira.
 

img
Qonita Azzahra
Reporter
img
Kartika Runiasari
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan