Menteri Badan Usaha Milik Negara Erick Thohir menyatakan Indonesia akan membeli langsung minyak mentah (crude oil) dari Amerika Serikat (AS). Erick menyebut impor minyak ini akan menghemat anggaran hingga Rp1 triliun.
Menurut Erick, dengan membeli minyak mentah langsung ke produsennya, negara akan mendapatkan harga yang lebih murah. Di AS, lanjutnya, harga minyak per barel lebih rendah sekitar US$5-US$6 dibandingkan negara lain.
Erick mengungkapkan pembelian minyak mentah ini sudah dilakukan lewat PT Pertamina (Persero).
"Jadi kemarin tender di Pertamina kita lihat juga crude oil dari AS dan ternyata harganya lebih murah US$5-US$6, sehingga ada penghematan hampir Rp280 miliar," katanya di Jakarta, Jumat (13/12).
Erick melanjutkan penghematan Rp280 miliar tersebut dihasilkan dari tender untuk 1,2 juta barel minyak mentah. Sementara, kebutuhan untuk minyak mentah Pertamina adalah sebesar 30 juta barel. Sehingga, apabila seluruhnya dibeli dari AS, pemerintah dapat menghemat hingga Rp1 triliun.
"Itu baru 1,2 juta barel, bagaimana kalau kebutuhan crude oil 30 juta barel. Bisa balance dengan pembelian lebih murah dan tanpa trader, langsung ke produsen, menguntungkan. Itu bisa hemat Rp1 triliun," ucapnya.
Namun demikian, Erick mengatakan, tidak mungkin untuk membeli seluruh kebutuhan minyak mentah Indonesia kepada AS. Sebab, dikhawatirkan memunculkan praktik korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN) baru.
"Bisa saja pembelian minyak dari AS kita besarkan, tapi bukan berarti semuanya. Nanti jadi (memunculkan) KKN baru," ucapnya.
Erick menjelaskan opsi tersebut bisa menjadi pilihan untuk menutup defisit transaksi berjalan (current account deficit/CAD), karena dapat menghemat anggaran dari impor minyak mentah.
Sementara, upaya lain untuk menekan CAD yakni produksi bauran biofuel 30% atau B30. Dia mengatakan pemerintah tengah merampungkan program B30 yang ditargetkan selesai pada Desember ini.
"Bagaimana sesuai instruksi presiden impor migas harus ditekan terus. Saya rasa progres sudah cukup bagus, apalagi mau launching B30 ini akan menekan (defisit), dan apalagi nanti mau ada refinery (kilang minyak) yang akan jadi," ucapnya.
Sebagai informasi, Badan Pusat Statistik mencatat impor migas Oktober 2019 mencapai US$1,76 miliar atau naik 10,26% dibanding September 2019, dan turun 39,82% dibandingkan Oktober 2018.
Hingga saat ini, impor migas masih menyebabkan neraca perdagangan Indonesia defisit. Hal ini disebabkan kebutuhan minyak yang terus meningkat, padahal produksi (lifting) yang seret.
Produksi minyak Indonesia tercatat terus menurun. Pada 2019, lifting migas mencapai 745.000 ribu barel per hari, atau turun dari 829.000 barel per hari pada 2016.