close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi rokok. Freepik
icon caption
Ilustrasi rokok. Freepik
Bisnis
Senin, 29 Agustus 2022 13:21

Perokok anak tinggi, pemerintah diminta naikkan tarif cukai rokok

"Kenaikan tarif cukai rokok dapat menjadikan harga rokok menjadi mahal sehingga menjauhkan akses untuk anak dan masyarakat miskin,"
swipe

Sebanyak 59 organisasi massa mendorong pemerintah menaikkan tarif cukai rokok guna mengendalikan konsumsi tembakau di Tanah Air. Salah satu alasannya, jumlah perokok anak di Indonesia mencapai 9,1%.

Peneliti Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS UI), Risky K. Hartono, menerangkan, anak berisiko mengalami kekerdilan (stunting) akibat konsumsi rokok pada rumah tangga mengingat prevalensi perokok di Indonesia belum terkendali imbas murahnya harga rokok. Ini berdasarkan hasil riset PKJS UI pada 2019.

Sementara itu, berdasarkan hasil penelitian kesehatan dasar oleh Kementerian Kesehatan (Kemenkes) pada 2018, perokok dewasa di Indonesia mencapai 62,9%. Bahkan, prevalensi perokok anak usia 10-18 tahun meningkat dari 2013 sebanyak 7,2% menjadi 9,1% pada 2018.

Temuan tersebut selaras dengan hasil studi Dartanto et al. pada 2020 yang menyebutkan, efek harga (price effect), yang sekitar Rp1.500/batang, dan efek teman sebaya (peer effect) berkaitan erat dengan peluang seorang anak menjadi perokok. Oleh karena itu, tarif cukai mesti dinaikkan agar rokok semakin tak terjangkau.

"Kenaikan tarif cukai rokok dapat menjadikan harga rokok menjadi mahal sehingga menjauhkan akses untuk anak dan masyarakat miskin," ujar Risky dalam keterangannya, Senin (29/8).

Dirinya melanjutkan, anak-anak maupun kelompok masyarakat prasejahtera belum bisa berhenti merokok meskipun kondisi perekonomian sedang sulit lantaran harga rokok murah. Selain itu, 61,2% anak usia sekolah masih dapat membeli rokok secara batangan (ketengan) di warung atau toko yang letaknya sekitar 100 meter dari sekolah dengan.

Risky menyampaikan, pemerintah sudah menyederhanakan strata cukai rokok dari 10 menjadi 8 golongan pada 2021. Sayangnya, struktur tarif cukai rokok masih berjenjang dan rumit.

"Rokok golongan 2 yang memiliki tarif cukai lebih murah sehingga harga rokok di pasaran menjadi bervariasi. Perokok juga bisa beralih dari rokok golongan 2 ke 3 karena memiliki selisih harga yang lebih murah dibanding rokok golongan 1 dan tidak memilih berhenti merokok. Kondisi ini juga belum sejalan dengan tujuan dari pengenaan cukai pada rokok sebagai pengendalian konsumsi rokok," tuturnya.

Ketua Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI), Tulus Abadi, menambahkan, pemerintah dalam rencana pembangunan jangka menengah nasional (RPJMN) menargetkan penurunan prevalensi perokok anak dari 9,1% menjadi 8,7% pada 2024. "Program mulia pemerintah tersebut tidak akan tercapai apabila tidak ada upaya konkret dari pemerintah, salah satunya dengan menaikkan cukai rokok."

Cukai adalah pungutan negara yang dikenakan terhadap barang-barang tertentu yang memiliki sifat atau karakteristik sesuai Undang-Undang (UU) Cukai, seperti alkohol dan produk turunan tembakau. Menaikkan cukai rokok diyakini dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dan ke depannya bakal mengurangi pengeluaran di bidang kesehatan.

Sementara itu, Ketua Umum Yayasan Jantung Indonesia (YJI), Esti Nurjadin, menerangkan, kebiasaan merokok menjadi salah satu faktor risiko penyakit jantung. Penyakit ini adalah penyebab kematian terbanyak kedua di Indonesia setelah stroke selain klaim pembayaran BPJS tertinggi selama 2018, yaitu sebesar Rp9,3 triliun.

"Prevalensi penderita penyakit jantung meningkat dari tahun ke tahun. Ini tentu akan berdampak pada biaya kesehatan yang semakin naik yang harus ditanggung pemerintah. Data dari CISDI tahun 2021 juga membuktikan, bahwa negara harus menanggung beban ekonomi dengan biaya kesehatan sebesar Rp15,5 triliun pada tahun 2019 akibat penyakit karena rokok," paparnya.

"Dari studi yang sama, alokasi maksimum pajak rokok daerah dan dana bagi hasil cukai hasil tembakau (DBH CHT) untuk pendanaan jaminan kesehatan nasional (JKN) hanya sebesar Rp7,4 triliun. Artinya, kebijakan alokasi tersebut belum cukup untuk menanggung biaya kesehatan akibat penyakit terkait rokok," tambah Esti.

Adapun Ketua Umum Komnas Pengendalian Tembakau (PT), Hasbullah Thabrany, menilai, kenaikan cukai rokok merupakan win-win solution dalam menekan konsumsi sekaligus pendapatan negara. Dia pun menyampaikan empat rekomendasi kepada pemerintah terkait tarif cukai rokok.

"Pertama, pemerintah di tahun 2023 bisa menaikkan cukai hasil tembakau (CHT)/cukai rokok sebesar 20% agar harga rokok tak lagi terjangkau, terutama bagi anak-anak dan masyarakat miskin," katanya.

Kedua, kenaikan CHT diiringi penyederhanaan golongan tarif agresif hingga 5 golongan pada 2023 dan berkurang pada tahun-tahun berikutnya guna memastikan efektivitas efek kenaikan tarif CHT. Ketiga, membuat peraturan CHT yang bersifat jangka panjang dan mengikat demi memastikan target penurunan prevalensi perokok anak tercapai. Terakhir, melakukan mitigasi risiko untuk melindungi petani dan pekerja yang terdampak.

img
Erlinda Puspita Wardani
Reporter
img
Fatah Hidayat Sidiq
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan