Perang Rusia-Ukraina dan ancaman kenaikan harga BBM
Genap lima hari sudah, perang antara Rusia dan Ukraina berlangsung. Berawal dari pengumuman mendadak Presiden Rusia Vladimir Putin pada Senin (21/2) lalu, terkait pembebasan wilayah dan kemerdekaan Donetsk dan Luhansk, dua wilayah di Ukraina Timur yang kontra dengan pemerintahan Ukraina.
Setelahnya, dengan alasan ‘menjaga perdamaian’, Putin lantas mengirim pasukan ke Ukraina. Operasi militer di negara bekas pecahan Uni Soviet itu langsung terlaksana. Ledakan terdengar di sejumlah wilayah di Ukraina, termasuk Kyiv, Odessa, Kharkiv, dan Mariupol. Hingga saat ini, konflik yang berujung invasi tersebut masih berlangsung.
Kabar teranyar, Kremlin Moskwa telah memutuskan untuk menyiagakan pasukan nuklir mereka. Keputusan ini diambil usai pasukan Ukraina yang menjaga pertahanan kota terbesar di kedua wilayah itu, Kharkiv, akan membalas serangan pasukan rusia.
Sementara itu, Minggu (27/2) kemarin, Presiden Ukrania Volodymyr Zelensky mengungkapkan, pihaknya siap berunding dengan Moskow, di perbatasan antara Ukrania dan Belarus, Senin (28/2).
"Para politisi telah sepakat bahwa delegasi Ukraina akan bertemu dengan delegasi Rusia tanpa prasyarat di perbatasan Ukraina-Belarusia, dekat Sungai Pripyat," kata kantor Kepresidenan Ukraina, mengutip CNN.
Buntut dari serangan Rusia tersebut, hingga Sabtu (26/2), Kementerian Kesehatan Ukraina mencatat, setidaknya ada 1.115 orang luka-luka, 33 korban di antaranya adalah anak-anak. Selain itu, 198 orang tewas, dengan tiga di antaranya anak-anak. Ukraina juga mengklaim telah menjatuhkan 3.500 tentara Rusia.
Selain jatuhnya korban jiwa dan luka-luka, invasi Rusia ke Ukraina dan Ukraina juga bisa berdampak pada perekonomian global, termasuk Indonesia. Bahkan, pada hari pertama serangan berlangsung, pasar keuangan dunia kompak memberikan respon negatif.
Hal ini terlihat dari indeks harga saham Amerika Serikat (AS), Dow Jones Industrial Average (DJI) yang ditutup melemah pada perdagangan Kamis (24/2), yakni di level 33.131,76 atau turun 1,38%. Sementara indeks S&P 500 anjlok 1,84%, menjadi 4.225,50 dan Nasdaq terperosok 2,57% menjadi 13.037,49.
Mengikuti bursa saham Amerika, bursa saham Asia pun nampak memerah. Indeks pasar saham Jepang, Nikkei 225 turun 1,81% menjadi 25.970,82. Indeks saham gabungan Korea, Kospi terjun 2,60% ke 2.648,80. Kemudian indeks Hang Seng Composite, Hongkong minus 3,61% menjadi 22.901.
Indeks Straits Times Singapura pun mengalami pelemahan hingga 3,57% ke posisi 3.271,97. Adapun untuk Indonesia, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) pada hari itu ditutup pada level 6.817, turun 1,48%.
Namun demikian, bursa saham Eropa ditutup bervariasi. Dengan indeks FTSE di Inggris justru menguat 0,05%. Sedangkan indeks CAC 40 di Prancis dan DAX Jerman kompak melemah, dengan penurunan masing-masing 0,10% dan 0,42%.
Berbanding terbalik dengan kondisi bursa saham, harga komoditas dunia justru mengalami lonjakan, usai Putin mendeklarasikan serangan. Mengutip Bloomberg, pada pukul 15.30 WIB, harga gas alam berada di level US$4,86 per mmbtu (million british thermal units) atau naik 11,03% dalam tiga hari terakhir.
Sementara harga minyak jenis West Texas Intermediate (WTI) kontrak pengiriman April berada di level US$97,11 per barel, melonjak 7,65% dalam tiga hari terakhir. Sedangkan batu bara kontrak pengiriman April di ICE Newcastle, tercatat menguat hingga 14,26% dalam tiga hari terakhir, menjadi US$212,10 per ton.
Di sisi lain, pasar keuangan yang tidak pasti imbas ketegangan Rusia-Ukraina, praktis membuat harga emas spot ikut mengalami kenaikan hingga 2,37% dan mencapai level US$1.942,58 per ons. Kenaikan ini lantaran banyak investor menjadikan komoditas ini sebagai lindung nilai, beralih dari aset-aset berisiko seperti saham.
