Persaingan sengit, dompet digital semakin pelit
Perkembangan teknologi keuangan (fintech) melahirkan berbagai inovasi layanan, salah satunya adalah dompet digital. Melalui produk tersebut, para penggunanya dapat menyimpan uang dan bertransaksi secara elektronik.
Berdasarkan data Bank Indonesia (BI), tak kurang dari 38 aplikasi dompet elektronik (e-wallet) telah mendapatkan lisensi resmi. Sepanjang periode 2018 saja, lembaga riset dan penasihat yang berbasis di India, RedSeer, melaporkan transaksi e-wallet di Indonesia telah mencapai US$1,5 miliar setara Rp21,73 triliun (kurs Rp14.490 per dolar Amerika Serikat).
Bahkan, RedSeer memperkirakan transaksi dompet elektronik bakal melonjak hingga US$25 miliar setara Rp362,2 triliun. Hal itu didukung oleh penetrasi pengguna telepon selular dan internet yang terus meningkat di Tanah Air.
Masih dari data BI, total transaksi uang elektronik termasuk dompet digital di Indonesia sepanjang tahun 2019 mencapai 5,22 miliar transaksi. Sedangkan, nilai transaksi uang elektronik melonjak tajam hingga 207% menjadi Rp145,16 triliun pada 2019.
Dalam Peraturan BI Nomor 20/6/PBI/2018 tentang Uang Elektronik, disebutkan bahwa terdapat dua jenis uang elektronik yang dibedakan berdasarkan media penyimpanan yakni server based dan chip based. Dalam hal ini, layanan dompet digital termasuk ke dalam uang elektronik berbasis server.
Contoh uang elektronik (e-money) berbasis chip adalah Flazz BCA, E-Money Mandiri, Brizzi BRI, Tap Cash BNI, Blink BTN, Mega Cash, JakCard Bank DKI, dan lainnya. Sedangkan, contoh dompet digital (e-wallet) adalah GoPay, OVO, LinkAja, DOKU, DANA, dan lainnya.
Hasil survei Daily Social Research menunjukkan, dompet digital merupakan produk fintech yang paling populer di Indonesia dengan tingkat pengenalan (awareness) sebesar 82,7%.
Tak lagi jor-joran
Setelah sebelumnya jor-joran memberi promosi demi menggaet pengguna sebanyak mungkin, Perusahaan Penyelenggara Jasa Sistem Perbankan (PJSP) kelas kakap mulai menarik beban biaya yang lebih besar kepada pengguna ritel (konsumen) maupun merchant (pedagang).
Sebagai contoh, PT Visionet Internasional yang memiliki dompet digital OVO telah menerapkan tarif top up (isi ulang) saldo sebesar Rp1.000 per transaksi melalui aplikasi OVO, OVO Booth, ATM, internet banking, dan Tokopedia sejak 2 Maret 2019. Bahkan, top up melalui kartu debit dikenakan biaya 2% dari nilai transaksi.
CEO Visionet Internasional Karaniya Dharmasaputra mengakui bahwa profitabilitas menjadi suatu keniscayaan sepanjang ekosistemnya mendukung pengembangan perusahaan teknologi. Di sisi lain, dia sadar pasar dompet digital masih baru di Indonesia, sehingga pihaknya terus melakukan edukasi untuk meningkatkan literasi keuangan masyarakat.
“Kami dapat tugas dari penerintah untuk mendemokratisasi sistem keuangan yang masih elitis. Kami cari titik. Di segmen tertentu, kami mulai charge, tapi layanan tertentu kami enggak akan buru-buru charge,” terangnya di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (11/3).
Menurutnya, model bisnis teknologi tidak hanya dapat dilihat dalam jangka waktu 3-4 tahun, melainkan harus dilihat dalam horizon waktu yang lebih panjang. “Maka, mau tidak mau, industri ini harus bertopang pada investasi,” tuturnya.
Karaniya mengungkapkan, OVO tak mengambil keuntungan dari pengenaan biaya transfer dan isi ulang dompet digital. Ia mengklaim, biaya yang dipungut sebenarnya masih relatif murah dibandingkan dengan transfer antar bank. “Kami cuma cover our cost (menutup biaya) saja,” tambahnya.
Melihat fenomena tersebut, Chief Legal and Compliance Officer PT Espay Debit Indonesia (DANA) Dina Artarini mengaku menjalin kerja sama dengan berbagai channel untuk mengurangi biaya yang dibebankan kepada pengguna.
“PJSP lain enggak bisa memanfaatkan kartunya, kalau DANA sudah bisa. Jadi, bisa memasukkan kartu secara elektronik. Instrumen pembayaran selain saldo (bisa) di sana,” terangnya di M Block, Jakarta, baru-baru ini. Fasilitas tersebut dapat menyimpan kartu berlogo Mastercard, Visa, dan Gerbang Pembayaran Nasional (GPN).
