Pemerintah Indonesia telah meratifikasi Paris Agreement di 2016 yang di dalamnya terdapat komitmen Nationally Determined Contribution (NDC). Bersamaan dengan hal tersebut, Indonesia menargetkan penurunan emisi gas rumah kaca sebesar 26% di 2030 dan menjadikan sektor kehutanan sebagai salah satu sektor strategis untuk target penurunan emisi NDC Indonesia.
Ini membuat Perusahaan Umum Kehutanan Negara atau Perum Perhutani terus berupaya mengurangi emisi gas rumah kaca dari sektor kehutanan mempercepat penerapan ekonomi hijau, salah satunya proyek produksi biomassa. Perhutani bersama PLN telah menandatangani kerja sama kontrak terkait jual beli biomassa yang dilakukan pada Maret lalu. Pada perjanjian tersebut, PLN membutuhkan co-firing atau penambahan biomassa sebagai bahan bakar pengganti parsial atau bahan campuran batu bara di PLTU sebanyak 3 juta ton per tahun.
Direktur Perencanaan dan Pengembangan Perum Perhutani Endung Trihartaka menyampaikan, tahun ini Perhutani baru memproduksi biomassa sebanyak 26.000 ton dan peta jalan hingga 2024 mencapai 400.000 ton per tahun.
“Perhutani akan suplai biomassa dalam bentuk serbuk yang dikirim ke PLTU di Pelabuhan Ratu dan di Rembang sebagai ganti batu bara yang mulai dijalankan Desember,” tutur Endung dalam pemaparannya yang dipantau secara daring, Rabu (29/6).
Untuk menyuplai biomassa tersebut, Perhutani tengah membangun hutan tanaman energi dari 2,4 juta hektare (ha) lahan di Pulau Jawa yang dikelola Perhutani. Pembangunan hutan ini sudah berlangsung sejak 2013 bekerja sama dengan Korea Forestry Promotion Institute.
“2013 kita bangun hutan tanaman energi di Semarang kurang lebih 2.000 ha dengan jenis tanaman Gamal yang sudah teruji sangat cocok untuk biomassa dalam bentuk wood pellet maupun serbuk,” tambah Endung.
Menurut Endung, pembangunan hutan tanaman energi dinilai cukup berhasil, sehingga Perhutani berencana mereplikasi hutan di beberapa tempat. Terhitung sejak 2021, eksisting Perhutani telah memiliki tanaman Gamal seluas kisaran 36.000 ha. Jumlah ini akan terus ditingkatkan hingga 2024 dengan penanaman Gamal di lahan mencapai 58.000 ha.
Upaya lain yang dilakukan Perhutani dalam rangka ekonomi hijau adalah produksi biomassa dalam bentuk wood pellet sebagai produk lanjutan dari biomassa serbuk. Wood pellet dinilai memiliki daya tarik tinggi di pasaran, Endung menjelaskan hingga saat ini banyak pihak yang menawarkan kerja sama baik hulu hingga hilir.
“Peminat wood pellet sangat banyak baik dalam negeri maupun luar negeri seperti Korea dan Jepang. Mereka mengajak kerja sama ada yang dari hulu yaitu penanaman hutan tanaman energi, di hilir dengan membangun pabrik atau industri wood pellet, dan ketiga off take (perjanjian jual beli) untuk wood pellet yang kami produksi,” ujarnya.
Wood pellet juga diproyeksikan memiliki kontribusi besar bagi Perhutani. Ia menyebut, umur panen tanaman Gamal hanya 3 tahun dan lebih singkat dari tanaman Jati yang mencapai 40 tahun. Proses panen tanaman bernama latin Gliricidia Sepium ini dianggap lebih mudah, sehingga investasi penanaman tidak terlalu besar.
“Gamal sekali panen setelah dipangkas tak perlu tanam ulang lagi. Dia akan tumbuh tunas baru yang lebih banyak bahkan usia panen berikutnya hanya butuh 2,5 tahun dan terus berlanjut sampai kira-kira 15 tahun,” jelas Endung.
Kontribusi revenue dari biomassa juga diperkirakan Endung akan mencapai 2% di 2023 karena masih tahap awal. Namun akan terus naik di 2024 menjadi 5%, dan peningkatan akan berlanjut sebagai rencana jangka panjang mulai 2025, sehingga biomassa dianggap berkontribusi besar terhadap Perhutani.