Di saat yang sama, kenaikan harga emas juga diilhami dari spekulasi para pelaku pasar, bahwa kemungkinan bank sentral AS, The Fed tidak akan menaikkan suku bunga terlalu agresif, pada Maret mendatang.
“Kalau perang terus berlangsung, harga emas bisa mencapai US$2.000 per ons, di awal Maret nanti,” ungkap Direktur Utama PT TRFX Garuda Berjangka Ibrahim Assuabi, kepada Alinea.id, Senin (28/2).
Adapun untuk komoditas lain, khususnya energi dan tambang, Ibrahim memperkirakan kenaikan harganya juga masih akan terus berlangsung. Namun, pihaknya tidak mengetahui akan sampai ke level berapa lonjakan harga komoditas tersebut dan sampai kapan kenaikan akan terjadi. Padahal, saat ini kenaikan harga komoditas sudah sangat tinggi dan tidak lagi wajar.
“Karena ini situasi politik. Kemarin Putin mengatakan kalau perang hanya akan berlangsung selama lima hari, tapi nyatanya sampai hari ini belum selesai,” imbuh dia.
Ganggu pemulihan ekonomi global
Jika konflik terus berlangsung, pihaknya khawatir harga komoditas akan semakin melambung. Hal ini akan diperparah dengan banyaknya sanksi ekonomi dan embargo alias larangan lalu lintas barang dari negara-negara di dunia terhadap Rusia. Belum lagi kondisi rantai pasok barang yang belum sepenuhnya pulih karena pandemi Covid-19.
Hal ini kian diperparah dengan posisi Rusia sebagai salah satu penghasil minyak mentah dan gas alam utama di dunia. Plus, Moskow merupakan ibu kota Rusia penghasil nikel terbesar ketiga di dunia.
Bahan nikel ini menjadi bahan baku baterai lithium-ion dan menyediakan 40% paladium yang digunakan dalam catalytic converter. Selain juga produsen kalium karbonat (potash) yang merupakan bahan baku pupuk dan alumunium.
Dari sisi pertanian, baik Rusia maupun Ukraina juga merupakan salah satu negara produsen gandum terbesar di dunia. Bahkan, menurut catatan UN Comtrade, pada 2020 Ukraina memasok sekitar 23,51% gandum ke Indonesia.
Peneliti Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), Eisha M. Rachbini menilai jika konflik ini berkepanjangan maka akan ada dampak terhadap rantai pasokan global.
"Suplai komoditas akan terganggu, logistik pengiriman terhambat kalau infrastruktur utama, seperti Pelabuhan di area Black Sea rusak akibat perang,” ungkap , kepada Alinea.id, Minggu (27/2).
Sedangkan dari pasar keuangan, dampak diperkirakan tidak akan terlalu besar. Meskipun, Amerika Serikat telah menjatuhkan sanksi terhadap pemain pasar keuangan dan perusahaan-perusahaan teknologi Moskow. Sebab, kemungkinan Rusia masih bisa mendapatkan bantuan pendanaan dan perdagangan dari Cina.
Dengan berbagai dampak yang muncul tersebut, Eisha menilai, pada akhirnya konflik antara Rusia dan Ukraina akan berdampak pada pemulihan ekonomi global, terutama negara-negara emerging market dan berkembang seperti Indonesia. Sebab, kenaikan harga berbagai komoditas, sudah pasti akan terjadi di Indonesia pula. Seperti kenaikan harga minyak mentah yang menurutnya bisa mencapai lebih dari US$100 per barel, misalnya.
“Ini jelas akan berpengaruh ke harga energi dan subsidi. Kemungkinan BBM (bahan bakar minyak) dapat mengalami kenaikan harga,” jelasnya.
Agar tidak mengalami kenaikan terlalu tajam, pemerintah pun harus menyesuaikan subsidi yang diberikan pada komoditas ini. Jika hal ini terjadi, praktis beban berat Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) akan semakin bertambah.
“Tapi kita belum tahu, akan seberapa besar tekanan yang harus diterima APBN karena beban subsidi ini,” kata Ekonom Makroekonomi dan Pasar Keuangan Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat (LPEM) Universitas Indonesia (UI) Teuku Riefky, kepada Alinea.id, Minggu (28/2).
Sebagai informasi, berdasarkan data SKK Migas, produksi minyak mentah di Indonesia mencapai 700.000 barel per hari (bph). Sementara, konsumsinya 1,4 juta bph hingga 1,5 juta bph. Sehingga, defisit minyak 500.000 barel, mengandalkan impor.