Dina yakin beban biaya yang dikenakan oleh perbankan kepada layanan dompet digital akan semakin murah mengingat perusahaan fintech dan bank saling membutuhkan.
Untuk menjamin keamanan pengguna dalam bertransaksi, DANA mengembangkan fitur DANA Protection. “Selama pengguna tidak membeberkan rahasia dari data pribadinya, DANA akan 100% mengganti,” ujarnya.
DANA telah bekerja sama dengan 100.000 merchant dengan volume 3 juta transaksi per hari dari 35 juta penggunanya. Selain itu, DANA juga tengah berencana memperluas layanan retribusi parkir dan biaya pendidikan melalui Quick Response Indonesia Standard (QRIS) sebagai strategi pengembangan bisnis.
Head of Corporate Communication PT Fintek Karya Nusantara (Finarya) sebagai penerbit LinkAja, Putri Dianita Ruswaldi berpendapat, pembebanan biaya pungutan dalam transaksi merupakan kebijakan masing-masing PJSP maupun merchant selama mengikuti ketentuan BI.
“Untuk uang atau dompet elektronik rata-rata nilai transaksinya tidak terlalu besar, sehingga biasanya ditanggung oleh merchant,” ujarnya kepada Alinea.id, Rabu (11/3).
Meskipun dikenakan biaya, dia mengatakan penggunaannya akan memberi keuntungan kepada merchant. Ia beralasan, digitalisasi transaksi akan semakin memudahkan merchant karena meningkatkan efisiensi, kenyamanan, dan keamanan transaksi.
LinkAja disokong pendanaannya oleh Himpunan Bank Milik Negara (Himbara) sebagai pemilik saham, sehingga tidak memerlukan biaya administrasi isi ulang dan transfer ketika menggunakan bank pelat merah.
Putri mengatakan, LinkAja tengah fokus untuk memenuhi kebutuhan esensial masyarakat melalui program digitalisasi stasiun pengisian bahan bakar umum (SPBU) dengan PT Pertamina (Persero), pembayaran nirsentuh jalan tol dengan PT Jasa Marga (Persero) Tbk., pembayaran tiket moda transportasi publik, pembelian token PT Perusahaan Listrik Negara (Persero) alias PLN, pembelian pulsa, serta pembayaran tafihan listrik dan air.
“Dengan ini kami berharap keberadaan LinkAja memperkaya offering yang ada di masyarakat, bukan menawarkan hal yang sama,” tuturnya.
Head of Corporate Communication PT Dompet Anak Bangsa (GoPay) Winny Triswandhani meyakini penggunanya tetap setia menggunakan layanan dompet digital, meskipun kini semakin jarang memberi promo dan mengenakan biaya yang lebih besar pada konsumen dan merchant.
“Hasil riset Ipsos (perusahaan riset asal Prancis) juga menyebut GoPay memiliki pengguna organik terbanyak, yang artinya akan tetap bertransaksi meskipun tanpa promo. Pertumbuhan itu tak lain dari fungsi GoPay yang bisa bebas dipakai di mana-mana, mulai dari bangun tidur hingga merencanakan masa depan,” terangnya melalui surat elektronik.
Winny menjelaskan, GoPay telah menjalin kerja sama dengan lebih dari 500.000 mitra usaha (merchant), 52 institusi keuangan, lebih dari 5.000 e-commerce, lebih dari 400 yayasan, serta 20 layanan pembayaran.
Kemudian, GoPay tengah menyasar pasar di luar Jabodetabek dan mengembangkan layanan pembayaran Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) di dua lokasi baru, yakni Sulawesi Selatan dan Sulawesi Barat. “Kami pun berharap agar manfaat inovasi transaksi non-tunai untuk pembayaran pajak ini bisa dirasakan oleh daerah-daerah lainnya di seluruh Indonesia,” ungkapnya.
Arah kebijakan pemerintah
Gubernur Bank Indonesia Perry Warjiyo mendorong integrasi sistem pembayaran digital melalui cetak biru sistem pembayaran Indonesia (SPI) 2025. Menurut Perry, dalam integrasi ini layanan bank dan perusahaan fintech saling terhubung demi mewujudkan inklusi keuangan.
Salah satu langkah yang ditempuh Bank Indonesia adalah dengan mengembangkan QRIS yang digunakan dalam seluruh transaksi ritel non-tunai PJSP. Adapun PJSP diwajibkan menerapkannya sejak 2020.
“Bagaimana Bank Indonesia melalui digitalisi sistem pembayaran ingin mengintegrasikan ekonomi keuangan digital dari UMKM, (pasar) tradisional, merchant, fintech, banking dengan kecepatan proses akan end-to-end process,” terangnya saat memberi sambutan di Hotel Kempinski, Jakarta, Rabu (11/3).
Namun, BI menerapkan biaya Merchant Discount Rate (MDR) sebesar 0,7% tiap transaksi menggunakan QRIS yang dibebankan kepada merchant. Adapun penggunaannya diwajibkan kepada seluruh PJSP yang berada di Indonesia.
