Guru Besar Universitas Gadjah Mada (UGM) Sri Raharjo menyampaikan, untuk mencapai pangan yang berdaulat, maka diperlukan teknologi dan inovasi sepanjang proses rantai pasoknya. Namun faktanya, Indonesia menjadi salah satu negara yang masih rendah dalam memanfaatkan teknologi dan inovasi pada sektor pangan.
Berdasarkan data Global Competitiveness Index 4.0 di 2019 oleh World Economic Forum yang disampaikan Raharjo, Indonesia menduduki peringkat 50 dari 141 negara dengan salah satu dari 12 unsurnya memiliki skor terendah yaitu innovation capability dengan peringkat 74 dari 141.
“Peringkat ini diukur berdasarkan parameter jumlah aplikasi per 1 juta penduduk, belanja Research and Development (R&D) dinyatakan dalam persen GDP, dan aplikasi merek dagang per satu juta penduduk,” ujar Raharjo dalam pemaparannya bertajuk “Pangan Berdaulat, Generasi Sehat, Bangsa Bermartabat” di Rapat Terbuka Puncak Peringatan Dies Natalis ke-73 UGM, Senin (19/12).
Ia menguraikan lebih rinci, dari segi infrastruktur, teknologi, infrastruktur ilmiah, dan pendidikan masing-masing berada di posisi yang menurut Raharjo relatif rendah, yakni di posisi 49, 50, 58, dan 63.
“Dari segi indikator yang terkait dengan teknologi dan inovasi menunjukkan kenaikan jumlah aplikasi paten per kapita dari 0,55% 2020 menjadi 1,18% di 2021. Namun ada penurunan pada indikator sumber pendanaan R&D oleh bisnis dari 0,15% di 2020 menjadi 0,02% di 2021, dan jumlah paten yang dikomersialkan dari 0,5% menjadi 0,1% di 2021,” lanjutnya.
Menurut ia, rendah dan lemahnya tingkat inovasi bisa berdampak langsung pada komoditas pangan Indonesia di pasar global maupun domestik. Padahal kehadiran teknologi dan inovasi bertujuan untuk mengatasi permasalahan yang menghambat daya saing produk pangan dalam perdagangan.
Pemanfaatan teknologi pertanian bertujuan meningkatkan efisiensi pertanian, mengurangi food loss, menerapkan keberlanjutan, dan pemanfaatan bioteknologi untuk menghasilkan bibit yang unggul dan tahan terhadap hama dan penyakit. Selain itu, teknologi bisa hadir sebagai sensor di lahan kebun, penggunaan drone, perangkat lunak manajemen pertanian, mesin otomatis on farm, dan pengelolaan air dan pupuk cerdas.
Fungsi lain dari teknologi bagi sektor pangan dijelaskan Raharjo antara lain untuk ketertelusuran dan keamanan pangan yang memerlukan solusi teknologi sanitasi mesin dan peralatan pengolahan pangan yang memenuhi kesegaran produk dan memperpanjang penyimpanan pangan.
“Pengelolaan limbah pangan juga memerlukan inovasi berupa produk maupun cara pengelolaan yang bisa membantu mengurangi food waste. Sebagai contoh, terdapat aplikasi yang bisa mendistribusikan ulang kelebihan makanan dari restoran dan supermarket untuk dimanfaatkan menjadi produk nonpangan. Kategori ini juga mencakup solusi pengemasan yang berkelanjutan seperti alternatif pengganti plastik atau yang terbuat dari biomaterial,” tandas Raharjo.