close icon
Scroll ke atas untuk melanjutkan
Ilustrasi kebijakan Presiden Jokowi. Alinea.id/Bagus Priyo.
icon caption
Ilustrasi kebijakan Presiden Jokowi. Alinea.id/Bagus Priyo.
Bisnis
Jumat, 24 Desember 2021 17:34

Perpres EBT belum juga terbit, investor pertanyakan keseriusan Jokowi

Proses Perpres Harga Energi Terbarukan sudah berlangsung terlalu lama dan membuat ketidakpastian.
swipe

Pemerintah memiliki target bauran energi baru terbarukan (EBT) sebesar 23% pada 2025. Salah satu langkah untuk mempercepat capaian bauran adalah dengan menerbitkan Peraturan Presiden (Perpres) EBT.

Namun hingga saat ini, Perpres EBT masih tertahan di Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Hal tersebut disampaikan Direktur Jenderal Energi Baru Terbarukan dan Konservasi Energi (EBTKE) Kementerian ESDM Dadan Kusdiana.

Dia mengatakan Perpres EBT di Kemenkeu masih dalam proses pembahasan, padahal Perpres EBT ini ditargetkan akan segera terbit. Namun sayangnya Dadan belum menyampaikan kapan kira-kira bakal terbit.

"Masih berproses pembahasan dengan Kementerian Keuangan. Targetnya secepatnya (terbit)," paparnya kepada Alinea.id, Jumat (24/12).

Direktur Eksekutif Institute for Essential Services Reform (IESR) Fabby Tumiwa menyampaikan, proses Perpres Harga Energi Terbarukan sudah berlangsung terlalu lama dan membuat ketidakpastian.

"Investor mempertanyakan keseriusan Presiden Jokowi untuk melakukan transisi energi lewat percepatan pengembangan energi terbarukan," ujarnya.

Lebih lanjut dia mengatakan, perpres ini dimaksudkan untuk mengganti Peraturan Menteri (Permen) ESDM No. 50/2017 beserta turunannya yang membuat proyek energi terbarukan tidak bankable.

"Presiden seharusnya memahami bahwa menunda pengesahan Perpres Harga Energi Terbarukan berarti membuat iklim investasi energi terbarukan di Indonesia tidak kondusif," jelasnya.

Menurutnya, keterlambatan pengesahan perpres karena terganjal di Kemenkeu yang bersikukuh akan menyebabkan risiko fiskal pada APBN, terlalu dibesar-besarkan.

"Saya heran karena pada dasarnya setiap tahun dengan adanya subsidi listrik dan kompensasi, pemerintah mengguyurkan puluhan bahkan ratusan triliun ke PLN," tuturnya.

Fabby menyebut, risiko fiskal melalui subsidi jauh lebih besar dari risiko akibat Feed in Tariff (FIT) atau dampak biaya lain dari penerapan perpres energi terbarukan.

"Menurut hemat saya, presiden seharusnya menegur Menkeu karena menghambat agenda transisi energi presiden dengan cara menyandera penerbitan perpres ini," ucapnya.

img
Anisatul Umah
Reporter
img
Hermansah
Editor

Untuk informasi menarik lainnya,
follow akun media sosial Alinea.id

Bagikan :
×
cari
bagikan