Direktur Departemen Pengelolaan Uang BI Luctor Etermergo Tapiheru menjelaskan, pembebanan biaya tersebut digunakan untuk biaya pemeliharaan dan pengembangan jaringan QRIS.
“Konsumen enggak ada yang di-collect-kan. Nanti merchant ada hitung-hitungan dengan PJSP-nya. Di situ mungkin ada kembangan-kembangannya, masing-masing merchant kami tidak atur,” terangnya dalam konferensi pers secara terpisah.
Luctor mengungkapkan, sudah ada 27 PJSP yang berkomitmen menerapkan QRIS dalam transaksi elektronik mereka.
Menanggapi tersebut, Kanariya berpendapat perlu ada skema yang tidak memberatkan Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM) sekaligus PJSP yang juga perlu membayar biaya perawatan jaringan dan infrastruktur, switching fee, dan lainnya.
“Juga ini satu QRIS untuk semua. Cost-nya siapa yang mau menanggung? Ini yang perlu dibicarakan,” jelasnya. Saat ini, OVO telah bekerja sama dengan 500.000 merchant yang semuanya memanfaatkan sistem pembayaran QRIS.
Sementara, Putri dari LinkAja, menegaskan pihaknya mematuhi kebijakan BI terkait MDR. “Mengenai MDR, kami mengikuti ketentuan BI. Jenis merchant reguler, persentase merchant discount rate (MDR) on dan off us dikenakan sebesar 0,7%. Sedangkan untuk merchant khusus di sektor pendidikan, SPBU dan kegiatan sosial masing-masing 0,6%, 0,4% dan 0%,” terang Putri.
Di sisi lain, Dina dari DANA mengaku pihaknya tidak takut apabila keberadaan QRIS dapat mengancam jumlah pengguna yang memanfaatkan dompet digital dalam bertransaksi. “Pada dasarnya pengguna applikasi itu sangat besar. Saat ini yang menggunakan baru 3%, sehingga ladangnya sangat luas. PJSP diminta untuk berinovasi agar nati konsumen dapat memilih ladang yang lebih aman,” jelasnya.
Luctor mengatakan, BI tidak mengatur secara teknis mengenai pembebanan biaya transaksi oleh PJSP kepada para penggunanya di luar ketentuan MDR. Dia mempersilahkan kepada PJSP untuk memberikan insentif kepada konsumen pengguna maupun merchant.
“Sebenarnya kecenderungannya sudah mulai menurun (PJSP) yang bakar-bakar duit, termasuk diskon-diskon. Pada akhirnya seperti uang, tidak ada insentif khusus. Kita ingin sistemnya berjalan lancar,” terangnya.
Terkait perlindungan nasabah, BI telah memiliki Tim Perlindungan Konsumen (TPK) di kantor pusat dan 46 kantor perwakilan BI di seluruh Indonesia. Nasabah dapat mengontak hotline 131 maupun lewat surat pengaduan.
“Kalau duit di e-wallet (dompet digital) tiba-tiba hilang, boleh protes ke PJSP-nya. Kalau enggak ketemu, bisa bawa ke BI. Kami fasilitasi, kami mediasi, kami lihat historisnya seperti apa,” bebernya.
Terpisah, Menteri Komunikasi dan Informatika Johnny Gerard Plate mengatakan pihaknya juga mengatur tata kelola PJSP, namun wewenangnya terbatas pada sistem transaksi elektronik.
Sebagai tindaklanjut Peraturan Pemerintah No.71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik, pihaknya telah menyusun draf final peraturan menteri yang mengatur mengenai aspek teknis tata kelola penyelenggara sistem elektronik di lingkup privat.
“Transaksi (dompet digital) terpisah dari itu (peraturan menteri). Otoritasnya di Otoritas Jasa Keuangan sebagai makroprudensialnya,” ujarnya dalam konferensi pers di kantornya.
Terkait pajak digital, Johnny berharap penerapannya tidak hanya mengacu pada kehadiran badan hukum secara fisik (physical presence), tapi juga mengacu pada nilai tambah ekonomi (economic presence). “Pajak digital pasti diatur dalam Rancangan Undang-undang Omnibus Law Perpajakan,” tegasnya.
Direktur Jenderal Aplikasi Informatika Kemkominfo Semuel Abrijani Pangerapan mengatakan, PJSP harus mendaftarkan diri kepada Kemkominfo sebelum beroperasi di Indonesia. “Nanti pendaftarannya tidak dua pintu, tetapi satu pintu,” imbuhnya.
Terkait pengawasan transaksi dompet digital, Direktur Pengaturan Perizinan dan Pengawasan Fintech Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Hendrikus Passagi enggan berkomentar. “PJSP sepenuhnya berada di bawah otoritas Bank Indonesia,” tulisnya singkat melalui aplikasi pesan WhatsApp.