Dengan kenaikan Harga minyak dunia hingga di atas US$100, sementara asumsi harga minyak dunia di APBN 2022 adalah US$63, maka akan memberikan tekanan pada APBN 2022. Di mana alokasi anggaran untuk subsidi energi sekitar Rp134,02 triliun, yang terdiri dari subsidi jenis BBM tertentu dan LPG 3 Kg sebesar Rp77,54 triliun dan subsidi listrik Rp56,47 miliar lainnya.
Adapun untuk realisasi subsidi energi pada Januari 2022 sebesar Rp10,2 triliun atau naik 347,2% secara tahunan (year on year/yoy) dibandingkan Rp 2,3 triliun pada Januari 2022.
Dengan kenaikan harga bahan pokok seperti pada minyak goreng dan kedelai, Riefky menyarankan agar pemerintah lebih berhati-hati dalam mengambil keputusan. Selain itu, agar harga gandum dan terigu tak ikut terkerek tinggi, pemerintah disarankan untuk mencari sumber impor lainnya, seperti Brazil.
“Konsekuensinya, harga gandum di Brazil jauh lebih mahal dibanding gandum Ukraina. Tapi ini jauh lebih baik, daripada stok gandum kosong dan harga bahan-bahan makanan dari gandum ikut naik,” imbuhnya.
Total Perdagangan dan Neraca Perdagangan Indonesia dengan Ukraina
Periode |
Neraca Perdagangan |
Total Perdagangan |
2016 |
US$-251.943 |
US$872.673,9 |
2017 |
US$-242.320,1 |
US$835.841,8 |
2018 |
US$-590.257,9 |
US$1 Juta |
2019 |
US$-752.085 |
US$1,3 Juta |
2020 |
US$-739,207 |
US$1,2 Juta |
2021 |
US$-623.890,6 |
US$1,5 Juta |
Di saat yang sama, agar APBN tidak terlalu terbebani, pemerintah juga harus menggenjot penerimaan perpajakan. Sebab, hanya dengan ini defisit di tahun 2022 yang ditargetkan 4,85% tidak akan semakin membengkak.
“Sama yang penting harus wait and see, bagaimana perkembangan di Rusia dan Ukraina. Karena kondisinya ini kan selalu berubah setiap hari, bahkan setiap jam,” tegas Riefky.
Kebijakan subsitusi
Sementara itu, Kepala Badan Pengkajian dan Pengembangan Perdagangan Kementerian Perdagangan Kasan Muhri mengatakan, pihaknya tengah mempersiapkan sejumlah alternatif untuk dapat mengatasi masalah ekspor dan impor, yang terjadi imbas konflik Rusia dan Ukraina.
Mitigasi perdagangan internasional yang mungkin dilakukan, yakni dengan menyiapkan alternatif tujuan ekspor ke sejumlah negara yang ada di Amerika Selatan. Karena selama ini, ekspor produk non-migas seperti refined palm oil, liquid fraction of refined palm oil ditujukan ke Rusia dan Ukraina.
Namun demikian, untuk mendapatkan substitusi negara produsen gandum, pasti akan susah. Sebab, banyak negara lain yang saat ini membutuhkan gandum untuk bahan pangan maupun pakan mereka. Oleh karena itu, cara yang bisa dilakukan saat ini adalah dengan menjaga ketersediaan stok gandum impor di dalam negeri.
“Kami sudah berkoordinasi dengan para importir gandum dan industri makanan-minuman di Indonesia untuk segera mengantisipasi,” kata dia, saat dihubungi Alinea.id, Sabtu (26/2).
Terpisah, Deputi Gubernur Bank Indonesia (BI) Dody Budi Waluyo mengatakan, bank sentral telah mengantisipasi kemungkinan terburuk dari dampak yang mungkin ditimbulkan oleh perang Rusia dan Ukraina melalui bauran kebijakan yang selalu diterapkan. Namun demikian, untuk meminimalisir dampak di sektor keuangan, pasar keuangan Indonesia harus senantiasa dipenuhi oleh sentimen positif.
Misalnya dengan kasus positif Covid-19 yang semakin terkendali, pertumbuhan ekonomi nasional yang terus berlanjut atau kredibilitas kebijakan yang kuat. Dengan demikian, diharapkan sentimen negatif dari luar dapat diimbangi oleh sentimen positif tersebut.
“Karena peningkatan tensi geopolitik ini akan menjadi sentimen negatif di pasar keuangan dan menyebabkan mereka beralih ke aset-aset yang lebih aman risikonya,” jelas dia, Senin (28/2).