Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Cipta Kerja yang telah dirilis beberapa waktu lalu, masih menuai banyak kontra oleh masyarakat. Salah satunya pada paragraf 5 Pasal 128 A yang berkaitan dengan perubahan iuran produksi atau royalti produk hilirisasi batu bara menjadi 0%. Hal ini dikhawatirkan karena bisa berdampak buruk bagi perekonomian, ketahanan energi, dan lingkungan hidup.
Direktur Eksekutif Center of Economic and Law Studies (Celios), Bhima Yudhistira menyampaikan, dari studi Celios terkait paragraf pasal tersebut, ditemukan perhitungan bahwa apabila insentif 0% batu bara diberlakukan, maka bisa memicu kerugian yang cukup besar bagi negara.
“Dengan asumsi total produksi batu bara sebesar 666,6 juta ton per tahun, potensi kehilangan royalti ditaksir mencapai Rp33,8 triliun per tahunnya,” ujar Bhima dalam keterangan resminya, Rabu (1/2).
Menurutnya, jika kebijakan tersebut berlaku dalam 20 tahun ke depan, maka akan merugikan negara hingga Rp676,4 triliun. Potensi kerugian tersebut setara dengan membangun 305.632 sekolah dan 4.039 rumah sakit. Oleh karena itu, Bhima menyatakan sebaiknya peraturan tersebut tidak dilakukan.
“Implementasi Perppu Cipta Kerja harus secara tegas dibatalkan,” katanya.
Hal serupa juga disampaikan peneliti hukum Celios Muhammad Saleh, yang menilai Perppu Cipta Kerja bukan mendorong Indonesia menuju transisi energi. Alasannya, pertama adalah perppu tidak memiliki basis kajian lingkungan. Kedua, perppu tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan.
“Ketiga, komitmen transisi energi hasil G20 Bali tidak diakomodasi dalam politik legislasi perppu. Terakhir yang keempat yaitu, perppu melemahkan kebijakan transisi energi berkeadilan dalam RUU energi baru terbarukan (EBT) yang tengah dibahas dalam bentuk memberi insentif bagi perusahaan batu bara untuk terus melakukan eksploitasi,” ucap Saleh.
Selain Pasal 128A yang dinilai bermasalah, Saleh juga menunjuk beberapa pasal dalam Perppu Cipa Kerja yang bermasalah lainnya yaitu, Pasal 2 dan 3 yang menurutnya tidak mengadopsi prinsip atau asas pembangunan berkelanjutan. Kemudian Pasal 38 ayat 3 yang mengatur pinjam pakai hutan untuk pertambangan yang tidak terkontrol dan sangat terpusat.
“Ada juga Pasal 25 mengenai pengurangan keterlibatan masyarakat dalam penyusunan amdal, Pasal 24 perubahan konsep tentang amdal yang hanya menjadi dasar uji kelayakan, bukan penentu keputusan,” tutur Saleh.
Berikutnya yaitu, Pasal 162 norma represif bagi aktivis tambang, Pasal 110A dan Pasal 110B mengenai penghapusan pelanggar izin berusaha di kawasan hutan. Kemudian Pasal 18 dihapusnya kecukupan luas kawasan hutan minimal 30%, dan Pasal 92, Pasal 35, serta PAsal 292A tidak ada insentif kemudahan untuk dunia usaha melakukan transisi EBT.