Presiden Prabowo Subianto menandatangani Peraturan Presiden Nomor 201 Tahun 2024 yang mengatur tentang Rincian Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2025, sebagai dasar pelaksanaan sejumlah ketentuan dalam Undang-Undang tentang APBN Tahun Anggaran 2025.
Perpres yang dikutip di Jakarta, Kamis, berisi tentang rincian anggaran pendapatan negara, anggaran belanja negara, dan pembiayaan anggaran, yang tercantum dalam lampiran yang tidak terpisahkan dengan perpres tersebut.
Pendapatan negara terdiri dari penerimaan perpajakan dan penerimaan negara bukan pajak.
Berdasarkan lampiran dalam perpres itu, rincian penerimaan perpajakan tahun anggaran 2025, yakni pendapatan pajak dalam negeri sebanyak Rp2.433 triliun, pajak penghasilan (PPh) 21 sebanyak Rp313 triliun, hingga pendapatan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) dalam negeri sebanyak Rp609,04 triliun.
Sementara anggaran belanja negara yang dimaksud dalam perpres tersebut terdiri dari anggaran belanja pemerintah pusat dan anggaran transfer ke daerah.
Adapun pergeseran rincian pembiayaan anggaran dan penggunaannya ditetapkan oleh Menteri Keuangan.
Perpres itu ditetapkan presiden di Jakarta, tanggal 30 November 2024, dan diundangkan Menteri Sekretaris Negara pada tanggal yang sama. Aturan mulai berlaku pada tanggal diundangkan.
Memihak siapa?
Ekonom dan Pakar Kebijakan Publik UPN Veteran Jakarta Achmad Nur Hidayat mengatakan penerbitan Perpres tentang APBN 2025 tidak hanya menimbulkan kontroversi terkait konsentrasi kekuasaan di Kementerian Keuangan, tetapi juga sinyal kebijakan fiskal yang cenderung memberatkan masyarakat luas.
Salah satu isu yang menjadi sorotan adalah kenaikan PPN menjadi 12%, yang disebut-sebut akan diikuti oleh program pengampunan pajak atau tax amnesty. Menurutnya, kombinasi kebijakan ini menunjukkan arah fiskal yang tidak pro-rakyat, terutama kelompok menengah ke bawah, dan menguatkan persepsi kepemimpinan Presiden Prabowo lebih mengutamakan kepentingan para pengemplang pajak dan orang kaya.
"Kombinasi kebijakan ini juga memberikan gambaran tentang arah kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto yang tampaknya lebih berpihak pada kepentingan kelompok kaya daripada rakyat banyak," kata Achmad, Kamis (5/12).
Menurutnya, kebijakan fiskal seperti kenaikan PPN dan tax amnesty mencerminkan keberpihakan terhadap pihak yang memiliki kekuatan ekonomi dan kemampuan melobi, sementara kelompok menengah ke bawah terus menghadapi tekanan ekonomi.
Langkah ini, katanya, memperjelas sinyal pemerintahan Prabowo tidak memiliki keberanian untuk mereformasi sistem perpajakan yang progresif dan adil.
"Padahal, salah satu tantangan terbesar yang dihadapi Indonesia adalah ketimpangan ekonomi yang semakin melebar. Dengan membebankan pajak konsumsi yang lebih tinggi kepada masyarakat umum dan memberikan insentif kepada pengemplang pajak, pemerintah justru memperparah ketimpangan tersebut," katanya.
Kebijakan ini juga dinilai mencerminkan pola pikir pemerintahan yang lebih mementingkan kebutuhan jangka pendek, seperti menambal defisit anggaran, ketimbang membangun fondasi ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. "Dalam situasi seperti ini, janji-janji politik untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat hanya menjadi retorika kosong yang tidak memiliki pijakan pada kebijakan nyata," lanjutnya.
Implikasi sosial dan ekonomi
Kombinasi kenaikan PPN dan tax amnesty disebut memiliki dampak yang tidak bisa diabaikan terhadap stabilitas sosial dan ekonomi. Ketidakpuasan masyarakat terhadap kebijakan ini berpotensi memicu protes dan mengganggu kestabilan politik.
Sementara, sektor usaha kecil dan menengah, yang seharusnya menjadi motor penggerak ekonomi, akan menghadapi tekanan yang semakin besar.
Dalam jangka panjang, kebijakan seperti ini dapat melemahkan kepercayaan publik terhadap pemerintah.
"Ketika masyarakat merasa kebijakan fiskal hanya menguntungkan segelintir orang kaya, sementara mayoritas harus menanggung beban yang lebih berat, legitimasi pemerintah akan dipertanyakan," katanya.
Ujung-ujungnya, upaya pemerintah untuk mendorong partisipasi masyarakat dalam sistem perpajakan menjadi terhambat.
Kenaikan PPN menjadi 12% yang diiringi dengan tax amnesty juga disebut menunjukkan arah kebijakan fiskal yang tidak pro-rakyat. Pasalnya dilakukan di tengah situasi daya beli masyarakat yang belum pulih sepenuhnya. Kebijakan ini tidak hanya akan menekan konsumsi rumah tangga, tetapi juga memperbesar ketimpangan ekonomi.
Sementara itu, tax amnesty menjadi bukti pemerintah lebih peduli terhadap kelompok elite dibandingkan menciptakan sistem perpajakan yang adil dan inklusif.
"Kepemimpinan Presiden Prabowo Subianto menghadapi ujian besar untuk menunjukkan keberpihakan yang nyata kepada rakyat banyak," katanya.
Achmad mengatakan kebijakan fiskal yang saat ini dirancang mencerminkan pendekatan yang lebih mementingkan kepentingan jangka pendek dan kelompok kaya, daripada membangun ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan. Jika arah kebijakan ini tidak diubah, dia bilang, pemerintah akan kehilangan momentum untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat dan menciptakan keadilan ekonomi yang sejati.